Majalahnabawi.com – Banyak karya tafsir yang dihasilkan ulama, baik ulama klasik, hingga modern. Diantaranya seperti Tafsir At-Tabari, Tafsir ibn Katsir, Tafsir As Suyuthi, Tafsir As-Sa’di, dan lain sebagainya. Karya tafsir ulama tersebut masih sering menjadi rujukan hingga kini. Tapi, pada mulanya tak ada tafsir pada era Rasulullah. Ketika Nabi Muhammad masih hidup, para sahabat memiliki referensi yang sangat otoritas, yaitu Rasulullah. Semua permasalahan tentang al-Qur’an langsung diputuskan olehnya berdasarkan wahyu ilahi yang diturunkan kepadanya. Darinya, penjelasan Rasulullah kepada para sahabat perihal Al-Qur’an tidak membutuhkan ilmu tafsir, karena sudah dicukupkan dengan wahyu yang turun kepadanya. Pemahaman dan cara baca mereka masih kuat dan utuh dengan mengacu pada penjelasan Rasulullah secara langsung. Tidak hanya itu, di samping mereka juga melihat historis sebab-sebab ayat yang diturunkan (asbabun nuzul) kepada Rasulullah, mereka juga memiliki acuan secara khusus, yaitu Rasulullah, perihal cara yang benar dalam mengartikan ayat. Manakala para sahabat tidak memahami arti makna atau kandungan ayat yang dimaksudkan oleh al-Qur’an, maka mereka pun masih mendatangi Rasulullah untuk bertanya dan meminta penjelasan atas kandungan ayat yang belum mereka mengerti.

Ilmu Tafsir pada Masa Sahabat

Begitu juga pada masa sahabat. Belum ditemukan ilmu-ilmu yang membahas secara khusus tentang al-Qur’an. Sepeninggal Rasulullah, para sahabat masih dapat bertanya dengan para sahabat yang memiliki kapasitas dan keahlian di bidang penafsiran al-Qur’an. Salah satu di antaranya, yaitu Ibn Abbas, seorang ulama tafsir yang pernah didoakan langsung oleh Nabi sewaktu kecilnya agar ia memperoleh pemahaman yang luas dalam memahami ayat-ayat Allah di dalam al-Qur’an. Oleh karenanya, ilmu tafsir pada masa sahabat belum dibahas karena saat itu memang tidak dibutuhkan. Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an antara lain empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair. Ali ibn Abi Thalib, ‘Abdullah ibn ‘Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dibanding sahabat-sahabat yang lain. Pada masa ini belum ada satu pun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan hadis.

Ilmu Tafsir pada Masa Tabiin

Pada masa Tabi’in, upaya penafsiran terus berlangsung dan terus mengalami perkembangan yang sangat pesat di kalangan kaum muslimin. Pada masa periode ini, sejarah perkembangan tafsir al-Qur’an telah mengkristal menjadi satu disiplin keilmuan tersendiri yang baru dikenal dengan metode penjelasan tafsir bil riwayah. Setidaknya di masa ini terdapat 3 corak aliran tafsir yang masing-masing berkembang di Makkah yang dipimpin oleh Ibn Abbas, di Madinah oleh Ubay bin Ka’ab dan di Irak oleh Ibnu Mas’ud. Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari hadis namun masing-masing madrasah meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa kodifikasi hadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri. Namun belum sistematis sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti Ibnu Majah, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut Tafsir bil Ma`tsur.

Pada abad kedua atau ketiga Hijriyah, ilmu tafsir dianggap sangat penting menyusul mulai banyaknya Muslimin yang salah memahami al-Quran. penyebaran Islam yang semakin luas, dan banyaknya pemeluk Islam yang semakin beragam; dari berbagai bangsa dengan tipikal sosial dan geografis yang plural, terjadilah asimilasi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lainnya. Akibatnya, banyak umat Islam yang memahami al-Qur’an dengan serampangan tanpa metode dan tanpa ilmu. Mereka hanya bermodalkan rasionalitas yang cenderung memiliki kesalahan. Apalagi, saat itu bacaan al-Quran pun mengalami banyak salah lisan karena tulisan yang gundul. Hingga, kemudian Abu Aswad ad-Dualy membuat kaidah i’rab Arab yang memberikan harakat pada bahasa Arab. Setelah ditemukannya i’rab tersebut, muncul periode tafsir al-Quran. Kala itu, ulama membuat sebuah acuan dalam menafsirkan firman Allah, yakni Ulumul Quran. Itulah sumber induk yang berisi tentang ilmu-ilmu al-Quran. Ulumul Quran terus mengalami perkembangan mengingat banyaknya ilmu al-Quran. Sejak adanya Ulumul Quran, tafsir terus berkembang di tanah Arab dan wilayah kekuasaan Islam.

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukkan unsur ijtihad yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada tafsir bi al-Ma’tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai Tafsir bi ar-Ra’yi yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai Tafsir Isyari.

Pembukuan Ilmu Tafsir

Tepat pada abad kedelapan, Imam Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Umar bin Ruslan al-Bulqini menulis dan membukukan ilmu tafsir, yang kemudian dikenal dengan kitab Mawaqi’ul Ulum min Mawaqi’in Nujum. Imam al-Bulqini selain sebagai salah satu fuqaha yang sangat disegani pada masanya. Ia juga menjadi salah satu pembaharu (mujaddid) Islam pada abad kedelapan. Jejak yang ia tinggalkan di antaranya, adalah kitab-kitab fiqih yang yang pernah ia tulis. Selain itu, ia juga meninggalkan jejak yang sangat berharga, yaitu ilmu tafsir. Dengan adanya sumbangsih yang sangat berharga ini, potensi-potensi kesalahpahaman perihal al-Qur’an lebih berkurang.

Setelah Imam al-Bulqini sukses dalam menuliskan kitab secara khusus yang menjelaskan ilmu tafsir, ia mendapatkan sambutan hangat dan tepuk tangan yang sangat meriah dari para ulama saat itu dan setelahnya, bahkan sampai saat ini. Ilmu tafsir yang ditulis olehnya, memiliki perkembangan yang sangat pesat. Al-Bulqini juga menjadi teladan bagi para ulama saat itu, bahkan setelahnya, untuk mengodifikasikan kitab-kitab yang menjelaskan ilmu tafsir lainnya, di antaranya adalah murid beliau, Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Beliau menulis dua kitab ilmu tafsir yang sangat populer, yaitu at-Tahbir fi Ilmit Tafsir dan al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Dua kitab yang menjelaskan ilmu tafsir secara luas ini, tidak lepas dari sumbangsih Imam al-Bulqini. Tidak sedikit as-Suyuthi mengikuti perihal cara-cara gurunya dalam menulis ilmu tafsir. Syekh Muhammad ‘Ali asy-Syaukani al-Yamani, menulis ilmu tafsir dengan nama kitab Fathul Qadir al-Jami’ baina Fannai Riwayah wad Dirayah min ‘Ilmit Tafsir. Sayyid Alawi bin ‘Abbas al-Maliki, juga menulis kitab ilmu tafsir dengan nama Faidhul Khabir wa Khalashatut Taqrir ‘ala Nahjit Taisir, dan beberapa ulama lainnya. Perkembangan selanjutnya, ilmu tafsir terus menerus berkembang dan menjadi perhatian khusus bagi kaum muslimin dari generasi ke generasi hingga saat ini.

By Abdur Rahim

Mahasantri Darus-sunnah International Institute for Hadith Sciences