Diantara rutinitas umat Islam dalam bulan Ramadan adalah berpuasa. Akan tetapi puasa tidak sebatas rutinitas biasa yang boleh dipilih untuk mengerjakannya atau tidak, tepatnya berpuasa dibulan Ramadan adalah kewajiban yang mutlak harus dikerjakan oleh umat islam.

Kewajiban berpuasa sebulan penuh itu mencakup untuk setiap muslim yang telah dewasa dan berakal, pria maupun wanita, tidak bagi muslim lagi menempuh perjalanan ataupun sakit.

Disamping itu, bagi muslimah wajib jika sedang suci dari haid dan nifas. Kewajiban berpuasa ini juga berlaku bagi wanita yang hamil maupun menyusui bila kondisinya sehat, tidak lemah, tidak sakit-sakitan dan tidak memiliki kekhawatiran akan kondisi kandungannya atau anak yang disusui serta dirinya sendiri.

Lalu apakah ibu hamil dan menyusui mendapat keringanan untuk tidak berpuasa ?

Ya. Dengan catatan mereka memiliki indikasi-indikasi kekhawatiran. Untuk mengetahui apakah puasa perempuan hamil atau menyusui dapat membahayakan atau tidak, dapat ditinjau dari kondisi kebiasaan sebelum-sebelumnya dan keterangan dokter ahli  diikuti dengan dugaan yang kuat.

Hal ini merujuk kepada ungkapan as-Said Sabiq:

مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ  أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيْبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ

“Mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja) bisa dengan melihat kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpercaya atau dengan dugaan yang kuat (as-Said Sabiq, Fiqih Sunnah)”.

Wanita hamil atau menyusui apakah termasuk otang sakit sehingga boleh tidak berpuasa?

Jika memang tidak berpuasa adalah yang baik bagi sang ibu beserta janinnya, maka ia cukup menggantinya dengan puasa di luar Ramadan saja. Lalu jika sang ibu memiliki kendala berupa udzur syar’I (sakit berkepanjangan, terputus oleh nifas dan menyusui,dll) maka cukup baginya membayar fidiyah saja.

Beberapa pertanyaan ini merujuk kepada firman Allah dan hadis nabawi:

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin)” (QS. Al-Baqoroh: 184)

إِنَّ اللهَ تَعَالَي وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ الصَّوْمَ وَ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَ عَنْ الحَامِلِ أَو المُرْضِعِ الصَّوْمَ

“Sesungguhnya Allah ta’ala meringankan kewajiban puasa dan separuh shalat bagi musafir, dan meringankan kewajiban puasa bagi perempuan hamil dan perempuan menyusui (HR. Tirmizi)

Hadis ini belum menjelaskan secara detail apa dispensasinya, apakah mengganti dengan puasa yang ditinggalkan atau membayar fidiyah.

Ibnu Rusydi dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, bahwa dalam pembasan ini ada empat pendapat:

1.Mereka wajib membayar kafarat saja, dan tidak wajib mengqada. Pendapat ini dikutip dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.

2.Mereka wajib mengqada dan tidak mesti membayar kafarat. Ini dikutip dari pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur.

3.Mereka wajib mengqada dan mesti juga membayar kafarat. Inilah pendapat Imam asy-Syafi’i.

4.Perempuan hamil wajib mengqada dan wanita yang menyusui wajib mengqada sekaligus wajib membayar fidiyah. Kata Imam al-Jauzi ini pendapat yang pepuler dari Imam Malik.

Bagi ulama-ulama yang menyamakan wanita hamil dan wanita menyusui dengan orang sakit maka mereka hanya wajib mengqada (mengganti) saja.

Dan bagi ulama yang menyamakan mereka dengan orang yang berkeberatan berpuasa maka mereka hanya wajib membayar fidiyah.

Begitupun bagi ulama yang menyamakan mereka dengan orang sakit atau yang terkena mudhorot jika melanjutkan puasa, maka mereka wajib mengganti karena identik dengan orang sakit dan juga berkewajiban membayar fidiyah karena identik dengan orang yang berkeberatan berpuasa.

Berbagai macam pendapat di atas menunjukan keluasan fleksibilitas hukum islam serta memberi peluang dan kesempatan kepada umatnya.

Puasa yang dilewatkan apabila diganti dengan puasa harus sesuai berapa hari yang ditinggalkan, berbeda dengan yang membayar fidiyah ketentuanya harus memberi makan orang miskin sebanyak satu mud per satu hari meninggalkan puasa.

Kemudian berapa banyak ibu hamil atau menyusui harus membayar fidyah ?

Satu mud adalah 675 gram atau dibulatkan menjadi 700 gram beras. Semuanya diberikan lengkap dengan lauknya. KH. Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya Ramadhan bersama Ali Mustafa Ya’qub menyatakan ukuran beras dan lauk orang indonesia dapat dibulatkan sebesar Rp. 15.000.

Apabila ditinggalkaan 10 hari maka yang dikeluarkan sebesar Rp. 150.000 dan puasa sepuluh hari apabila ibu hamil atau menyusui khawatir akan bayinya.

Mengenai pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin atau faqir. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Khatib asy-Syarbini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj ilaa Ma’rifati al-Fazh al-Minhaj:

وَ لَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الفِدْيَةِ إِلَي شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ.

“Baginya boleh mendistribusikan semua jumlah fidiyah kepada satu orang karena setiap hari adalah ibadah yang independen (Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati al-Fazh al-Minhaj)

Wallahu a’lam bishowab

By Ibrahim Mufid

Mahasantri Darus-sunnah semester 1 dan Mahasiswa semester 1 FDI