Keteladanan Buya Hamka
Beberapa hari yang lalu, seorang staf di kantor Perdana Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala Institut Wasatiyyah Malaysia (IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni mendatang. Dan melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid Buya Hamka yang dimaksud.
Sosok yang Teguh Pendirian
Kami kemudian bernostalgia dengan kiprah keislaman Buya Hamka yang patut diteladani oleh tokoh dan umat Islam Indonesia. Sekurang-kurangnya, ada dua sikap Buya Hamka yang patut diteladani, Pertama, pada tahun 1982, ketika Buya Hamka masih menjabat sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam Indonesia tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka didesak untuk mencabut fatwa itu atau mengundurkan diri. Buya Hamka akhirnya justru memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua umum MUI Pusat.
Meninggalkan Jabatan Untuk Agama
Sikap dan perilaku Buya Hamka seperti ini barangakali sulit ditemukan di negeri kita ini. Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya mati-matian. Seandainya ada tokoh yang mundur dari jabatannya, itu pun karena dia berambisi untuk mendapatkan jabatan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Buya Hamka bukanlah tipologi seorang yang disebut ulama “ulama” alias “usia lanjut masih ambisi.” Namun beliau lebih berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan Al-Qur’an dan Hadis. Beliau lebih memilih untuk menanggalkan jabatannya dan berpegang kepada prinsip Al-Qur’an dan Hadis.
Bersikukuh Menegakkan Sunnah Rasul
Kedua, pada akhir tahun 1970- an, Buya Hamka juga melakukan sebuah kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan kelompoknya, Selama itu, dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal, ada kelompok yang bersikukuh menggunakan metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka juga mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui petunjuk Nabi saw, bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal haruslah menggunakan rukyat (melihat bulan), Buya Hamka kemudian mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan dimana beliau berkata, “Saya kembali ke rukyat”.
Berani Memutuskan Kebenaran, Bukan Karena Kepentingan
Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang mencemoohkan, melecehkan, dan mengolok-olokkan Buya Hamka karena sikap dan perilakunya itu. Namun Buya Hamka tetap memegang prinsip rukyat itu sampai beliau wafat pada tahun 1984. Buya Hamka tidak merasa bahwa dengan sikapnya untuk kembali ke rukyat itu gengsinya akan jatuh, justru dengan sikap itulah Buya Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya. Bandingkan dengan ustadz-ustadz bawahan yang apabila memiliki pendapat, mereka pertahankan matian-matian pendapat itu kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah SAW. Ustadz-ustadz bawahan lebih mempertahankan gengsinya karena arogansi pribadi atau kelompok daripada kembali mengikuti petunjuk Nabi SAW.
Kami sungguh merasa terharu, ketika Buya Hamka telah meninggalkan kita 30 tahun yang yang lalu, Negeri Jiran Malaysia mencari murid Buya Hamka yang dapat memaparkan pemikiran moderat beliau dalam Islam. Kami teringat dengan sebuah pepatah yang menyatakan, “Seorang nabi tidak dihormati di negerinya sendiri”. Betapapun tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak untuk meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka, kendati kita tidak dapat melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di negara lain juga akan meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka.
Semoga Allah SWT menerima amal ibadah Buya Hamka, mengampuni dosa-dosanya, dan menjadikan tokoh dan umat Islam Indonesia meneladani sikap dan perilakunya.