Sastra Pesantren sebagai Sarana Aktualisasi Kreatifitas Santri
http://majalahnabawi.com – Istilah “Sastra Pesantren”, dari namanya sudah memberikan kepastian bahwa ia merupakan karya yang bernyawa pesantren. Lahir dari orang-orang pesantren baik kiai, santri ataupun alumni. Telah terbukti bahwa pesantren merupakan ladang penghasil karya sastra dan sastrawan. Kita dapat melihat banyak sastrawan lahir dari rahim pesantren, di antaranya adalah K. H Hasyim Asy’ari, Cak Nun, D. Zawawi Imran dan Gus Mus. (Samiaji, 2022)
Fokus pendidikan pesantren tak luput dari pengkajian literatur bahasa Arab. Sehingga tak heran muncul karya-karya berbau sastra Arab. Sebagian dimodifikasi menjadi sastra pesantren berbahasa Nusantara dengan beragam bentuk seperti syiir, nadzoman, kisah, novel, dan hikayat. Yang menarik adalah karya-karya ini tetap lestari. Semua kalangan tua muda menikmatinya. Hal ini sebab biasanya sastra pesantren rekat dengan kebudayaan masyarakat sekitar.
Sastra pesantren pengenalannya sudah sejak awal mula Islam masuk ke Indonesia. Pada mulanya, fungsi sastra pesantren adalah sebagai media dakwah Islam dalam menyesuaikan adat dan kebudayaan masyarakat khususnya pada masa Wali Songo. Seperti salah satunya tembang Tombo Ati karya Sunan Bonang yang ditenarkan kembali oleh penyanyi tanah ai, Opick. (Hudarrohman, 2020).
Sastra pesantren mengandung nilai-nilai seperti nasihat agama, pengajaran etika, sejarah, atau kisah-kisah perjalanan tradisi masyarakat setempat dan ungkapan cinta kepada Allah swt, Nabi Muhammad saw, guru maupun orang tua.
Sesuatu yang bercorak seni lebih digemari banyak kalangan terutama generasi muda. Karena ketika sesuatu disampaikan dengan keunikan atau sesuatu yang indah, orang-orang akan lebih mudah menerima. Berbeda jika suatu karya atau pemikiran yang disampaikan secara monoton atau serius, akan terasa terbebani bahkan enggan melirik. Pengaruh seni tak akan lepas dari peraciknya. Namun kini mirisnya terutama di Indonesia kebanyakan terpengaruh budaya Barat. Maka dari itu, salah satu potensi kuat dalam perkembangan seni dan kebudayaan Islam di Nusantara yaitu melalui sastra pesantren sebagai identitas budaya lokal.
Puisi Gus Mus; Bagaimana Aku Menirumu, O Kekasihku
Beberapa karya sastra pesantren sudah diakui kualitasnya. Hamka misalnya, menulis novel cinta bernafaskan agama berjudul “ Cinta Terkalang”. Juga seorang ulama penyair yaitu K. H Musthofa Bisri atau yang akrab dengan sapaan Gus Mus, beliau menulis perjalanan tasawufnya dalam bentuk puisi dan cerpen. Salah satu karya puisi beliau yang mengandung ungkapan rasa cinta dan keagungan terhadap baginda Rasulullah saw. Berikut lantunan puisi beliau yang berjudul “Bagaimana Aku Menirumu, O Kekasihku”
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau mentari
Aku bumi malam hari
Bila tak kau sinari
Dari mana cahaya akan kucari?
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau mata air
Aku di muara
Di mana kucari jernihmu
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Engkau samudra
Aku di pantai hanya termangu
Engkau merdeka
Aku terbelenggu
Engkau ilmu
Aku kebodohan
Engkau bijaksana
Aku semena-mena
Diammu tafakur
Diamku mendengkur
Bicaramu pencerahan
Bicaraku ocehan
Engkau mengajak
Aku memaksa
Engkau kaya dari dalam
Aku miskin luar-dalam
Miskin bagimu adalah pilihan
Miskin bagiku adalah keterpaksaan
Bagaimana aku menirumu, o kekasihku
Tokoh sastrawan terkemuka lainnya yang lahir dari lingkungan pesantren adalah Acep Zamzam Noor. Beliau berasal dari Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Beliau juga merupakan seorang penyair dan pelukis ternama hingga beliau berhasil mendapatkan penghargaan internasional. Tokoh- tokoh tersebut membuktikan bahwa santri bisa bersaing di kanca nasional maupun internasional dalam bidang apapun, sekalipun dalam kesenian. Oleh karena itu di era sekarang santri harus terus mengikuti kemajuan zaman yang begitu pesat dan mencari celah di mana ia dapat memberi peran bagi kemajuan bangsa dimasa depan.
Redupnya Sastra Pesantren di Kalangan Muda
Namun problem yang terjadi sekarang yaitu eksistensi sastra pesantren sudah mulai redup khususnya di kalangan anak muda. Di tengah serbuan sastra Indonesia modern dan kekuatan sastra koran yang didominasi selera estetika sastra perkotaan, karya-karya kaum santri masih marjinal. (Sahal, 2012)
Goresan karya bahasa Arab identik dengan keindahan ritma dan maknanya. Di sisi lain bahasa Arab dianggap memiliki keunikan dan kesukaran tersendiri. Ilmu yang mempelajarinya tidak bisa dengan singkat. Banyak paduan cabang ilmu yang berkaitan apalagi untuk mencapai tingkatan sastra. Kebanyakan para tokoh Timur Tengah menuliskan penelitian ilmunya dengan bahasa Arab. Hal itu lah yang menjadi problem bagi para pelajar di dunia dalam memahami naskah-naskah Timur Tengah. Sebagaimana konsep dasar, bahwa seseorang dapat dikatakan mampu menguasai bahasa asing pada tingkatan berkarya atau menulis, setelah melewati tahap menyimak, membaca, memahami dan berbicara.
Kendala selanjutnya, survei mengatakan bahwa untuk dilingkungan pondok pesantren sendiri, sastra adalah ilmu yang rumit dan hanya orang-orang tertentu yang dapat menguasainya. Perlu ketekunan dan pemikiran mendalam dalam mempelajarinya supaya bisa menciptakan suatu karya.
Maka dari itu, santri dan pesantren harus terus mempertahankan kesenian dan kreatifitasnya. Salah satunya melalui sastra pesantren ini. Karena seni sastra ini menyajikan watak moral-religius yang sangat berdampak untuk memberikan spirit baru bagi bangsa ini agar terus berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kejujuran.