Oleh: Muhammad Khalimi, S.Th.I., Lc.*

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن رِشْدِين قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْغَفَّارِ بْنُ دَاوُدَ أَبُوْ صَالِحٍ الْحَرَّانِي قَالَ حَدَّثَنَا حَيَّانٌ بن عُبَيْدُ اللهِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُوْ مَجَازٍ بن حُمَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ.

“Dari Ibnu Abbas mengatakan: “Bendera (pasukan) Rasulullah itu hitam dan panjinya itu putih yang bertuliskan di atasnya La Ilaha illa Allah Muhammadu Rasulullah” (HR. Thabrani)

Hadis yang menerangkan tentang bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid di atas terdapat dalam kitab Mu’jam al-’Awsath karya imam al-Thabrani.

Selain terdapat dalam Mu’jam al-Thabrani, Hadis serupa juga terdapat dalam kitab Akhlaq al-Nabi Saw wa Adabuhu karya Abu al-Syaikh al-Ashbihani.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ زَنْجَويه المخرمي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بن أَبِي السَّرِي العَسْقَلَانِي، حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ بن طَالِبٍ، عَنْ حَيَّان بن عُبَيْدِ اللهِ، عَنْ أَبِيْ مَجَازٍ، عَنِ ابْنُ عَبَّاسٍ، قال:  كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضُ، مَكْتُوْبٌ فِيْهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

 

Kajian Sanad

Secara umum Hadis-Hadis yang menerangkan tentang bendera hitam yang bertuliskan La Ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah sebagaimana yang tertera di atas mempunyai kualitas lemah baik yang diriwayatkan oleh al-Thabrani maupun Abu al-Syaikh. Hadis di atas termaktub dalam kitab al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal karya Ibnu ‘Adi, yang mana kitab tersebut menghimpun Hadis-Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah.

Adapun kedaifan Hadis riwayat al-Thabrani ini dikarenakan adanya seorang perawi yang bernama Ahmad bin Risydin. Oleh imam al-Nasa’i, perawi dikategorikan sebagai kadzdzab, imam al-Dzahabi memberikan status muttaham bi al-wadh’, imam Ibnu Hatim mengomentarinya dengan takallamu fihi, dan Ibnu ‘Adi mengatakan bahwa ia adalah perawi yang banyak memilki riwayat Hadis akan tetapi banyak sekali yang munkar dan palsu, dan ia termasuk orang yang riwayat Hadisnya banyak ditulis. Sedangkan Ibnu Yunus, Ibnu ‘Asakir, Ibnu al-Qaththan, dan Maslamah bin al-Qasim mengatakan bahwa Ahmad bin Risydin merupakan huffazh al-Hadis  dan tsiqah. Setelah menimbang sesuai dengan kaidah al- jarh wa al-ta’dil yang mengatakan “bila terdapat dua keterangan antara jarh dan ta’dil maka diutamakan jarh apabila terdapat keterangan”, maka penulis mengategorikan Ahmad bin Risydin sebagai muttaham bi al-kidzb yang banyak sekali mempunyai riwayat Hadis dan Hadisnya pun ditulis.

Sedangkan kedaifan dalam Hadis riwayat Abu Syaikh dari Abu Hurairah di atas disebabkan oleh perawi bernama Muhammad bin Abu Humaid. Oleh kebanyakan ulama ahli Hadis seperti al-Bukhari, Ibnu Hibban, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in, dan al-Daruquthni, semuanya  mengatakan bahwa rawi tersebut lemah karena ia termasuk dalam kategori munkar al-Hadis. Dan Hadis riwayat Abu Syaikh dari Ibnu Abbas tergolong Hadis hasan karena mempunyai rawi yang diterima. Hanya saja ke-hasan-annya  tidak sampai kepada derajat sahih.

Jadi, Hadis di atas tergolong Hadis yang tingkat kedaifannya parah sehingga Hadis riwayat al-Thabrani termasuk dalam lingkup Hadis matruk dan Hadis riwayat Abu Syaikh dari Abu Hurairah tergolong sebagai Hadis munkar. Sedang riwayat Abu al-Syaikh dari Ibnu Abbas tergolong hasan.