Majalahnabawi.com –Penulis awali sapaan untuk pembaca dengan pernyataan bahwasanya rezeki itu bukanlah soal kalkulasi. Rezeki bukan soal angka yang dapat dihitung dengan jari ataupun dugaan mengenai batasannya. Lebih dari itu, rezeki tak pernah bersurat untuk datang ataupun berpamitan untuk pergi. Ada sebagian kejadian yang terkadang logika manusia megatakan bahwa dengan penghasilan seperti itu, seseorang tak akan bisa memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Namun apa yang terjadi, orang itu dengan keluarganya mampu bertahan lebih baik dari pada orang-orang yang berprofesi dengan gaji yang secara diferensial menjanjikan kehidupannya. Bukankah begitu yang terjadi di sekitar kita?.

Oleh sebab rezeki adalah hal konkrit yang sulit untuk ditebak. Kebanyakan manusia menghawatirkan dirinya untuk hari yang akan dihadapinya besok. Risau akan dapat rezeki dari mana dan dengan cara apa. Cemas dengan kehidupan mendatang yang akan ia jalani. Tak punya pekerjaan saat ini membuat hatinya ditikam oleh gelisah yang datang bertubi-tubi. Jika itu adalah termasuk kita, mungkin perlu untuk kita sadari dan perbaiki bersama. Itu artinya iman kita masih setengah matang.

Rezeki Adalah Titipan

Berbicara rezeki, erat kaitan pembahasannya menghulu pada takdir. Sebuah ketetapan yang ditetapkan bertepatan sejak rahim seorang ibu diisi oleh kamu yang masih mungil di dalamnya. Kala itu ruh diberikan sebagai bentuk titipan yang nantinya akan diambil kembali. Bersamaan dengan hal itu, rezeki, ajal, amal dan nasib juga ditetapkan. Rasulullah Saw. dalam potongan hadisnya bersabda;

‌إنَّ ‌أحَدَكُمْ ‌يُجْمَعُ ‌خَلْقُهُ ‌في ‌بَطْنِ ‌أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نُطْفَةً ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلكَ ثُمَّ يُرْسَلُ المَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بأرْبَعِ كَلِماتٍ: بِكَتْب رِزْقِهِ وَأجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٍّ أَوْ سَعِيدٍ الحديث

‘’ Sesungguhnya setiap dari kalian dikumpulkan penciptaannya di rahim seorang ibu selama 40 hari dalam bentuk sperma. Kemudian menjadi darah selama 40 hari. Kemudian menjadi daging selama 40 hari. Kemudian diutuslah malaikat yang meniupkan ruh dan diperintahkan untuk menetapkan 4 perkara; rezekinya, ajalnya, amalnya dan baik buruk nasibnya …’’

Ruh yang dititipkan, rezeki dan ajal merupakan pemberian yang waktu penyerahannya bersamaan. Dalam roda kehidupan, ketiga hal itu berbanding lurus menyertai manusia. Rezeki menjadi hal penting untuk tubuh yang dihidupkan oleh ruh. Sedangkan ajal menjadi akhir dari kesemuanya. Artinya selama orang itu hidup, rezeki akan selalu ada dan kematian akan senantiasa menunggunya. Mengenai hal ini Rasulullah Saw. bersabda;

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ‌فَإِنَّ ‌نَفْسًا ‌لَنْ ‌تَمُوتَ ‌حَتَّى ‌تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ.

‘’Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Carilah rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram”.

Kisah Ayah dan Anak Tentang Rezeki

Seorang anak pernah menyatakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan selepas sarjananya nanti. Mengingat biaya pendidikan di perguruan tinggi yang tak sedikit. Dia mengungkapkan itu pada ayahnya dengan nada agak pesimis. Tentunya ayah yang baik akan mendukung hal baik menyangkut pendidikan yang diinginkan anaknya. Namun apa tanggapan sang ayah mengenai nada pesimis anaknya itu?.

Sang ayah berkata menasehati; ‘’Dulu ayah kerjanya serabutan saat baru menikah dengan Ibumu. Penghasilannya mungkin bisa dikatakan hanya cukup untuk berdua, tidak lebih dari apa yang dibutuhkan. Saat kamu lahir, barulah ayah mendapatkan pekerjaan tetap sebagai petani. Dan penghasilannya cukup untuk nafkah keluarga kita. Saat kamu memulai pendidikan sekolah dasar, hasil panen dari sawah yang kita punya mengalami peningkatan di setiap musimnya. Sehingga biaya hidup keluarga dan sekolahmu tercukupi, bahkan lebih untuk sekedar itu. Dan hingga saat ini, Alhamdulillah semuanya tercukupi dengan baik. Jadi kamu tak perlu khawatir soal biaya pendidikan yang akan kamu tempuh nantinya. Kita sudah melalui bayak hal yang menurut akal pikir sulit untuk dilewati. Namun lihatlah sekarang, yang terjadi adalah kita sudah berdiri jauh membelakangi semua itu. Semahal apapun biayanya akan ayah usahakan. Dan ayah yakin Allah akan mencukupinya’’.

Anak itu baru menyadari kebenaran apa yang dikatakan ayahnya. Ternyata benar, banyak hal yang kemarin terasa sulit sudah terlewati. Jika berbagai hal rumit sudah pernah dilewati, mengapa harus cemas untuk dihadapkan dengan hal rumit baru. Seharusnya lika-liku yang berhasil dilewati itu membentuk keimanan. Bahwa serumit apapun, semuanya akan berhenti pada titik seharusnya.  Segalanya terjadi, selesai dan terulang.

Nasehat seorang ayah diatas menginspirasi saya untuk tak terlalu khawatir mengenai rezeki apa yang akan saya dapatkan esok. Mencemaskan diri kita di masa depan berarti menodai keimanan diri sendiri kepada Tuhan yang Maha Pemberi. Dan tentunya ruang kebahagiaan saat itu semakin sempit sebab rasa cemas akan hari esok setiap hari mengisinya.

Laozi, seorang filsuf asal Tiongkok pernah berkata “Jika anda mengalami depresi, anda hidup di masa lalu. Jika anda cemas, anda hidup di masa depan. Jika anda berbahagia, anda hidup di masa kini’’. Dari tiga keadaan itu, tentunya berbahagia adalah keadaan yang paling diinginkan. Dan untuk itu, seseorang harus meninggalkan hal yang sudah berlalu dan tidak cemas akan hal yang akan ia jalani . Nikmatilah sejuk hembusan angin yang kau rasakan saat ini, bukan yang sudah berlalu ataupun yang akan datang.