Larangan Bagi Wanita yang Sedang Haid

Majalahnabawi.com – Salah satu aspek yang kompleks bagi wanita adalah yang berkaitan dengan menstruasi atau haid. Wanita yang mengalami menstruasi perlu memperhatikan dengan cermat jenis darah yang keluar, karena dapat saja yang keluar bukanlah darah haid, melainkan istihadhah atau sebaliknya. Kedua jenis darah ini merupakan darah yang paling umum keluar dari seorang wanita, baik dia sudah menikah ataupun belum.

Saat sedang haid, wanita tidak boleh melaksanakan ibadah-ibadah yang biasanya dijalankan oleh wanita yang tidak sedang haid, seperti shalat, puasa, menyentuh dan membawa Al-Quran, thawaf, serta berhubungan intim dengan suami. Sementara itu, wanita yang sedang mengalami istihadhah memiliki hukum yang sama seperti wanita pada umumnya. Mereka tetap wajib melaksanakan shalat, puasa, boleh menyentuh, membawa, dan membaca Al-Quran, serta melakukan hal-hal lainnya.

Berhubungan Intim saat Haid

Berkaitan dengan hal ini, Allah swt melarang semua manusia untuk menjauhi (tidak melakukan hubungan intim) dengan wanita yang sedang haid hingga mereka bersuci dari hadats besarnya tersebut. Dalam Al-Quran Allah berfirman (QS: Al-Baqoroh ayat 222):

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Haid adalah Ketetapan Allah bagi Kaum Wanita

Rasulullah Saw. bersabda:

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْقَاسِمِ قَالَ سَمِعْتُ الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَائِشَةَ تَقُولُ خَرَجْنَا لَا نَرَى إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا كُنَّا بِسَرِفَ حِضْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قَالَ مَا لَكِ أَنُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ قَالَتْ وَضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نِسَائِهِ بِالْبَقَرِ

“Telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, Aku mendengar ‘Abdurrahman bin Al Qasim berkata, Aku mendengar Al Qasim bin Muhammad berkata, Aku mendengar ‘Aisyah berkata, “Kami keluar dan tidak ada tujuan selain untuk ibadah haji. Ketika tiba di Sarif aku mengalami haid, kemudian Rasulullah ﷺ masuk menemuiku sementara aku sedang menangis. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi denganmu? Apakah kamu datang haid?” Aku jawab, “Ya.” Beliau lalu bersabda, “Sesungguhnya ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita dari anak cucu Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang-orang yang haji, kecuali tawaf di Ka’bah.” ‘Aisyah berkata, “Kemudian Rasulullah ﷺ berkurban dengan menyembelih seekor sapi yang diniatkan untuk semua istrinya.”

Wanita Haid pada Zaman Jahiliyah

Pada masa Jahiliyah, wanita yang haid ini menjadi sesuatu yang menjijikkan dan harus dipikul kaum wanita. Pada masa itu, orang Yahudi tidak memperlakukan secara manusiawi terhadap istrinya yang sedang haid. Mereka mengusirnya dari rumah, tidak mau mengajak tidur dan makan bersama, yang semua itu sangat melecehkan kaum wanita. Sementara, orang Nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya di kala haidl.

Hal ini mendorong para sahabat untuk menanyakan tentang hukum-hukum haid, sehingga turunlah ayat di atas. Ayat dan Hadits di atas, merupakan gambaran sebagian jawaban tentang hukum-hukum yang terkait dengan haid. Yang mana setiap orang harus memperlakukan wanita sebagaimana mestinya. Dari sinilah, kemudian para ulama merumuskan hukum-hukum yang terkait dengan haid. Dengan adanya hadis-hadis lain sesuai babnya. Selain itu, Imam as-Syafi’i dalam merumuskannya, tidak hanya berlandaskan pada Al- Quran dan Hadis, akan tetapi beliau juga mengadakan penelitian pada berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus wanita dari berbagai daerah dan taraf ekonomi yang berbeda untuk menyimpulkan hukum-hukumnya.

Ketentuan Haid pada Wanita

Haid atau menstruasi, secara harfiah (lughot) mempunyai arti mengalir. Sedangkan menurut arti syara’ (pandangan Islam) adalah darah yang keluar melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit), dan keluar secara alami bukan karena melahirkan atau suatu penyakit pada rahim. Dengan demikian, darah yang keluar ketika wanita yang belum berumur 9 tahun kurang 16 hari kurang sedikit atau karena penyakit dan juga melahirkan, namanya bukan darah haid.[1]

Pada umumnya, wanita dalam setiap bulan selalu mangalami haid secara rutin sampai masa menopause (usia tidak keluar haid). Namun tidak menutup kemungkinan terjadi haid pada masa-masa usia senja, sebab tidak ada batas usia maksimal wanita mengeluarkan darah haid.[2]

Mengingat permasalahan haid selalu bersentuhan dengan rutinitas ibadah setiap hari, maka seorang wanita wajib untuk mengetahui hukum-hukum permasalahan yang ia alaminya, agar ibadah yang ia lakukan sah dan benar menurut syara’. Untuk mengetahui hukum permasalahan tersebut, tidak ada jalan lain kecuali belajar.

Hukum Mempelajari Permasalahan Haid

1) Fardlu ‘ain bagi wanita yang baligh

Artinya, wajib bagi setiap wanita yang sudah baligh untuk belajar dan mengerti permasalahan yang berhubungan dengan haidl, nifas dan istihadloh. Sebab mampelajari hal-hal yang menjadi syarat keabsahan dan batalnya suatu ibadah adalah fardlu ‘ain. Sehingga setiap wanita wajib keluar dari rumah untuk mempelajari hal tersebut. Dan bagi suami atau mahram tidak boleh mencegahnya, manakala mereka tidak mampu mengajarinya. Jika mampu, maka wajib bagi mereka memberi penjelasan dan boleh bagi seorang suami untuk melarang istrinya keluar dari rumah.

2) Fardlu kifayah bagi laki-laki

Mengingat permasahan haid, nifas dan istihadloh tidak bersentuhan langsung dengan rutinitas ibadah kaum laki- laki, maka hukum mempelajarinya adalah fardlu kifayah. Sebab mempelajari ilmu-ilmu yang tidak bersentuhan langsung dengan amaliah ibadah yang wajib bagi setiap orang, hukumnya adalah fardlu kifayah. Hal ini untuk menegakkan ajaran agama dan untuk keperluan Ifta’ (fatwa). Yang perlu perhatian juga, bagi orang tua wajib memerintahkan anaknya, baik laki-laki atau perempuan, untuk melaksanakan sholat ketika sudah berumur 7 tahun, dan memukulnya sekira menjerakan, tatkala meninggalkan sholat ketika sudah genap umur 10 tahun. Di samping itu, juga wajib melarangnya dari segala perbuatan yang haram dan memberi pelajaran tentang hal-hal yangwajib baginya ketika sudah baligh. Termasuk di dalamnya permasalahan haidl, nifas dan istihadloh. Ketika anak sudah baligh, maka tanggung jawab orang tua sudah gugur dan beralih menjadi tanggung jawab anak itu sendiri.

Kesimpulan

Masalah menstruasi pada wanita melibatkan pemahaman jenis darah yang keluar. Pada saat haid, perempuan tidak boleh melakukan ibadah tertentu, namun perempuan yang sedang istihadah tetap wajib menunaikan ibadah. Islam menekankan perlakuan adil terhadap wanita yang sedang menstruasi, dan hukum menstruasi dikembangkan oleh para ulama berdasarkan Al-Quran, hadis, dan pengamatan terhadap wanita. Perempuan harus untuk memahami hukum-hukum tersebut agar dapat menjalankan ibadah dengan benar.


[1] المجموع شرح المهذب ج 2  صـ  373المكتبة السلفية

[2] الأم للشافعي ج 1 ص 55 دار الشعب