Majalahnabawi.com – Selepas shalat Jumat, udara kota Kairo masih membeku. Dinginnya menusuk tulang. Sinar matahari tidak kuasa menghalau hembusan udara dingin. Namun demikian, cuaca itu tidak menyurutkan semangat ustaz Faris, mahasiswa S2 Fakultas Dirasat Islamiyah al-Azhar Mesir. “Siang ini, kita ziarah ke makam Imam Laits ya, Kang. Beliau adalah salah satu perawi hadis yang banyak meriwayatkan hadis di Shahih al-Bukhari.” Tanpa berpikir panjang, kami mengiyakan ajakannya. Ada 7 rombongan yang siap ikut serta. Musim dingin siap diterabas. Maklum, rombongan hanya punya jatah 2 bulan di Mesir. Mengikuti Daurah Aimmah di Madinatul Bu’uts, asrama milik al-Azhar.

Mengenal Imam Laits Sebagai Perawi Hadis

Sembari menyusuri jalan pasir yang belum beraspal, kami belum begitu mengenal lebih dekat Imam Laits bin Sa’d (94-175 H). Hanya sebatas tahu bahwa beliau adalah perawi hadis, juga ahli fikih. Putra daerah dari Mesir. Tetapi, keilmuannya setara dengan Imam Malik bin Anas (93-179 H), tokoh besar di Madinah. Baru dalam beberapa bulan terakhir, ketika rutin sorogan Kutubussittah dan membaca Bidayatul Mujtahid, kami dapat merasakan kebesaran Imam Laits. Namanya selalu muncul di sanad kitab-kitab induk dalam kajian Hadis. Di antaranya adalah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, dan lainnya. Data ini, menjadi garansi kepakaran Imam Laits dalam bidang Hadis.

Tidak jauh berbeda, Imam Ibnu Rusyd (520-595 H), dalam kitab Bidayatul Mujtahid juga sering merujuk pada pandangan Imam Laits. Ketika terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih, Imam Laits adalah tokoh penting di dalamnya. Pandangan beliau disandingkan dengan pandangan Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam al-Syafi’i dan lain sebagainya. “Imam Laits lebih menguasai Fikih dari pada Imam Malik. Hanya saja, para muridnya tidak mengembangkan pemikirannya.” Demikian pengakuan Imam al-Syafi’i (150-204 H).

Di sisi lain juga, Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) berujar, “Imam Laits adalah gudang ilmu, terutama ilmu Hadis.” Kepakaran ini memang tidak mengherankan. Mengingat Imam Laits sejak usia belia sudah terlihat kecerdasannya. Bermula di masjid al-Fusthat, belajar dengan generasi tabi’in yang menyebarkan Islam ke Mesir. Di antaranya adalah Yahya bin Sa’id, Ja’far bin Rabi’ah, dan Yazid bin Abi Habib. Dari masjid ini, ilmu-ilmu dasar keislaman beliau kuasai dengan baik. Termasuk ilmu bahasa dan syair-syair Arab klasik.

Tidak berhenti di situ, sejak usia dua puluhan, Imam Laits pergi ke Hijaz. Berguru kepada tokoh-tokoh besar di Madinah dan Makkah. Salah satunya adalah Imam Ibnu Syihab al-Zuhri (51-124 H) dan Imam Nafi’ (30-117 H). Kedua tokoh ini adalah gudangnya Hadis. Nama kedua tokoh ini harum termaktub dalam sanad kitab-kitab hadis. Setelah menimba ilmu di Hijaz, Imam Laits mengabdikan hidupnya di Masjid al-Fusthat. Masjid yang didirikan oleh Sayidina Amr bin al-Ash (43 H). Sahabat yang pertama kali menjadi penguasa di Mesir.

Imam Laits sebagai Zuhud Nan Dermawan

Dalam banyak kitab biografi, disebutkan bahwa Imam Laits tidak hanya gudangnya ilmu, namun juga tokoh yang kaya raya. Tanah dan ladangnya sangat luas. Dalam persaksian Imam Qutaibah, Imam Laits setiap hari memberikan sedekah kepada 300 orang miskin. Dalam hal ini Imam Abdullah bin Shalih juga memberikan persaksian bahwa selama 20 tahun, Imam Laits tidak makan kecuali bersama orang-orang fakir miskin. Demikian halnya ketika ada tetangga yang sakit ataupun membutuhkan, Imam Laits selalu berusaha memberikan bantuan. Imam Laits adalah sosok yang banyak harta dan banyak ilmu, namun tetap hidup sebagai orang zuhud. Harta tidak melalaikannya. Namun sebaliknya, harta menjadi bekal berbagi dan membantu sesama.

Lantas, tertarikah Anda?

By Muhammad Hanifuddin

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences