Majalahnabawi.com – Beberapa hari lalu, seorang penceramah atau dikenal dengan dai mendapatkan respon keras di media sosial, tatkala menyampaikan pendapatnya terhadap hukum wayang. Pasalnya, ia dinilai menyampaikan ujaran kebencian, ungkapannya dianggap telah memperkeruh kehidupan bermasyarakat yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Bahkan, vidio tersebut dilaporkan secara hukum pada 15/02/2022, meskipun pihak kepolisian menolak laporan tersebut.

Setelah diperhatikan, nyatanya vidio yang berdurasi kurang lebih 2 menit itu, sudah ada sejak 4 tahun yang lalu. Hal demikian tentunya telah ditanggapi oleh masyarakat saat itu. Entah apa motifnya, penggalan vidio tersebut mulai muncul kembali ke permukaan di tengah peristiwa perampasan tanah, dan peristiwa Wadas. Terlepas dari segala isu, kiranya menjadi penting jika kami membahas wayang –salah satu tradisi- dalam kacamata agama secara objektif tanpa menyudutkan salah satu dari kedua pihak.

Dialog Islam dan Budaya

Sinkretisme antara agama dan budaya tidak seutuhnya dapat diterima oleh seluruh umat muslim, terkhusus Indonesia. Keduanya bagaikan dua kutub yang kerap kali dipertentangkan. Dampaknya, sebagian kelompok berusaha menghapus segala budaya orisinil yang bertentangan dengan agama, sebaliknya, kelompok nativisme tak jarang menggunakan pemeo “Tidak semua tradisi Arab adalah Islam” sebagai bentuk preventif dari upaya arabisasi.

Hingga akhirnya, kami dari tim reporter Nabawi berupaya menanyakan hal tersebut kepada seorang guru, “Ustaz Muhammad Hanifuddin, LC., S.S.I,. S.Sos”, apakah budaya dan agama selamanya akan menjadi suatu yang utopis untuk duduk berdampingan? Guru kami menjelaskan secara santun, bahwa sedikit banyak ajaran Islam atau hukum-hukumnya itu ditarik dari tradisi Arab. Misalnya, haji, diat, pernikahan, sebuah tradisi yang telah ada sebelum datangnya Islam.

Nabi Muhammad adalah laku pertama dalam mendialogkan antara Islam dan budaya. Dengan kata lain, beliau mencerminkan sikap adaptif ketika menyebarkan ajaran Islam di bumi Arab. Seperti halnya pernikahan. Konon, tradisi Arab dahulu –sebelum datangnya Islam- tidak memiliki pembatasan bagi laki-laki untuk menikahi perempuan. Hingga akhirnya Islam datang dengan ajarannya untuk membatasi pernikahan tersebut menjadi 4 perempuan saja.

Contoh Adaptasi Ajaran Islam dengan Budaya

Contoh yang lain, hukum potong tangan yang telah menjadi bagian dari syariat Islam. Sebelumnya, hukum potong tangan memang telah dilakukan pada masa pra-Islam, hingga akhirnya tradisi tersebut diadopsi menjadi bagian dari syariat. Kiranya, penceramah yang berpendapat untuk memusnahkan wayang, tidak berada pada posisi ini.

Permisalan di atas tidak berarti dapat disimpulkan, bahwa setiap tradisi dapat diterima oleh agama. Ada beberapa tradisi yang memang dihapus pasca kehadiran Islam, misalnya mengubur anak perempuan.  Artinya, segala tradisi yang tidak bertentangan dengan agama, masih dapat dipertahankan, sementara yang bertentangan, baiknya ditinggalkan. Pada sisi ini, tidak ada yang salah dari saran sang penceramah tersebut.

Hanya saja, sesuatu yang sepatutnya ditandai, apakah Nabi menghapus tradisi tersebut dengan cara konfontratif –dalam artian, cara yang keras- atau melalui cara-cara yang persuasif? Mungkin syariat mengenai khamar merupakan contoh yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Bahwa Nabi tidak semerta-merta memusnahkan, atau mengharamkannya ketika itu, tapi dengan cara pelan-pelan dan berangsur-angsur. 

Jika ditinjau melalui sudut pandang Fikih. Kiranya kaidah “al-‘adat muhakkamatun” merupakan contoh dari kepedulian para fuqaha dalam memandang hubungan agama dan budaya, dikarenakan pertemuan antara syariat dan budaya adalah sesuatu yang tak dapat terelakkan. Dengan demikian, kaidah di atas dapat menjadi stimulus bagi umat muslim, untuk lebih santun dalam menanggapi perbedaan budaya.

Beliau juga menekankan, bahwa tidak selamanya yang datang dari Arab dapat diidentikkan dengan label Islam. Misalnya penyebutan kata sapa sanak, tretan, sedulur, baraya tidak berarti bahwa masyarakat Nusantara telah keluar dari ajaran Islam, sehingga harus mengganti dengan istilah ikhwan, akhwat. Hal demikian tidal lain merupakan bentuk pengerdilan terhadap agama Islam. sebab nilai yang patut ditekankan dari pada perintah Nabi, ialah tegur sapa terhadap setiap muslim (Ifsya’ al-Salam).

Wayang sebagai Medan Dakwah

Jika ditinjau lebih jauh, wayang memang sedikit-banyak menyerap ajaran-ajaran dari agama Hindu-Budha. Sementara itu, ulama-ulama Nusantara dengan ciamik memasukkan nilai-nilai ajaran Islam terhadap tradisi wayang tersebut. hal ini diprakarsai oleh Sunan Kali Jaga yang menjadikan wayang sebagai alat dakwah dalam membumikan ajaran Islam.

Dengan demikian, kita dapat melihat wayang secara objektif sebagai suatu yang netral. Citra negatif yang dilekatkan pada wayang tentunya tidak bersifat absolut, pada waktu lain, wayang dapat menjadi hal yang positif jika dibungkus dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Pada gilirannya, budaya yang memang baik tentunya tetap dapat dijalankan, sementara yang bertentangan tidak perlu dicela. Beliau menegaskan, sekalipun konsep tauhid sebagai bentuk kepercayaan umat muslim yang wajib disampaikan kepada manusia, tidak mengajarkan kepada pemeluknya untuk mencela Tuhan lain di luar ajaran Islam [al-An’am: 108].

Sebagai penutup, adalah penting bagi para tokoh-tokoh agama untuk mulai menahan diri agar tak saling menjatuhkan, dengan mengadakan sebuah diskusi terbuka lintas golongan, supaya dapat saling menghormati segala perbedaan. Upaya ini dapat membantu masyarakat akar rumput, agar tidak merasa dibingungkan dengan perhelatan yang terjadi antara sesama pemuka agama. Wallahu A’lam.