Sayyid Muhammad ‘Alawi Al-Maliki dan Maulid Nabi

Oleh: Nur Faizah Fakhriyah Ghalib*

Wajahnya meneduhkan, berwibawa, dengan tongkat di tangannya. Beliau adalah seorang ulama masyhur yang diakui kepakarannya di banyak disiplin ilmu. Bagi masyarakat Indonesia, nama beliau sangat populer di kalangan ulama, khususnya mereka yang pernah menimba ilmu kepadanya. Terlebih ketika buku beliau yang berjudul mafahim Yajibu an Tushohhah beredar di Indonesia, bahkan telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan menjadi bacaan masyarakat luas.

Beliau adalah Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki, seorang alim Hadis kenamaan dunia yang merupakan keturunan Nabi dari jalur Hasan. Beliau lahir di Mekkah pada tahun 1365 H/1944 M dari keluarga al-Maliki al-Hasani yang terkenal dan merupakan salah satu keluarga yang paling dihormati dan disegani di Mekkah. Bahkan, Raja Faisal ketika hendak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan Mekkah maka terlebih dahulu meminta nasehat dari Sayyid ‘Alawi, Ayah Sayyid Muhammad.

Sayyid Muhammad Alawi adalah ulama kharismatik yang multidisiplin ilmu. Ini bisa kita lihat dari karya-karyanya yang sangat banyak dan lintas disiplin, mulai dari aqidah, fikih, ushul fikih, tasawuf, hadis, dan lain-lain. Karya-karya yang hampir mencapai seratusan tersebut telah menyebar di seluruh dunia dan menjadi rujukan utama.

 

Perjalanan menuntut ilmu Sayyid Muhammad ‘Alawi

Pendidikan pertama Sayyid Muhammad adalah Madrasah Al-Falah, Makkah, dimana ayah beliau Sayyid Alawi bin Abbas al Maliki sebagai guru agama di sekolah tersebut yang juga merangkap sebagai pengajar di halaqah dekat Bab As-salam Masjidil Haram. Sejak kecil beliau telah ber-talaqqi al-Quran dan menuntaskan hafalannya kepada sang ayah secara pribadi di rumahnya. Oleh ayahnya, beliau juga diarahkan untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di Makkah dan Madinah. Karena ketekunan dan kecerdasannya maka tidak heran jika Sayyid Muhammad Alawi dipercaya untuk mengajarkan kitab Hadis dan fiqh kepada pelajar-pelajar lain di Masjid al-Haram.

Setelah sang ayah wafat, Sayyid Muhammad tampil sebagai penerus. Maka sebelum itu, terlebih dahulu beliau terbang ke Mesir untuk menimba ilmu di Universitas al-Azhar. Gelar Ph.D-nya dalam Studi Hadits dengan penghargaan tertinggi dari Universitas al-Azhar, berhasil beliau raih saat baru berusia dua puluh lima tahun. Beliau kemudian melakukan perjalanan dalam rangka mengejar studi Hadis ke Afrika Utara, Timur Tengah, Turki, Yaman, dan juga anak benua Indo-Pakistan, dan memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan sanad dari Imam Habib Ahmad Mashhur al Haddad, Syaikh Hasanayn Makhluf, Ghumari bersaudara dari Marokko, Syekh Dya’uddin Qadiri di Madinah, Maulana Zakariyya Kandihlawi, dan banyak lainnya.

Beliau kemudian kembali ke Makkah untuk melanjutkan perjalanan yang telah di tempuh sang ayah. Disamping mengajar di Masjidil Haram, beliau juga diangkat sebagai dosen di Universitas King Abdul Aziz Jeddah dan Univesitas Ummul Qura Makkah. Cukup lama beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen di dua Universiatas tersebut, sampai beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dan memilih mengajar di Masjidil Haram serta mendirikan pondok pesantren di rumah beliau.

Di rumahnya, di Hay al-Rashifah, ia mengabdi untuk ilmu dan masyarakat. Tidak sedikit tamu dan murid yang datang untuk mengikuti pengajian yang beliau sampaikan setiap harinya. Berbagai disiplin ilmu beliau sampaikan dan dapat diterima oleh semua kalangan, baik masyarakat awam maupun terpelajar. Begitu pula setiap bulan Ramadan dan Hari Raya beliau selalu menerima semua tamu dan muridnya dengan tangan terbuka tanpa memilih golongan atau derajat. Semua mendapat penghargaan yang sama dan semua mencicipi ilmu bersama-sama. Dari rumah beliau lahir ulama-ulama besar yang menyebar ke seluruh pelosok permukaan bumi. Di negara mana saja kita menginjak, di situ kita temui murid beliau. Di India, Pakistan, Afrika, Eropa, Amerika, apa lagi di Asia, khususnya Indonesia.

Sayid Muhammad dikenal sebagai guru, pengajar dan pendidik yang tidak beraliran keras, tidak berlebih-lebihan, dan selalu menerima hiwar dengan hikmah dan mauidhah hasanah. Dalam kehidupannya beliau selalu bersabar dengan orang-orang yang tidak bersependapat dengan pemikirannya. Semua yang berlawanan diterima dengan sabar dan berusaha menjawabnya dengan hikmah dan dalil-dalil yang kuat.

Sebagai seorang pengajar dan pendidik, Sayyid Muhammad memperlakukan murid-murid beliau layaknya seorang ayah yang penuh perhatian. Ini sungguh sangat membantu murid-muridnya dalam belajar dan berkomunikasi. Bahkan dari kecintaan dan kasih sayang beliau, tidak seorang pun murid yang diizinkan atu dibiarkan untuk memanggilnya dengan sebuatan “ustad” atau “syaikh” akan tetapi beliau memerintahkan mereka agar memanggilnya dengan sebuatan “abuya” yang berarti ‘ayahku’. Agar benar-benar mendekatkan jiwa mereka kepada beliau. Dan menambah keakraban layaknya seoarang ayah dengan anak-anaknya.

Sekalipun demikian pada saat-saat resmi, beliau menerapkan pendekatan seorang mursyid (pendidikan dan bimbingan) kepada para pengikutnya dengan penuh wibawa. Dengan demikian tatkala sudah terjun bermasyarakat, maka setiap dari murid-murid beliau mempunyai karakter serta prinsip yang kuat melekat pada diri mereka.

 

Seputar Peringatan Maulid Nabi Saw.

Sayyid Muhammad ‘Alawi merupakan salah satu dari ulama yang tekun menulis. Tidak kurang dari seratusan buku dari banyak disiplin ilmu lahir dari tinta pena beliau. Salah satu karya yang paling fenomenal adalah kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah, dimana dalam kitab tersebut beliau berani mengoreksi pendapat rekan-rekan ulama senegaranya, dan membuktikan kesalahan doktrin-doktrin mereka dengan menggunakan sumber-sumber dalil.

Atas keberanian intelektualnya tersebut, Sayyid Muhammad dikucilkan dan dituduh sebagai “seorang yang sesat”. Kitab-kitab karya beliau dilarang beredar, bahkan kedudukan beliau sebagai professor di Ummul Qura pun dicabut. Namun, dalam menghadapi hal itu, Sayyid Muhammad sama sekali tidak menunjukkan kepahitan dan keluh kesah. Beliau tak pernah menggunakan akal dan intelektualitasnya dalam amarah, melainkan menyalurkannya untuk memperkuat orang lain dengan ilmu (pengetahuan) dan tasawwuf.

Salah satu yang juga turut menjadi perbincangan adalah pendapat Sayyid Muhammad tentang peringatan Maulid Nabi Saw. yang beliau tuangkan dalam kitab Haul al-Ihtifal bi Dzikri al-Maulid an-Nabawiy asy-Syariif. Menurutnya, memperingati Maulid Nabi Saw. dengan mengadakan pembacaan Sirah/ perjalanan hidupnya, mendengarkan puji-pujian atasnya, memberi makan, dan menyenangkan sesama, sebagaimana yang terjadi di Indonesia, adalah sesuatu yang diperbolehkan.

Beliau juga berpendapat bahwa merayakan peringatan Maulid Nabi Saw. tidaklah seperti Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha yang hanya berlangsung sekali dalam setahun, melainkan setiap waktu seyogyanya umat Islam merayakannya, dan tidak mengkhususkan pada malam tertentu. Sebab mengingat dan memiliki keterikatan bathin dengan Rasulullah Saw. harus ada dalam setiap waktu dan memenuhi seluruh ruang hati. Sementara hari-hari besar Islam lainnya tak akan pernah ada tanpa lahirnya Nabi Saw.

Perkumpulan dalam memperingati Maulid Nabi Saw. merupakan media yang tepat untuk mengajak umat Islam mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga, selayaknya para ulama menjadikannya sebagai momentum untuk menyeru umat dalam meneladani segala sisi kehidupan Nabi Saw. Dari sini dapat kita lihat bahwa peringatan Maulid Nabi Saw. merupakan aktifitas yang positif dan memiliki manfaat yang baik.

Dalam kitabnya tersebut, Sayyid Muhammad Alawi mendasarkan kebolehan perayaan peringatan Maulid Nabi Saw. pada 21 dalil yang kuat. Kendati demikian, beliau memberi catatan bahwa kebolehan tersebut jika tidak ada kemunkaran dalam perayaan tersebut, seperti ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, melakukan hal-hal yang berlebihan, melakukan dosa, dan hal-hal lain yang dilarang oleh baginda Nabi Saw.

 

Wafatnya Sayyid Alawi

Jum’at 15 Ramadan 1425 H bertepatan dengan tanggal 29 Oktober 2004 M, Makkah dan dunia Islam berkabung, seorang ulama besar Sayyid Muhammad ‘Alawi Al-Maliki wafat. Beliau meninggal sekitar pukul enam pagi (Waktu Mekkah) atau jam 10.00 WIB di salah satu rumah sakit di Mekkah. Sebelum menghembuskan nafas terakhir beliau masih sempat menunaikan salat Subuh di kediamannya.

Sayyid Muhammad dimakamkan di pemakaman Al-Ma’la disamping kuburan istri Rasulullah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra. Dan yang menyaksikan penguburan beliau seluruh umat muslimin yang berada di Makkah pada saat itu termasuk para pejabat, ulama, para santri yang datang dari seluruh pelosok negeri, baik dari luar Makkah atau dari luar negeri. Selama tiga hari tiga malam rumahnya terbuka bagi ribuan orang yang ingin mengucapkan belasungkawa dan melakukan ta’ziyah. Di hari terakhir ta’ziyah, wakil Raja Saudi Arabia, Amir Abdullah bin Abdul Aziz dan Amir Sultan datang ke rumah beliau untuk memberikan sambutan belasungkawa dan mengucapkan selamat tinggal kepada pemimpin agama yang tidak bisa dilupakan umat. Semoga kita bisa meneladani beliau. Amin.

 

Sumber bacaan:

  1. Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, Haul al-ihtifal bi dzikri al-maulid an-nabawiyyi asy-syariif.
  2. Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki, Mafaahiim yajibu an tushahhah.
  3. ‘Abdurrahman bin Lathiif bin ‘Abdullah, Masyaahiru al-ulamaa’ najd wa ghairihim.
  4. Muhammad Najih Maimoen, Pendidikan karakter abuya as-sayyid muhammad ‘alawi al-Malik.

*Penulis adalah mahasantri semester enam Darus-Sunnah international institute for hadith sciences, asal Bulukumba Sulawesi Selatan dan mahasiswi semester delapan jurusan dirasat islamiyah UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta.  

Similar Posts