Sayyidina Utsman Seorang Yahudi? Begini Tanggapan Cerdas Imam Abu Hanifah

Ada yang pernah mendengar pemuda Kufah bernama Nu’man bin Tsabit? Seorang pedagang muda yang terkenal dengan  kecerdasan dan kejujurannya. Disela-sela berniaga ia selalu menyempatkan dirinya untuk menambah wawasannya dengan membaca.

Bahkan saking cintanya kepada ilmu pengetahuan, banyak awaktunya yang ia luangkan untuk mengikuti halaqah dan majlis ilmu guru-gurunya. Sampai dikisahkan bahwa ia berguru kepada Imam Hamad bin Abi Sulaiman selama belasan tahun. Hingga akhirnya tumbuhlah seorang Imam besar yang masyhur dengan panggilan Abu Hanifah.

Sikap-sikapnya yang bijak, pemikirannya yang cerdas, dan pendapat-pendapatnya yang rasional membuat orang-orang senang dan juga kagum kepadanya. Terbukti ketika ia mendengar pernyataan seorang bangsawan Kufah yang mengatakan bahwa sayyidina Utsman bin Affan itu sebenarnya seorang Yahudi dan tetap Yahudi setelah datangnya Islam.

Imam Abu Hanifah tidak lantas marah ataupun mencaci bangsawan tersebut. Akan tetapi ia menggunakan caranya yang sangat halus nan lembut dengan berdialog dan mengajaknya berpikir.

“Assalamualaikum. Wr.wb. wahai tuan, bolehkah saya melamar anak gadismu untuk seorang pemuda?” ucap Abu Hanifah.

Bangsawan itu pun tersenyum dan berkata, “Adakah yang berani menolak permintaan orang sepertimu wahai Imam?, Akan tetapi siapakah pemuda itu?”

“Ia pemuda yang mulia dan terpandang dikaumnya. Selain hafal Al-Qur’an ia juga memiliki wajah yang tampan. Istiqamah shalat malam, puasa, dan bersedekah sudah menjadi kebiasaannya.” Tutur Imam Abu Hanifah

Ketika Imam Abu Hanifah terus menyebutkan sifat-sifat pemuda itu, tiba-tiba sang bangsawan memotong ucapannya. “Cukup sudah wahai Imam, sungguh pemuda itu ialah idaman setiap wanita, dan sudah pasti cocok dengan anakku.”

“Akan tetapi ada satu yang belum saya sebutkan”, sahut Abu Hanifah.

“Apakah itu wahai imam?,” tanya bangsawan.

“Ia seorang Yahudi,” jawab Abu Hanifah. Seketika wajah bangsawan berubah seraya berkata, “Apakah kamu ingin menikahkan anakku dengan seorang Yahudi? Demi Allah, saya tidak akan menikahkan anakku dengan pemuda Yahudi.”

“Kenapa engkau enggan dan menolaknya dengan sangat keras, sementara engkau menyatakan bahwa Rasulullah Saw menikahkan anaknya dengan seorang Yahudi?.” Sahut Abu Hanifah.

“Astagfirullah, apa yang sudah aku katakan. Ya Allah sungguh ku bertaubat dan memohon ampun atas segala kesalahanku.” Ucap bangsawan dengan air mata yang bergelinang.

Dari kisah Imam Abu Hanifah diatas kita bisa mengambil banyak pelajaran untuk kita terapkan dikehidupan kita sehari-hari. Diantaranya cacian tidak perlu dibalas cacian serupa, apalagi membalasnya dengan hal-hal yang lebih menyakitkan. Apakah cacian serupa akan membuat perseteruan antara kedua belah pihak selesai atau malah membuat semakin panas?  Apakah api akan padam bila bila terus diberi bahan bakar?.

 

Wallahu A’lam Bis Showab

 

 

 

 

 

Similar Posts