Tahajud Sebagai Tradisi Para Ulama
majalahnabawi.com – Satu hari datang seorang penuntun ilmu ke rumah Imam Ahmad bin Hanbal. Ia meminta waktu untuk belajar ilmu hadis dari beliau. Tapi karena waktu sudah malam dan gelap, sang Imam memintanya agar istirahat dulu di rumahnya sementara pengajian bisa dimulai besok pagi setelah isyroq (matahari terbit). Sebelum si murid tidur, Imam Ahmad menyiapkan untuknya sebuah ember berisi air untuk keperluan bersuci si murid di waktu subuh.
Waktu sahur pun datang, sang Imam bangun malam melaksanakan tahajud, kemudian keluar rumah bergegas menuju masjid guna mendirikan shalat subuh berjamaah. Di masjid beliau iktikaf hingga syuruk (matahari terbit). Barulah beliau pulang. Sesampai di rumah, beliau menengok air di ember si tamu, ternyata masih utuh, tak berkurang sedikit pun. Tandanya si murid belum shalat tahajud maupun shalat subuh.
Kemudian sang Imam membangunkan si tholibul ilmi (murid) tersebut sembari bertanya “apakah sudah shalat subuh?“. Si murid menjawab “belum“. Sang imam menyuruh bergegas mendirikan shalat. Selepas ia shalat, ia mendatangi sang Imam dengan membawa buku catatan dan pena seraya berkata “Wahai Imam Ahmad saya sudah siap mengaji”. Sang Imam menjawab “Mengaji apa? Saya sarankan kamu pulang saja. Ilmu hadis ini sangat berharga dan mulia, tak pantas dituntut oleh mereka yang tidak memuliakannya”.
Dari kisah di atas bisa diambil beberapa hikmah kehidupan. Pertama, pentingnya shalat tahajud, shalat subuh berjamaah di masjid dan iktikaf berdzikir hingga matahari terbit. Dan inilah tradisi para ulama sejak Nabi Muhammad Saw., sampai hari ini sampai hari kiamat kelak. Jangan ditanya fadhilah (keutamaan) dan pahalanya, banyak sekali disebutkan dalam hadis-hadis Nabi Saw., seperti bermanfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani, doa-doa dan hajat-hajat dikabulkan dan yang terpenting adalah seperti yang disampaikan Allah Swt., pada surat Al-Isra: 79, bahwa orang yang istikamah tahajud akan Allah Swt., siapkan maqomam mahmuda (derajat dan tempat yang mulia nan terpuji).
Kedua, sebagai penuntut ilmu tidak elok hanya sekedar mengejar ilmu yang bersifat kognitif, tetapi mestinya juga dibarengi dengan sikap aplikatif atas ilmu yang telah diterimanya. Karena “al-ilmu bila amalin kassajari bila samarin” (ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tak berbuah), demikian pepatah Arab berbunyi. Inti dan hakikat ilmu yang dituntut oleh pencari ilmu adalah untuk diamalkan bukan untuk dikoleksi, bukan untuk mencari dunia, gagah-gagahan, mencari perhatian dan sanjungan. Sejatinya ilmu dicari untuk menghilangkan kebodohan agar dipraktekkan seperti yang dipinta dan diridhoi oleh Allah Swt., dan Rasulullah Saw. Setelah ilmu didapatkan maka saatnya untuk diamalkan. Ilmu dan amal ibarat dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan. Ilmu tanpa amal adalah satu kebohongan, sementara amal tanpa ilmu adalah satu pelanggaran.
Ketiga, guru berhak untuk tidak memberikan ilmu kepada mereka yang terbukti tidak serius dan tidak ikhlas menuntutnya atau menggunakan ilmu hanya sebagai pemuas syahwat duniawinya.
Sumber: Taklim rutin malam senin malam Majelis Riyadhul Jannah, asuhan Habib Syafiq BSA dan Habib Hamid BSA, Joglo Jakbar, 21 November 2023