Majalahnabawi.com – Dalam membuka diskusi-diskusi terkait fashion wanita khususnya jilbab, tentu tidak akan terlepas dari penafsiran Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 59. Mufasir kontemporer dan mufasir klasik tentu mempunyai penekanan yang berbeda dalam memahami ayat ini, baik dari segi sistematika penafsiran maupun dari segi buah penafsirannya. Hal ini karena adanya perbedaan kondisi sosial dan biografis masing-masing mufasir itu sendiri. Untuk itu, perbandingan penafsiran antara mufasir klasik dalam hal ini adalah Imam Al-Biqa’i (W. 885 H) dan mufasir kontemporer dalam hal ini adalah Imam Ali Al-Shabuni (W. 1442 H) perlu dimunculkan.

Ayat-Ayat Jilbab


Sebelum secara spesifik membahas corak penafsiran dari Imam Al-Biqa’i dan Imam Ali Al-Shabuni, perlu untuk mengetahui salah satu dari sekian jumlah ayat Al-Quran mengenai jilbab. Di antaranya adalah Surat Al-Ahzab ayat 59:


يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا


“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini membahas tentang jilbab karena secara jelas menyebutkan jilbab dalam redaksi ayatnya. Hal ini tentunya berbeda dengan ayat-ayat yang lain dengan tema yang sama tentang pakaian wanita. Seperti dalam Surat Al-Ahzab ayat 53 yang menggunakan term hijab (حجاب). Begitu juga Surat Al-Nur ayat 31 yang menggunakan term khumur (خمر). Ketiga term ini tentunya mempunyai makna masing-masing yang sekilas nampak berdekatan.
Jilbab berasal dari kata jalaba (جلب) sebagaimana pendapat Ibnu Mandzur (W. 711 H) dalam kitabnya Lisan Al-Arab (لسان العرب) bermakna mengumpulkan. Sedangkan kata jilbab itu sendiri merupakan bentuk mufrad dari kata jalabib (جلابيب) yang artinya:


ثَوْبٌ أَوسَعُ مِنَ الخِمار، دُونَ الرِّداءِ، تُغَطِّي بِهِ المرأَةُ رأْسَها وصَدْرَها


“Pakaian yang lebih lebar dari khimar, bukan selendang. Yang digunakan wanita untuk menutupi kepala dan dadanya.”


Sedangkan makna dari term khimar (خمار) menurut Al-Raghib Al-Ashfihani (W. 502 H) adalah:


ستر الشيء، ويقال لما يستر به: خِمَار، لكن الخمار صار في التعارف اسما لما تغطّي به المرأة رأسها.


“Menutupi sesuatu dan juga ada kalanya disebut dengan penutup, tetapi kata khimar pada umumnya menjadi sebuah nama untuk pakaian yang digunakan oleh perempuan untuk menutupi kepalanya.”


Penafsiran Imam Al-Biqa’i Terhadap Ayat Jilbab


Pada tulisan ini akan terfokus terhadap penafsiran Imam Al-Biqa’i dan Imam Al-Shabuny kepada Surat Al-Ahzab ayat 59, dan sejauh apa mereka menafsirkan term jilbab yang ada pada ayat tersebut juga bagaimana gaya penyampaian masing-masing mufasir ini.
Penafsiran Imam Al-Biqa’i dalam kitab Tafsir Nadzmu al-Dharar fii tanasubi al-Ayati wa al-Suwar:


ولَمّا نَهى سُبْحانَهُ عَنْ أذى المُؤْمِناتِ، وكانَتِ الحَرائِرُ بَعِيداتٍ عَنْ طَمَعِ المُفْسِدِينَ لِما لَهُنَّ في أنْفُسِهِنَّ مِنَ الصِّيانَةِ ولِلرِّجالِ بِهِنَّ مِنَ العِنايَةِ، وكانَ جَماعَةٌ مِن أهْلِ الرِّيبَةِ يَتَّبِعُونَ الإماءَ إذا خَرَجْنَ يَتَعَرَّضُونَ لَهُنَّ لِلْفَسادِ، وكانَ الحَرائِرُ يَخْرُجْنَ لِحاجَتِهِنَّ لَيْلًا، فَكانَ رُبَّما تَبِعَ المَرْأةَ مِنهُنَّ أحَدٌ مِن أهْلِ الرَّيْبِ يَظُنُّها أمَةً أوْ يَعْرِفْ أنَّها حُرَّةٌ ويَعْتَلُّ بِأنَّهُ ظَنَّها أمَةً فَيَتَعَرَّضُ لَها، ورُبَّما رَجَعَ فَقالَ لِأصْحابِهِ: فَعَلْتُ بِها، وهو كاذِبٌ، وفي القَوْمِ مَن يَعْرِفُ أنَّها فُلانَةٌ، فَيَحْصُلُ بِذَلِكَ مِنَ الأذى ما يَقْصُرُ عَنْهُ الوَصْفُ، ولَمْ يَكُنْ إذْ ذاكَ كَما نُقِلَ عَنْ مُقاتِلٍ فَرْقٌ بَيْنَ الحُرَّةِ والأمَةِ.


Pada redaksi di atas Imam Al-Biqa’i menyampaikan bahwa ketika Allah Swt. memerintahkan untuk tidak mengganggu wanita mukminat, maka wanita yang merdeka memang sudah terhindar dari gangguan tersebut karena mempunyai penjagaan dan dibantu oleh laki-laki yang merdeka. Namun ada sekelompok orang yang masih saja mengikuti dan mengganggu budak perempuan mukminat sehingga menimbulkan kefasadan. Dan ketika seorang wanita yang merdeka keluar pada malam hari, sebagian dari kelompok itu membuntuti wanita tersebut dengan alasan bahwa wanita itu adalah hamba sahaya. Dan pada waktu itu hamba sahaya dan wanita merdeka memakai model pakaian yang sama, yaitu penutup. Dari sinilah perintah memakai jilbab itu turun.
Perintah itu berupa يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّ, Al-Biqa’i menafsirkan kata يدْنِيْنَ dengan memilih sinonim dari kata tersebut, yaitu (يقرب) yang berarti mendekatkan kemudian ia menjelaskan bahwa yang maksud dari mendekatkan jilbab mereka adalah menjuntaikan jilbab itu sehingga menutupi wajah, dada, dan tangan. Penafsiran Al-Biqa’i terhadap ayat ini berfokus dengan menjelaskan kondisi yang terjadi saat turunnya ayat berupa pakaian wanita merdeka. Kemudian menjelaskan maksud ayat berupa perintah untuk menutupi aurat para wanita dengan menyebutkan sinonim ayat dan menjelaskan ayat tersebut.

Penafsiran Imam Ali Al-Shabuni dalam Kitab Tafsir Rawa’i al-Bayan


Pasalnya, Ali Al-Shabuni mengawali penafsiran terhadap ayat tersebut dengan mengurai makna setiap lafaz. Kemudian dengan menyajikan makna secara general beserta asbab al-nuzul ayat tersebut. Setelah itu, ia juga memaparkan hukum-hukum syariat, hikmah di balik pemberlakuan syaria. Di akhir, beliau menampilkan nash-nash yang relevan dengan pembahasan.
Dalam memaparkan hikmah al-tasyri’, Imam Al-Shabuni mengatakan bahwa terkadang sebagian orang yang tidak mengetahui mengira bahwa Islam tidak mewajibkan jilbab kepada wanita muslimah. Bahwa jilbab hanya sebatas mode pakaian dari kebudayaan Timur Tengah. Namun prasangka ini tidak lah benar dan menunjukkan kepada salah satu dari dua faktor, yaitu:

  1. Pengetahuan yang minim terhadap Islam dan Al-Quran
  2. Timbul dari orang-orang liberal yang mempunyai niat terselubung

Kemudian Imam Ali Al-Shabuni menjelaskan bahwa ia ingin mengambil andil dalam hal ini, bahwa ia ingin mengupas tuntas dan menangkal anggapan-anggapan tidak benar tersebut, sehingga orang-orang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah. Sebab mereka mengira bahwa diri mereka adalah orang-orang yang berkemajuan, padahal mereka lah yang akan merusak akhlak, sosial, dan ilmu pengetahuan.

Tentunya sebagai mufasir kontemporer Ali Al-Shabuni juga membaca kitab tafsirnya Al-Biqa’i, sehingga buah penafsirannya cenderung lebih sistematis dari pada Imam Al-Biqa’i. Namun, di sisi lain penafsiran Al-Biqa’i lebih orisinil dari pada penafsiran Al-Shabuni yang tentunya banyak mengutip pendapat-pendapat mufasir sebelumnya.