Berdiam Diri di Masjid

Menstruasi adalah suatu kejadian alamiah yang dialami oleh kaum hawa dalam waktu-waktu tertentu. Ia tidak bisa ditolak oleh siapa pun yang tidak menginginkannya, bahkan ketika tidak datang, kaum hawa merasa ada sesuatu yang berbeda, sehingga ia perlu tanya ke dokter.

Kenapa kok harus tanya ke dokter, guna tuk mengetahui apakah ia terkena penyakit Amonorrhea atau tidak? Mentruasi bagi wanita bagaikan makanan pokok pada setiap bulannya

Dalam literatur fikih klasik maupun kontemporer menyebutkan bahwa ada aktifitas yang tidak diperbolehkan dikerjakan oleh wanita yang sedang haid. Salah satu perkara yang diharamkan tersebut adalah berdiam diri (al-Mukts) di dalam masjid. Hal ini karena ada suatu sabda Nabi yang mengatakan “tidak halal bagi orang yang haid dan junub masuk masjid”.

Hadis yang menyatakan keharaman hā’idh berdiam diri di masjid yaitu:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَفْلَتُ بْنُ خَلِيفَةَ حَدَّثَتْنِى جَسْرَةُ بِنْتُ دِجَاجَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ : جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَوُجُوهُ بُيُوتِ أَصْحَابِهِ شَارِعَةٌ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ :« وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنِ الْمَسْجِدِ ».

ثُمَّ دَخَلَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يَصْنَعِ الْقَوْمُ شَيْئًا رَجَاءَ أَنْ تَنْزِلَ لَهُمْ رُخْصَةٌ ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ بَعْدُ فَقَالَ :« وَجِّهُوا هَذِهِ الْبُيُوتَ عَنِ الْمَسْجِدِ ، فَإِنِّى لاَ أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ ولاَ (جُنُبٍ (رواه أبو داود والبيهقي، وصححه ابن خزيم

“Rasulallah Saw datang, sementara pintu-pintu rumah sahabat terbuka dan berhubungan dengan masjid. Maka beliau bersabda: “Pindahkanlah pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap ke masjid!”, lalu Nabi SAW. masuk masjid, dan para sahabat belum melakukan apa-apa dengan harapan ada wahyu yang turun yang member keringanan kepada mereka.

Kemudian Rasul Saw. keluar menemui mereka seraya berkata: “Pindahkanlah pintu-pintu rumah kalian untuk tidak menghadap dan berhubungan dengan masjid, karena saya tidak menghalalkan masuk masjid bagi wanita yang sedang haid dan orang yang sedang junub.”

Dalam kitab Irsyad al-Abid fi Hukm al-Mukts al-Junub wa al-Haidh wa al-Nufasa’ fi al-Masjid karya Syarif Murad Abu ‘Amr, mengatakan bahwa Hadis ini merupakan Hadis yang diperdebatkan kesahihannya.

Sebagian ulama mendhaifkan Hadis di atas, lantaran ada dua periwayat yang daif, yakni ‘Aflat bin Khalīfah dan Jasrah bin Dijajah.

Dalam mengomentari dua periwayat tersebut, Ibnu Hazm berkomentar bahwa ‘Aflat bin Khalifah itu majhul hal (tidak diketahui tindak-tanduknya). Kemudian al-Khaththabi mengatakan bahwa ‘Aflat bin Khalifah itu seorang rawi yang majhul dan Hadisnya itu tidak bisa dijadikan hujah. Karena ada dua periwayat yang tidak diketahui perilakunya maka Hadis ini tergolong Hadis daif.

Dalam kaidah hukum, Hadis daif tidak bisa digunakan untuk hujah suatu hukum. Selain kedua imam di atas, Imām al-Nawawi, Imam Ibn Hanbal, dan Imam Abu Muhammad Abd al-Haq juga mendaifkan Hadis di atas. Dan ulama kontemporer yang mendaifkan Hadis di atas adalah al-Albani.

Berbeda ulama di atas, sebagian ulama, seperti Ibnu Qaththan –sebagaiman yang dikutip Ibnu Hajar-menganggap Hadis di atas berstatus hasan, akan tetapi cuma sebatas hasan li ghairihi. Adapun Ibnu Khuzaimah mensahihkan Hadis itu. Dan Hadis hasan li ghairihi bisa dijadikan hujjah selagi tidak terjadi ta’arudh (pertentangan) dengan Hadis yang lain dimana derajatnya lebih tinggi, seperti hasan, shahih li ghairihi, atau shahih.

Dan ternyata ditemukan Hadis shahih yang menyatakan bahwa ada ammat (budak perempuan hitam yang dibuatkan kemah di dalam masjid sebagai tempat tinggalnya, padahal sesuatu yang pasti terjadi bagi wanita di setiap bulannya adalah haid, akan tetapi Rasulallah Saw diam saja, dan tidak melarangnya. (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya). Kemudian bagaimana hukum wanita yang haid berdiam diri di masjid? Dan bagaimana solusinya?

Bolehkah Wanita Haid Berdiam di Masjid?

Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa keharaman wanita haid berdiam diri di masjid bukan karena khawatir darah haid menetes di masjid, akan tetapi ‘illat (alasan) diharamkannya hal tersebut melainkan karena ta’abbudi.

Dawud al-Zahiri berpendapat bahwa orang junub dan haid boleh berdiam diri di masjid. Ia mendasarkan pendapatnya dengan mengatakan bahwa Hadis yang menyatakan tentang pengharaman berdiam diri bagi kedua orang di atas adalah daif.

Perihal perbedaan pendapat di kalangan ulama, hal itu sangatlah wajar, itu karena perbedaan metode yang digunakan oleh setiap masing-masing dalam mengistinbatkan suatu dalil sehingga menjadi suatu hukum. Abd al-Wahhab al-Sya’rani mengatakan “syariat itu bagai sebuah pohon besar yang tersebar. Pendapat-pendapat para ilmuwannya bagai cabang-cabang dan ranting-rantingnya. Maka tidak ada –bagi-kita sebuah cabang tanpa asal, dan tidak ada buah tanpa ranting, sebagaimana tidak ada bangunan tanpa tembok”. Tidak ada satu pendapat pun yang dikemukakan ulama yang keluar dari kaidah-kaidah syariat, sebagaimana yang kami ketahui.

Sesungguhnya pendapat-pendapat mereka semua adalah di antara dekat dan lebih dekat, jauh dan lebih jauh, dilihat dari maqām (derajat) setiap manusia. Sorotan sinar syariat mencakup mereka semua dan menggeneralisir mereka, walau berbeda dalam meliha maqam Islam, iman, dan ihsan.

Solusi

Setelah beberapa bulan yang kami survei pada sekelompok kaum wanita, mengenai pemahaman mereka mengenai pelarangan seorang ha’īdh berdiam diri di masjid. Mereka semua tahu akan hal tersebut. akan tetapi, kebanyakan mereka menganggap hal itu berat baginya, apalagi untuk konteks Jakarta yang begitu kompleks, tak jarang acara-acara terutama acara agama dilakasanakan di masjid.

Sebagian mereka merasakan ada semacam beban psikologis, maksudnya di satu sisi mereka tahu bahwa wanita haid haram berdiam di masjid apa pun alasannya, di sisi lain pengharaman tersebut sangatlah berat dimana implikasinya adalah mereka nekat berdiam diri di masjid untuk mengikuti acara yang diadakan di masjid. Sambil megantongi rasa ragu-ragu, “dosa nggak ya aku ini, masa gara-gara haid aku tidak bisa mengikuti dan mencari ilmu di masjid” kata mereka.

Dari sini kita dapat menerapkan teori takhfif (peringanan hukum) dan tasydīd (memperberat hukum)-nya al-Sya’rani. Teori ini bisa diterapkan sesuai dengan pemahaman, kultur, dan psikologis mukallaf yang bersangkutan. Bagi wanita yang merasa bahwa pelarangan wanita haid masuk masjid itu terlalu repot, berat, dan sebagianya, karena aktifitasnya selalu berhubungan dengan masjid, maka diperbolehkan baginya berdiam di masjid, baginya terkena hukum takhfīf.

Bagi wanita yang merasa sebaliknya dari wanita di atas, karena misalnya bukan “aktifis masjid”, maka baginya terkena hukum tasydīd. Tentunya hal ini hanya bisa diketahui bagi mereka yang mengalaminya. Wallahu ‘a’lam bi al-Shawab.

Similar Posts