Majalahnabawi.com – Sebelum lebih jauh, rasanya kita perlu tau apa arti dari Isriliyyat. Banyak pakar yang mengurai istilah tersebut. Ringkasnya, Israiliyyat adalah cerita, kisah atau perjalanan yang disampaikan oleh ahli kitab, baik yang tidak berislam atau sudah memeluk islam, Atau yang dimaksud adalah kisah yang dimuat dalam kitab-kitab tafsir yang sumbernya dari cerita-cerita yang pada dasarnya bukan bersumber dari Nabi Muhammad saw, tapi bersumber dari kitab orang-orang Yahudi, dalam hal ini yang dikenal dengan kitab perjanjian lama, maupun dari kitab orang-orang Nasrani, dalam hal ini kitab perjanjian

Namun beriring berkembangnya zaman, pengertian Israiliyyat dimaknai oleh para  mufassir modern seperti Muhammad Husain al-Dzahabi, Muhammad Abu Syu’bah dan Abu Ramzi Na’na’ah dengan arti yang lebih luas. Mereka sepakat pada era modern, israiliyyat dimaknai dengan keterangan atau penafsiran yang bertujuan ingin membuat islam ragu dan menjauhi al-Qur’an mereka.

Jadi secara operasional dapat dipahami bahwa “Kisah Israiliyat Dalam Penafsiran Alquran” adalah sebuah bentuk penjelasan atau pemberian keterangan terhadap ayat-ayat alquran yang dikemukakan oleh para mufassir dengan berdasarkan pada kisah yang dikemukakan oleh orang-orang Yahudi dan atau Nasrani sesuai dengan apa yang termaktub dalam kitab suci yang mereka perpegangi, dalam hal ini kitab Taurat (perjanjian lama) dan kitab Injil (perjanjian Baru).

Kisah israiliyat telah mengisi tafsir-tafsir pada masa silam, khususnya pada masa awal perkembangan tafsir, kisah ini ada yang sesuai dengan ajaran Islam, yang oleh Nabi Muhammad diizinkan untuk dipercayai, tapi ada juga kisah yang tidak sesuai dengan syariat Islam yang oleh Nabi dianjurkan untuk ditinggalkan. Makanya dalam sabdanya nabi Muhammad SAW melarang hambanya untuk mengambil berita dari yahudi, kemudian Muhammad Abu Syu’bah mengatakan bahwa pelarangan ini terjadi saat awal kemunculan islam dan hati para sahabat belum siap. Rasulullah melarang agar tidar tercampur berita orang yahudi

Israiliyyat yang erat kaitannya dengan kisah, dalam hal ini Alquran lebih memberikan perhatian pada pesan dan nilai keagamaan dari pada peristiwa itu sendiri. Terkadang kisah itu sendiri tidak dicatat secara tuntas, meskipun oleh sebagian orang menganggap penting untuk dituntaskan. Dengan demikian, akhirnya sebagian orang mengambil kisah israiliyat dan mitos-mitos sebagai pelengkap, demi memuaskan kebutuhan narasi bagi para pembaca, dengan dalil bahwa apa yang mereka berikan adalah baik, karena dapat memenuhi kebutuhan mereka dan member kenikmatan pada mereka.

Hukum Riwayat Israiliyyat

Maka kemudian bagaimana hukum  kita menukil Riwayat Israiliyyat?, dari sekian banyak keterangan para mufassir sepakat dalam menukil riwayat Israiliyyat terbagi menjadi 3 bagian, Yaitu :

Pertama, dilarang menukil riwayat Israiliyyat yang bertentangan dengan Aqidah maupun Syariah Islam. Seperti kisah Nabi Sulaiman yang digambarkan sebagai Nabi yang gila wanita, atau kisah Allah yang beristirahat setelah menciptakan dunia. Sebagian ulama, mengatakan riwayat Israiliyyat yang bertentangan dengan Aqidah dan Syariah boleh dinukil, dengan catatan diberikan catatan dan komentar bahwa penjelasan tersebut tidak dapat dipercaya atau diragukan.

Kedua, Boleh menukil riwayat Israiliyyat jika selaras dengan Aqidah dan Syariah Islam. Contoh: tentang hukum Rajam terhadap pezina. Ini disepakati karena menjadi bukti bahwa antara Nabi terdahulu terdapat sebuah ikatan yang kuat.

        Ketiga, Boleh menukil riwayat Israiliyyat yang menceritakan kisah umat terdahulu dan kisah-kisah yang tidak merusak nilai aqidah ataupun syariah. Contoh; ukuran perahu Nabi Nuh, jenis kayu yang digunakan membangun perahu Nabi Nuh, nama Surga yang ditinggali Nabi Adam, nama-nama pemuda Ashabul Kahfi, nama dan lokasi terjadinya kisah-kisah umat terdahulu. Mufassir sepakat bahwa ini tidak ada masalah, sebab tidak menghancurkan nilai-nilai aqidah maupun syariah.

Sumber:

Husain al-Dzahabial-Israiliyyat fi Kutub al-Tafsir

Muhammad Abu Syuhbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhuat fi Kutub al-Tafsir

Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Ittijahat al-Tafsir fi al-Asri Rahin diterjemahkan Muh. Magfur Wachid Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer (Cet. I; Bangil Jatim: al-Izzah, 1997), h. 134

Sufian Suri, Sayed Akhyar, MENGENAL ISRAILIYAT DALAM TAFSIR AL-KHAZIN, AL-I’JAZ :JURNAL KEWAHYUAAN ISLAM