Santri, dalam sejarah kebudayaan nusantara, merupakan salah satu aktor penting yang berhasil mengolah dengan cerdas tindihan-tindihan yang terjadi antara agama dan kebudayaan. Horizon keislaman yang terbentuk dari pola kehidupan pesantren, ternyata tidak menjadikan santri pasif dalam menghadapi tubrukan antara kebaruan budaya dan keterlestarian tradisi lama. Ya, begitu pandangan mayoritas orang modern yang katanya menuhankan rasio.

Kecerdikan santri dalam pergulatan kebudayaan sudah ditunjukkan sejak nenek moyang santri nusantara: Walisongo melakukan islamisasi di tengah lembabnya cara hidup Hindu-Budha yang mengental menjadi tradisi Jawa di tanah nusantara.

Banyak kasus yang dapat kita jadikan misal, seperti bagaimana Sunan Kalijaga mampu menyusupkan syahadat dalam gong sekaten dan wayangnya atau Sunan Kudus yang mengadopsi artisektur Hindu-Budha dan melarang penyembelihan sapi yang kala itu menjadi hewan pemujaan.

Secara umum dapat disimpulkan, ada strategi kebudayaan yang dilakukan Walisongo agar islamisasi terjadi secara kultural, bukan bunuh-bunuhan. Tubrukan-tubrukan agama dan kebudayaan tidak berhenti di situ. Setiap zaman dan generasi pasti turut memperanakkan sebuah pergulatan yang menjadi niscaya untuk diselesaikan.

Sebagai produk kehidupan manusia, kebudayaan secara terus menerus bergerak dan mengalami perubahan. Agama di sisi yang lain adalah sesuatu yang absolut, yang bersifat “langit”, yang sulit (atau bahkan mustahil) menerima perubahan besar-besaran. Ada prinsip dasar yang tidak bisa diotak-atik, yang kini menjadi alasan kuat kelompok-kelompok radikal mendasari sikap dan gerakannya.

Dari dua sifat alamiah yang bertolak belakang itulah diperlukan trik dan strategi. Prinsip “al-muhafadzatu ‘ala qadimi-s-shalih wa-l-akhdzu bi-l-jadidi-l-ashlah” adalah salah satu konsep agar Islam tetap bergerak lincah di tengah perubahan kebudayaan yang makin tak terkendali. Dan dalam konteks inilah santri memiliki kelebihan dan senjata ampuh.

Agama dan Kebudayaan: Mencari Bentuk Kesenian Alternatif

Suatu ketika Gus Dur pernah ditanya tentang kasus lahirnya ludruk sebagai kesenian yang berkembang di Jawa Timur. Oleh sebagian orang ludruk dipermasalahkan karena mengandung unsur erotisme. Ditambah lagi, ludruk lahir di wilayah Jawa Timur yang notabene adalah wilayah santri dengan bertebarannya pesantren-pesantren ternama di Jawa.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan Gus Dur memiliki jawaban ciamik; Hal ini dimulai dari kedatangan Islam di Jawa Tengah. Saat itu, pusat peradaban jawa bisa dikatakan berada di daerah ini, ditunjukkan dengan dua kekratonan besar; Yogyakarta dan Surakarta. Otomatis, Islam kemudian mengambil sebagian adat jawa untuk menjadi sarana bagi proses Islamisasi.

Arsitektur bangunan jawa yang masih dipengaruhi budaya Hindu-Budha dan seni pewayangan adalah dua hal yang banyak menjadi fokus garapan Walisongo. Para kiai waktu itu tetap menikmati pertunjukan wayang walaupun dalam dirinya terdapat pertarungan ideologis yang cukup dilematis. Dengan “pura-pura” berpartisipasi, para tokoh agama turut menikmati hal tersebut demi terselenggaranya misi islamisasi.

Tapi hal ini tidak terjadi di Jawa Timur yang secara geografis cukup jauh dari pusat peradaban jawa di Jawa Tengah. Ditambah lagi dengan tradisi kesantrian yang mengental karena dibangun oleh beberapa pesantren besar seperti Tebuireng asuhan Kiai Hasyim Asy’ari.

Kebudayaan jawa yang bertabuh di Jawa Tengah terdengar samar-samar, membuat para santri turut memiliki hasrat akan kesenian tersebut. Akan tetapi, sinden-sinden dalam pewayangan sangat ditentang dalam ideologi mereka.

Dalam Islam, laki-laki haram melihat perempuan bukan mahrom. Pertentangan ini memaksa para santri berpikir bagaimana menyelesaikan dua tubrukan yang terjadi. Akhirnya mereka memainkan wayang orang dengan pemain laki-laki sebagai ganti dari para pemain perempuan. Lambat laun hal ini belum dirasa cukup, para santri masih merasakan sesuatu yang kurang. Akhirnya, dengan cerdas mereka merubah pewajahan pemain laki-laki dengan pewajahan perempuan. Dari sini, kesenian ludruk lahir sebagai alternatif dan “jalan ketiga” di tengah tindihan agama dan kebudayaan.

Dari Sesajen ke Tajin: Melencengkan Makna Substantif

Tajin Sorah dan Tajin Sappar juga merupakan salah satu bentuk hasil dari pergulatan tersebut. Tajin sorah [red: madura] bermakna bubur suro. Tajin sappar bermakna bubur shafar. Suro dan shafar adalah dua nama bulan kalender hijriyah. Dulu, dua bulan ini termasuk bulan-bulan yang diagungkan dalam tradisi hindu-Budha, yang dilanjutkan dalam tradisi “kejawen” Jawa.

Pada bulan ini persembahan-persembahan dilakukan untuk menunjukkan ketaatan mereka pada sang dewa. Ada sesajen yang dibuat dari semua jenis makanan, dari bentuk yang paling besar hingga standar. Hingga kini, tradisi sesajen masih banyak kita temui di beberapa kota.

Di Yogyakarta dan Banyuwangi tradisi ini diberi nama “Larung Sesaji” yang ditujukan untuk dewa laut yang telah memberikan mereka anugerah ikan yang melimpah. Semenjak munculnya pesantren, tradisi ini tidak dihapus, tapi dibelokkan menjadi tradisi yang sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat diberi pemahaman, “daripada sesajennya dibang-buang ke laut, lebih baik dibagikan ke orang lain biar bisa dimakan. Enakkan? Bisa sama-sama kenyang.” Sesajen, yang awalnya merupakan praktek syirik, berubah menjadi praktek islami. Yang awalnya ditujukan untuk dewa-dewa, kini dilencengkan untuk silaturahmi dan sarana peduli sesama.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Islam di nusantara harus selalu tunduk dan mengalah dengan kebudayaan yang ada?

Dalam konteks ini yang menjadi permasalahan bukanlah tunduk dan mengalah. Hal itu merupakan strategi yang mengetengahkan sebuah sikap agar Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak memaksakan ajaran yang dibawanya dengan kekerasan dan melangkahi sisi kemanusiaan manusia. Oleh karena itu Gus Dur, dalam berbagai kesempatan mewanti-wanti untuk bijak dalam menempatkan posisi agama di tengah negara dan kebudayaan.

Sekarang kita tengok gerakan keislaman yang ada. Ada sebuah kelompok yang dengan alasan “tauhid harga mati” menghantam segala praktek yang tidak sesuai dengan ajaran agama. “Kalau liat orang kafir bawaannya pengen ngebacok,” bahasa kasarnya begitu.

Sekarang kita andaikan sikap semacam itu dianut oleh Walisongo dan santri, apa yang terjadi? Perang dunia ketiga. Lalu kita timbang-timbang, kita main enak-enakan; enakan mana, Islam mengalah selangkah untuk menyesuaikan dengan kebudayaan yang ada lalu maju seribu langkah dengan membentuk tradisi keislaman dengan tetap bernyawa dan hidup menikmatinya, atau Islam jihad berani mati dengan membongkar seluruh praktek non-islami lalu terbunuh tanpa ada perubahan yang dibawanya?

Bahasa yang lebih mudah; enak mana, makan sesajen “Tajin sorah” dengan tersenyum sambil menikmati senja atau hidup dengan kemarahan dan darah berani mati demi perubahan semu yang belum tentu terselesaikan? Ah, kalaulah ada kenikmatan yang paling nikmat dan indah, tak lain ialah menjadi santri yang tekun mengawasi perkembangan zaman serta mengambil sikap bijak untuk merapikan tindihan-tindihannya.

Bolehlah ada niat baik membentuk semacam hari santri, tapi yang perlu diingat perannya ada dalam tiap detik kehidupan. Dalam tiap sekat kebudayaan yang tidak cukup digeneralisasi menjadi satuan tanggal. Di tangan santri, segala sesuatu menjadi asyik, bahkan agama, yang selalu dianggapkan sebagai nilai kaku absolut tak kenal kata maaf. Wallahu a’lam. ***