Sejarah mencatat bahwa peran perempuan dalam peradaban tidak hanya terbatas pada posisi mereka sebagai seorang anak, istri dan ibu. Ranah lain yang kerap terstigma diampu lelaki pun dikuasai juga oleh perempuan. Islam tidak membatasi ruang gerak kaum Hawa, selama tidak keluar dari koridor syariat dan kodrat alamiahnya.

Istri pertama Rasulullah Saw., Khadijah radhiyallahu ‘anha adalah seorang pebisnis ulung yang berperan dalam roda ekonomi masyarakat Mekkah saat itu. Bahwa ia ‘bertemu’ Rasulullah Saw. bukan dalam suatu majelis ilmu ataupun tempat ibadah, adalah bukti bahwa Allah mengizinkan seorang pebisnis menjadi istri seseorang yang kelak dilantik sebagai pembawa ajaran Islam.

Peran dan kontribusi wanita pada zaman Jahiliyah dikisahkan adalah satu kondisi terburuk yang pernah terukir dalam sejarah. Kedudukan perempuan hanya sebagai ‘barang jual-beli’, harta warisan, dan budak yang tiada bernilai telah merendahkan masyarakat Arab.

Islam datang menyelamatkan martabat wanita dengan banyaknya ajaran yang menyanjung posisi wanita. Bahkan harga diri wanita begitu dihormati dengan adanya salah satu nama surah dalam al-Quran yang berarti ‘para wanita’, yaitu surah an-Nisaa’.

Nur Faizin Muhith dalam bukunya Perempuan Ditindas atau Dimuliakan? menyebutkan bahwa al-Quran membahasakan wanita dengan tiga jenis kata; imraah, an-nisaa’ dan al-untsa. Terdapat 26 kali pengulangan kata imra’ah, 56 kali untuk an-nisaa’ sedangkan al-untsa disebut sebanyak 30 kali dalam al-Quran.

Begitu pula riwayat hadis-hadis yang meninggikan ‘tahta’ kaum ibu, keutamaan para Ummahat al-Mu’minin, hingga ijtihad para cendekiawan wanita baik di zaman Nabi maupun selepas beliau, menandakan bahwa reputasi Islam tidak hanya dipikul di pundak ulama lelaki. Seiring berjalannya waktu, tanpa meninggalkan tanggungjawabnya, kaum wanita ternyata masih memerankan posisi sentral dalam perkembangan Islam hingga zaman milenial serba berkemajuan ini.

Wanita Bukan Ulama

Mungkin subjudul di atas terkesan agak provokatif, di tengah upaya kita memperbaiki dekadensi pekerti para pemuda-pemudi yang tergerus arus globalisasi. Namun inilah realita yang sering kita temui dalam masyarakat; anak perempuan tidak dididik untuk menjadi ilmuwan (ulama). Beban keluarga dianggap telah terbayar lunas ketika sang gadis telah dipersunting seorang lelaki. Nilai pendidikan tinggi menjadi sangat samar ketika berhadapan dengan cita-cita anak perempuan.

Premis ini dengan mudah dinafikan semata karena kita hidup di kota; kampus-kampus ternama dipenuhi mahasiswi di berbagai jurusan. Mereka mendapat pendidikan yang setara dengan kaum pria, karena memang perguruan tinggi tidak membedakan antara mereka.

Namun fakta lain tersiar lantang di daerah-daerah yang kurang tersentuh pendidikan modern. Anak perempuan tidak diharapkan duduk di ‘bangku tertinggi’ ruang universitas, sebab titahnya kelak hanya akan berujung di “dapur, sumur dan kasur”. Mengubah paradigma semacam ini salah satu tantangan terbesar kaum terpelajar; mengedukasi para orang tua bahwa anak perempuan juga berkesempatan sama untuk meraih mimpi-mimpi mereka, setinggi apapun itu.

Kondisi kontras mengenai posisi ke-ulama-an wanita juga terlihat saat bulan Ramadan tiba. Jadwal pengisi kajian Ramadan mayoritas hanyalah kalangan ulama pria. Ustadz-ustadz tersohor bergelimang undangan di bulan suci ini, namun apakah para ustadzah juga demikian?

Hanya segelintir ustadzah yang secara terhormat dan akademis dipandang mampu untuk menduduki kursi kajian Islam di bulan Ramadan. Tidak berlebihan sekiranya kita khawatir anak-anak masa kini yang cukup kritis kelak beranggapan bahwa yang mampu menjadi ahli agama adalah para lelaki saja, padahal guru pertama mereka adalah ibu, seorang perempuan.

Di samping itu, jika kita mengintip kondisi sosial masyarakat Barat pada umumnya, terdapat jutaan wanita berotak brilian yang tersohor sebagai ilmuwan, profesor, pebisnis, arkeolog, astronot, dan lain-lain. Sedangkan umat Islam masih minim memproduksi para cendekiawan wanita untuk menjamah berbagai bidang ilmu.

Keterbatasan syariat dan status sebagai muslim acap kali menjadi apologi yang manis untuk menjawab problem ini. Tapi mari kita renungi sejenak, bukankah keberadaan Islam sama sekali tidak membatasi seseorang ingin menjadi apapun selama itu tidak menyalahi aturan-Nya?

Wanita Harus Berjuang dan Berfikir

Dari kegelisahan di atas, palung pesan yang harus kita selami ialah himbauan bahwa ranah kemajuan intelektual tidak hanya berada dalam genggaman lelaki, namun harus pula dimiliki oleh kaum Hawa. Kondisi masyarakat sebagaimana kami jabarkan sebelumnya merupakan batu loncatan bagi mereka yang senantiasa berfikir.

Mari kita mengintip jejak-jejak sejarah Indonesia yang beragam. Salah satu warna yang melengkapi rentang waktu negeri ini adalah peran wanita dalam berbagai bidang. Sebutlah beberapa nama yang tidak asing seperti R.A. Kartini, Tjut Nyak Dien, Fatmawati Soekarno, H.R. Rasuna Said, dan lain sebagainya yang dinobatkan sebagai ibu pejuang bangsa dalam ranahnya masing-masing.

Selama ini kita mengenal sosok Soewardi Soerjaningrat atau yang tenar dengan nama Ki Hadjar Dewantara sebagai perintis pendidikan bagi kaum pribumi di zaman penjajahan Belanda. Apakah kaum wanita juga memiliki kontribusi memajukan pendidikan rakyat saat itu? Tentu iya. Dengan mengajar berbagai hal seperti membaca, menulis, menjahit dan merenda, Dewi Sartika merupakan perintis pendidikan bagi kaum perempuan hingga akhirnya ia membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda. Dimana pun, perempuan harus berjuang dengan apa yang ia mampu.

Bahkan jauh sebelum tanah air ini tercetus, di jazirah Arab sana Sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah menjadi panutan konkret bahwa wanita harus senantiasa berfikir. Tidak seorang pun dari kalangan sejarawan Ahlus-Sunnah yang meragukan kredibilitas ‘Aisyah sebagai penyambung pesan dan ilmu Rasulullah Saw.

Namun apa yang ia dapat dari sang suami tidak lantas dipahami tanpa melihat kondisi yang ada. Rasulullah pernah menghimbau para sahabat untuk tidak melarang para wanita mendatangi masjid untuk beribadah dan belajar. Namun selepas beliau wafat, para perempuan ini mendatangi masjid justru untuk tujuan lain, yaitu agar bisa bertemu dengan para lelaki. Lantas ia ‘menyelisihi’ perintah Rasulullah secara kondisional. Hal ini merupakan manifestasi kecerdasan ‘Aisyah dengan mengajak kita, terutama kaum Hawa, untuk berjuang dan berfikir sesuai dengan perkembangan waktu.

Islam tidak membatasi segala profesi yang dilakukan secara halal. Bahkan Islam menganjurkan kita untuk merenungi tanda-tanda kebesaran Allah yang di dalamnya terdapat sindiran “agar kamu berfikir” atau “tidakkah kamu berfikir?” Ayat-ayat demikian tidak hanya ditujukan pada kaum Adam, tetapi juga perempuan.

Namun semangat menjadi ilmuwan harus juga disertai pemahaman tugas hakiki dan kodrat seorang wanita. Wanita memiliki tugas penting yang tidak dapat diemban lelaki. Sehingga seorang ulama wanita, sehebat apapun ia, tidak sempurna keilmuannya jika mengabaikan tugas-tugas tersebut.

Pendidik dan Pelindung Keluarga

“Seorang ibu yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas”. Ungkapan ini begitu singkat namun memiliki makna yang sangat dalam, terlebih jika diejawantahkan pada masa kini. Meskipun hal ini bukan satu-satunya penentu kecerdasan anak, namun peran seorang ibu sebagai guru pertama bagi sang anak jelas sulit dipungkiri.

Saat anak-anak belum mengenal orang lain selain orang tuanya, sosok ibu lah yang menjadi madrasah awalnya, lawan bicaranya, mufti yang menjawab pertanyaan-pertanyaan anak. Maka patutlah merasa malu jika seorang ibu tidak dapat mengajarkan agama dan hal-hal mendasar pada anaknya.

Era emansipasi mendikte para orangtua untuk mampu bertukar peran dalam hal mendidik dasar agama anaknya. Seringkali kita lihat justru wanita yang sibuk mencari sumber-sumber nafkah bagi keluarga, sedangkan sang suami masih sibuk mencari pekerjaan. Hal ini tidak sejalan dengan kalamullah yang menyinggung masalah pemberian nafkah di mana perintahnya ditujukan bagi kaum lelaki.

Bukankah wanita diperbolehkan menjadi apapun yang ia mau? Iya, betul. Maka komprominya yaitu ia tetap harus menjalankan peran sebagai guru pertama bagi anak-anaknya dan berkiprah dalam bidangnya sesuai ridha Allah dan suami.

Di sisi lain, dalam Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, serta dalam banyak riwayat lain, disebutkan bahwa Jibril datang membawa wahyu pertama dengan cara memeluk erat Rasulullah Saw. dan menyuruhnya ‘membaca’. Sosok Jibril yang datang saat itu diriwayatkan menyerupai makhluk besar yang terbentang ke ufuk, membuat Nabi sangat ketakutan dan bingung atas apa yang terjadi. Dalam kondisi tubuh menggigil gemetaran dan ketakutan atas apa yang dialaminya, beliau segera pulang dan meminta Khadijah untuk menyelimutinya.

Dari kisah monumental di atas, dapat kita saksikan bahwa Rasulullah di tengah rasa takut yang melanda hatinya, beliau mempercayai sang istri tercinta sebagai satu-satunya orang yang dapat menenangkan kegalauannya. Kejadian ini pun bukan hanya menjadi turning point dan pelengkap kesinambungan sejarah Nabi Muhammad, namun juga sebagai pelajaran dan panutan bagi umat yang hidup di zaman setelahnya. Meski berusia lebih matang, memiliki kekayaan dan kesibukan melebihi Nabi, Khadijah radhiyallahu ‘anha saat itu tetap sesuai kiprahnya sebagai istri salihah; berada di rumah menunggu sang suami kembali.

Dan yang terpenting dari hikmah kisah ini adalah Khadijah berperan sebagai pelindung sejati bagi Rasulullah dari segala apa yang menimpa Beliau. Aspek lain yang dapat kita tinjau ialah, Khadijah merupakan sosok yang penyabar dan pembenar atas apa yang saat itu terjadi pada Rasulullah, hingga ia juga menjadi salah satu orang pertama yang memeluk ajaran yang dibawa oleh Nabi akhir zaman. Pengayom dan pelindung keluarga adalah tugas utama seorang wanita sebagai istri. Pendidikan tinggi tentulah penting, namun ia tidak menegasikan posisi wanita dalam kehidupan berumah tangga.

Dari beberapa poin di atas, dapat kita pahami bahwa kualitas intelektual wanita di era modern dapat diniliai dari dedikasinya dalam dua hal sekaligus; kehidupan berkeluarga dan kiprahnya dalam bidang yang digelutinya. Jika tantangan ini dapat dilaluinya dengan minim kendala, maka ia adalah ulama/ilmuwan sesungguhnya.

By H. Zia Ul Haramein

Khadim Ma'had Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences