Imam Syafii memberikan komentar bahwa orang Irak lebih mengenal Hadis sejak datangnya Syu’bah. Selain itu, disebutkan pula bahwa Syu’bah merupakan orang yang paling otoritatif dalam masalah Hadis pada masa itu di daerahnya.

Tidak berlebihan sebenarnya jika merujuk pada kajian ilmu-ilmu Hadis, maka hal yang menjadi poin penting dalam peruntutan otentisitas Hadis pada perspektif transmisi penyampaiannya adalah soal mendeteksi biografi tokoh-tokoh yang berada dalam suatu rantai sanad. Kualitas seorang periwayat, dari segi hapalan, adalah, serta aspek-aspek legal yang lain adalah hal utama yang perlu diperhatikan dalam usaha menyingkirkan keberadaan Hadis-Hadis yang tidak dikenal.

Salah satu tokoh yang diakui memiliki kredibilitas tinggi dalam sanad adalah Syu’bah ibn al Hajjaj. Jika Anda menengok ke kitab-kitab teks Hadis, Anda akan temui bahwa Syu’bah ini merupakan seorang yang banyak meriwayatkan Hadis-Hadis yang dinilai otentik (shahih). Sebagai tokoh dari kalangan tabi’it tabi’in, kedudukanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh terkemuka lainnya seperti Sufyan ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, dan banyak lainnya.

Biografi dan Sejarah Singkat

Dalam beberapa literatur, disebutkan bahwa nama Syu’bah adalah Syu’bah ibn al Hajjaj ibn al Ward al Azdiy. Dilahirkan di kota Wasith, tepatnya di desa Nahrayan, Syu’bah pada awalnya merupakan seorang mawla (budak) dari seorang pria bernama ibn ‘Atik. Ia lahir pada tahun 83 H, kemudian besar di kotanya, dan pada suatu ketika berkunjung ke Basrah.

Terkadang sebuah kunjungan dapat merubah persepsi seseorang, maka demikianlah awal ketertarikan Syu’bah pada kajian Hadis. Para kritikus Hadis, terutama dalam kajian rijaalul Hadis, menyebutkan banyak testimoni tentang keutamaan Syu’bah ibn al Hajjaj mengenai kepakaran dan kealimannya, terutama dalam bidang Hadis tentunya.

Ibn Hajar al Asqalani menyebutkan dalam kitabnya Tahdzib at Tahdzib, oleh beberapa tokoh Syu’bah dikatakan lebih baik dalam penataan dan pengkodifikasian Hadis, lalu ia pun dibandingkan dengan Sufyan ats Tsauri, mengenai riwayatnya yang lebih mapan dalam Hadis-Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam.

Salah satu argumentasi yang dirasa tepat mengenai perbandingan dari Syu’bah dan Sufyan ats Tsauri adalah sebagaimana disampaikan oleh Muhammad ibn al ‘Abbas an Nasai,“Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (salah satu gurunya, red.) tentang siapa yang lebih mengerti Hadis antara Syu’bah dan Sufyan ats Tsauri. Ia menjawab: “Sufyan adalah orang yang hafizh  dan salih, sedang Syu’bah lebih paham dan lebih bersih dari Sufyan. Ia mendengar (Hadis-Hadis) hukum lebih dulu sepuluh tahun dari Sufyan ats Tsauri.” Demikian kurang lebih ibn Hajar al Asqalani.

Baiklah, mari kita lanjutkan pembahasan kita mengenai tokoh satu ini. Pada akhirnya, Sufyan ats Tsauri pun menyebutkan dalam testimoninya yang dikenal kalangan pengkaji Hadis: “Syu’bah adalah ‘amirul mu’minin fi al Hadis’ ”. Kalimat itu bukannya tanpa alasan. Disebutkan bahwa pada awalnya Syu’bah memiliki ketertarikan pada syair. Namun ketika ia mengetahui seorang alim dan ahli fikih, bernama al Hakam ibn Utaibah, mengumpulkan Hadis dan meriwayatkannya, kecondongan Syu’bah pada Hadis meningkat.

Tokoh yang memiliki kunyah Abu Bustham ini terlibat dalam pengembangan dan perbaikan kajian Hadis. Keunggulan yang dimilikinya adalah kemampuan untuk membuat sistematika yang lebih runtut dalam kajian, karena itulah ia digelari amirul mu’minin fi al Hadis.

Meminjam istilah dari beberapa ulama mengenai konsepsi madaarus sanad (pusat banyak sanad, red.) atau teori yang dikatakan Juynboll, seorang orientalis dari Belanda, mengenai common link (rantai umum) dalam jalur periwayatan Hadis. Memang pada kenyataannya, banyak Hadis yang diriwayatkan oleh suatu tingkat masa, terpusat pada beberapa orang, salah seorangnya adalah Syu’bah.Hadis yang cukup terkemuka, sekali lagi, yang diriwayatkan oleh Syu’bah adalah Hadis tentang pendustaan atas nabi, yang dinilai ulama abad pertengahan sebagai Hadis yang mutawatir.

مَنْ كَذّبَ عَلَيّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Berbagai kajian dan kontroversi mengenai Hadis ini, segi sanadnya, isi maknanya, bermunculan dan menjadi suatu paradoks tersendiri, demikian kata Juynboll. Terlepas dari itu, Syu’bah telah mendapat posisi penting yang menarik dalam kedudukannya sebagai seorang tokoh yang menjadi rujukan kajian Hadis, utamanya dalam periwayatan dan rijaalul Hadis.

Kepribadian Syu’bah

Salah satu cara untuk mendeteksi hal-hal yang berkaitan dengan tokoh adalah melalui pendekatan sejarah. Dalam makna yang lebih luas, sejarah dapat berupa keterangan kisah-kisah yang disampaikan orang-orang pada zaman itu, atau mungkin melalui pelacakan bukti-bukti otentik.

Demikian pula pada pribadi Syu’bah. Secara biografis, nampaknya kisah-kisah yang berkaitan dengan tokoh ini belum cukup banyak dapat kita jumpai, atau mungkin saja memang perlu usaha menghimpun riwayat dari berbagai literatur agar dapat tergambar bagaimanakah sosok Syu’bah ini.

Salah satu karya yang berusaha mengumpulkan mengenai kepribadian seorang Syu’bah ibn al Hajjaj adalah Hikayat Syu’bah ibn al Hajjaj yang disusun  Abdullah ibn Muhammad al Baghawi pada kurun abad ke 3-4 Hijriyah. Sedikit yang bisa disampaikan dari karya tersebut adalah bahwa Syu’bah amat mempengaruhi kultur pengkajian Hadis di daerah Basrah, kemudian tercatat pula ia berkunjung ke Baghdad.

Imam Syafii memberikan komentar bahwa orang Irak lebih mengenal Hadis sejak datangnya Syu’bah tersebut. Selain itu, disebutkan pula bahwa Syu’bah merupakan orang yang paling otoritatif dalam masalah Hadis pada masa itu di daerahnya. Seorang tokoh dari Timur Tengah, yang bernama Ahmad Farid, mengarang sebuah kitab berjudul Min a’laamis salaf yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul Biografi 60 Ulama Ahlussunnah.

Salah satu yang ia muat adalah keterangan mengenai Syu’bah, ia menyebutkan ciri fisiknya yang kurus kering karena seringnya melakukan ibadah, salah satunya puasa menahun. Sebagai seorang ulama besar, kapasitas dalam kezuhudan, wara’, qana’ah, maka tentu ia memiliki standar tersendiri dalam maqamat kesalehan, pun Syu’bah dikatakan termasuk orang yang kurang berkecukupan.

Terlepas dari itu, minat pada Hadis yang amat besar mengantarkan Syu’bah menjadi seorang tokoh yang memiliki transendensi tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam keilmuan. Pantaslah jika para ulama abad pertengahan menyanjungnya sebagai pemimpin, orang-orang garda depan dalam kajian Hadis.

Hadis Puasa: Riwayat Syu’bah

Sejenak kita singgung tentang biografi singkat Syu’bah ibn al Hajjaj di atas, kita akan membahas mengenai Hadis yang kiranya cukup terkenal di masyarakat, yang pada periwayatannya ternyata salah satunya disampaikan oleh Syu’bah,

“Adam berkata kepada kami, (ia berkata), Syu’bah menyampaikan kepada kami, (ia berkata) Muhammad ibn Ziyad menyampaikan kepada kami ia berkata saya mendengar dari Abu Hurairah dari Nabi, meriwayatkan dari Tuhanmu bahwa Dia berfirman: “Untuk setiap perbuatan terdapat kafarah (tebusan), dan puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya (puasanya). Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari aroma minyak kesturi,”

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari, juga Muslim dalam Shahih mereka. Anda tahu, signifikansi dari Hadis ini amat besar, terkait dengan kedudukannya pula yang termasuk Hadis qudsi, juga para perawi di rantai sanad ini termasuk orang-orang yang kredibel. Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari Hadis ini adalah bahwa puasa adalah sesuatu ibadah yang utama, karena transenden langsung menuju Yang Maha Kuasa, dan Dia berjanji akan membalas pelaku ibadah itu sendiri. Hal-hal yang dilakukan seorang yang berpuasa, akan menjadi lebih baik balasannya. Syu’bah memiliki derajat yang mulia karena ilmu dan amal. Orang-orang yang beriktikad baik akan mampu mengikuti jejaknya, semoga.

Wallahu a’lam