Standarisasi Kritik Sanad Hadis Perspektif Ahli Fiqih
http://majalahnabawi.com – Kritik terhadap hadis adalah komponen kunci dalam Ilmu Hadis. Sebagaimana kita ketahui bahwa kritik hadis ada dua macam, yaitu kritik sanad dan kritik matan. Namun seringkali orang menganggap bahwa kritik hadis terutama pada kritik sanad, hanya muncul dari ahli hadis. Padahal para ahli fikih juga memainkan peran penting dalam melakukan evaluasi kualitas hadis. Baik dari segi kualitas perawi maupun ketersambungan sanadnya.
Peran ahli fikih dalam kritik hadis tidak terbatas pada pemahaman aspek matan hadis yang kemudian mereka gunakan sebagai landasan hukum. Mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menilai keabsahan kualitas perawi dan ketersambungan sanad hadis. Dalam konteks tradisi Islam, para ahli fikih dihormati sebagai otoritas yang memahami implikasi hukum dari berbagai hadis yang ada. Dengan demikian, mereka bukan hanya pengguna hadis untuk tujuan hukum, tetapi juga sebagai penilai keabsahan dan keandalan hadis, yang merupakan bagian integral dari pengambilan keputusan hukum dan praktik agama yang benar.
Lantas, bagaimana standarisasi kritik sanad hadis perspektif ahli fikih? Apa bukti nyata bahwa para ahli fikih melakukan kritik sanad hadis seperti yang dilakukan oleh para ahli hadis? Berikut penjelasannya.
1. Mukallaf
Mayoritas ahli fikih menetapkan –sesuai dengan pendapat para ulama hadis tentang perawi- bahwa perawi harus mukallaf. Hal ini sejalan dengan pendapat as-Syaukani bahwa periwayatan orang yang belum balig dan ODGJ tertolak. (Lihat di Irsyad al-Fuhul Karya as-Syaukani cetakan Beirut: Dar al-kutub al-Alamiyyah 1995 hlm.129)
Syarat ini hanya pada saat menyampaikan, bukan pada saat menerima hadis. Adapun dalam menerima hadis, apabila seorang yang belum balig melakukannya, kemudian ia menyampaikannya setelah balig, maka periwayatannya maqbul.
2. Islam
Masyoritas ahli fikih menetapkan bahwa perawi harus seorang muslim agar hadisnya diterima. Adapun periwayatan orang kafir tertolak. Hal ini sejalan dengan pendapat ar-Razi dalam kitabnya al-Mahsul bahwa riwayat orang kafir tertolak, baik dia mengetahui dari agamanya untuk terjaga dari kebohongan atau tidak. Maka tidak diterima riwayat setiap orang kafir, baik ia seorang Yahudi, Kristen, atau penganut agama lainnya.
3. ‘Adalah
Para ahli fikih menetapkan bahwa perawi hadis haruslah adil. Adapun adil menurut ar-Razi adalah sikap solid, yang mengarah pada kesalehan dan muruah secara keseluruhan. Sehingga seseorang menjadi percaya diri pada kejujurannya, menjauhi dosa-dosa besar, dan beberapa dosa kecil. Ia juga menjauhi hal-hal yang mubah namun mencemari muruah, seperti makan di pinggir jalan, buang air kecil di pinggir jalan, bergaul dengan orang-orang keji, dan bercanda berlebihan. (Lihat di al-Mahsul fi ilmi Ushul cetakan Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1999 hlm.398 Juz.4).
4. Dhabit
Para ahli fikih mengikuti para ulama hadis, menekankan perlunya ke-dhabit-an perawi dalam menyampaikan periwayatannya.
5. Ketersambungan Sanad
Hal ini sejalan dengan perkataan Imam Syafii dalam kitabnya ar-Risalah bahwa suatu hadis harus tersambung sanadnya. (Lihat di ar-Risalah Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah 2008 hlm.370).
Jika kita perhatikan, kritik sanad yang muncul dari para ahli fikih tidak berbeda dengan ahli hadis. Hal ini tentunya menggiring opini bahwa para ahli fikih tidak melakukan kritik terhadap sanad hadis.
Lantas Apa bukti konkret yang menunjukkan bahwa para ahli fikih melakukan evaluasi kritis terhadap sanad dalam hadis? Perhatikan dialog antara Abu Hanifah dan Imam al-Auza’i berikut ini:
Imam al-Auza’i dan Imam Abu Hanifah bertemu di Makkah. Auza’i bertanya: “Kenapa kalian tidak mengangkat tangan kalian ketika melakukan rukuk dan bangun dari rukuk?” Abu Hanifah menjawab, “Ya, karena tidak ada hadis yang sahih dari Rasulullah Saw atas masalah itu.” “Bagaimana tidak sahih, sedangkan (Ibnu Syihab) az-Zuhri telah menceritakan kepadaku, dari Salim (bin Abdullah bin Umar) dari bapaknya (Abdullah bin Umar) dari Rasulullah Saw bahwa beliau mengangkat kedua tangannya saat memulai salat, saat rukuk, dan saat bangun dari rukuk?” bantah Auza’i. Abu Hanifah pun merespon, “Telah menceritakan kepada kami Hammad (bin Abi Sulaiman) dari Ibrahim (bin Yazid) dari Alqamah (bin Qais) dan al-Aswad (bin Yazid) dari (Abdullah) Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah Saw tidak mengangkat kedua tangannya kecuali saat memulai salat dan tidak melakukannya lagi setelah itu.”
Auza’i mencoba membantah argumentasi Abu Hanifah. “Aku menceritakan kepada anda hadis dari az-Zuhri dari Salim dari bapaknya. Sementara Anda menceritakan hadis dari Hammad dari Ibrahim?” (sebelumnya kedua imam besar ini sama-sama membacakan sanad hadis, sampai di sini Auza’i mulai mengajukan penilaian terhadap kualitas rawi) Abu Hanifah menjawab: “Hammad lebih faqih daripada az-Zuhri, Ibrahim lebih faqih dari Salim, dan Alqamah tidak lebih rendah dari Ibnu Umar. Kalaupun Ibnu Umar seorang sahabat atau unggul karena menjadi sahabat Nabi, toh al-Aswad memiliki keutamaan yang besar. Sedangkan Abdullah (bin Mas’ud) sudah jelas, siapa Abdullah itu. (Lihat di Syarah Nukhbatul Fikar fii Ishtilahi Ahlil Atsar karya Nuruddin Abu Hasan Ali Al-Qaari cetakan Beirut: Dar al-Arkam hlm. 262-263).
Hal ini merupakan bukti konkrit bahwa ahli fikih melakukan kritik pada sanad hadis. Maka dari itu, standarisasi kritik hadis dari para ahli fikih tidak hanya sebatas pada matan yang kemudian menjadi landasan pengambilan hukum. Namun juga berporos pada kritik sanadnya. Hal ini membuktikan bahwa ahli fikih tidaklah buta terhadap hadis dan mengesampingkan kualitas hadis dalam pengambilan hukum.
Wallahu A’lam.