nikah

Majalahnabawi.com – Di antara hadis yang populer tentang anjuran menikah adalah riwayat Aisyah Ra, dari Nabi Saw yang berbunyi:

النِّكَاحُ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Menikah adalah sunnahku. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan sunnahku, maka ia bukan kelompok umatku.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunnah-nya dengan redaksi tambahan yang lebih panjang. Hanya saja dalam sanadnya terdapat rawi bernama Isa ibn Maymun yang dihukumi dhaif (lemah) oleh para ulama.

Abu Ya’la dan al-Bayhaqi dalam Sunan-nya melalui jalur Ubayd ibn Sa’d juga meriwayatkan hadis hampir serupa, namun dengan kalimat positif, yaitu “barangsiapa menyukai fitrah-ku, maka hendaknya ia berpegang pada sunnahku. Di antaranya adalah menikah.” Al-Iraqi menilainya sebagai hadis hasan yang bisa diamalkan.

Secara substansi, hadis ini didukung oleh banyak riwayat shahih tentang anjuran menikah. Seperti hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang kemanusiawian Nabi saw yang puasa dan berbuka, salat dan tidur, serta menikah. Kemudian di akhir hadis tersebut ia bersabda, “barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku.”

Melalui hadis di atas, Nabi saw ingin menjelaskan bahwa menikah adalah sunnahku, yaitu jalan hidup yang aku tempuh di muka bumi ini. Nabi saw adalah manusia biasa yang menjalani hidup layaknya umat manusia pada umumnya. Sebagai manusia biasa, ia merasakan lapar atau kenyang, terjaga atau tidur, menyendiri atau bersosialisasi, serta menikah dan memiliki keturunan.

Bedanya, Nabi Muhammad saw adalah seorang utusan Allah yang mendapatkan wahyu dari-Nya untuk disebarkan kepada umatnya. Dalam posisi tersebut, maka Allah swt memerintahkan hamba-Nya untuk menyembah-Nya serta mengikuti jalan hidup utusan-Nya.

Selain merupakan sisi kemanusiawian, menikah adalah teladan hidup Nabi saw yang diharapkan juga diikuti oleh para umatnya. Sehingga ia pun melanjutkan sabdanya bahwa barangsiapa yang tidak melaksanakan sunnahku yang di antaranya dengan tidak menikah atau bahkan menentang dan tidak meyakini akan teladan hidup yang ada pada diriku, maka ia bukan kelompok umatku. Ia bukanlah orang yang memiliki ketersambungan denganku, dengan petunjukku, apalagi dengan jalan hidupku.

Secara bahasa, nikah memiliki arti berkumpul atau menyatu. Sedangkan secara istilah, Wahbah al-Zuhayli mendefinisikannya sebagai akad yang menyimpan makna kebolehan bersenang-senang dengan diri perempuan, baik dengan bersetubuh, bergaul, mencium, berkumpul, atau yang lainnya, dengan catatan perempuan tersebut bukanlah mahramnya.

Pakar Ushul Fiqh dan bahasa menganggap bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual, sementara akad hanya bersifat majazi (metaforis). Hal ini dilandaskan pada petunjuk banyak ayat dan hadis yang mengarahkan kepada hubungan seksual sebagai inti dari menikah, seperti Q.S. al-Nisa’ [4]: 22.

Sementara menurut ulama fikih hakikat nikah digunakan untuk menyebut akad nikah dan terkadang dipakai secara majazi untuk menyebut hubungan seksual. Hal itu didasarkan kepada banyaknya ayat dan hadis yang menggunakan kata “nikah” untuk akad nikah. Al-Zamakhsyari berkata bahwa tidak ada satu pun kata nikah dalam al-Quran yang berarti hubungan seksual kecuali dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 230.

Dari hadis di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa menikah hukumnya sunnah. Hal itu juga didukung oleh ayat maupun banyak hadis yang secara umum menyeru umat Islam untuk menikah. Berbeda halnya dengan mazhab Dzahiri yang menghukumi nikah sebagai suatu kewajiban, sehingga seseorang dianggap berdosa jika meninggalkannya. Argumen yang diajukan oleh mazhab ini adalah bahwa redaksi yang terdapat dalam ayat maupun hadis kebanyakan berbentuk fi’il amr atau perintah yang menunjukkan suatu kewajiban. Selain itu, menikah juga dianggap sebagai jalan untuk menjaga diri dari keharaman.

Namun, pendapat mazhab Dzahiri ini disangkal oleh mayoritas ulama bahwa sekiranya hukum menikah adalah wajib tentu Nabi saw tidak akan membiarkan adanya sahabat yang tidak menikah. Selain itu juga terdapat banyak hadis yang mengindikasikan ketidakwajiban seseorang untuk menikah. Seperti hadis tentang kebebasan bagi perempuan janda untuk menikah atau tidak tanpa dipaksa oleh walinya. Karena sekiranya menikah itu wajib, maka wali tersebut pun wajib memaksanya untuk menikah.

Sementara mazhab Syafi’i berpendapat bahwa menikah hukumnya mubah atau boleh. Hal ini didasarkan pada tujuan dari menikah, yaitu untuk memeroleh kenikmatan duniawi sebagaimana makan, minum, dan lain-lain yang juga dihukumi mubah. Hal ini selaras dengan definisi menikah di atas, yaitu akad yang membolehkan seorang lelaki memeroleh kenikmatan dengan perempuan atau berhubungan biologis dengannya.

Yang paling bijak adalah menghukumi nikah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing individu. Ketika seseorang dianggap telah mampu memberi nafkah lahir maupun batin dan meyakini dirinya dapat terjatuh pada lubang zina jika tidak menikah, maka “wajib” baginya untuk segera menikah. Akan tetapi, jika keadaannya stabil, dalam artian ia telah memiliki kemampuan untuk menafkahi dan tidak ada kekhawatiran jatuh pada dosa zina, maka hukum menikah baginya adalah “sunnah”.

Sebaliknya, jika pernikahan seseorang dapat menimbulkan kemadaratan atau diyakini ia akan berbuat zalim terhadap istrinya, maka “haram” baginya untuk menikah. Namun, jika hal tersebut hanya sebatas kekhawatiran belaka dan tidak sampai pada derajat yakin, maka “makruh” baginya untuk menikah. Hal senada juga berlaku bagi orang yang telah tua dan pikun atau memiliki penyakit seperti impoten dan semisalnya.

Pertanyaannya, bagaimana jika seseorang di satu sisi khawatir akan terjatuh pada dosa zina, namun di sisi lain ia juga berpotensi berbuat zalim terhadap istrinya? Dalam hal ini berlaku kaidah fikih “jika berkumpul suatu kehalalan dan keharaman maka kerahaman dimenangkan atau didahulukan.” Dengan demikian, maka haram baginya untuk menikah.

Terlepas dari hukum-hukum di atas, terdapat banyak hikmah dibalik anjuran menikah. Manusia adalah makhluk yang dihiasi dengan syahwat terhadap lawan jenis, namun hal itu mesti disalurkan melalui cara yang dibolehkan yaitu melalui jalan nikah. Pada saat yang sama, buah dari syahwat terhadap lawan jenis ini adalah lahirnya generasi yang akan melanjutkan keberlangsungan hidup manusia di muka bumi. Sebab, setiap manusia akan mati, namun ia dapat meng-”abadi”-kan diri melalui keturunannya.

Selain tujuan biologis, menikah adalah penyatuan dua individu yang berlawanan jenis. Satu sama lain pasti berbeda, namun dapat saling melengkapi dan menguatkan. Keduanya dapat saling memberi manfaat dalam kebaikan dalam rangka mengarungi kehidupan dan meramaikan