www.majalahnabawi.com – Peranan hadis dalam kehidupan umat Islam terasa sangat vital dan senantiasa relevan hingga saat ini. Namun, di satu sisi hadis banyak dianggap sebagai celah bagi ajaran agama Islam, sebagaimana yang telah dituturkan oleh banyak orientalis. Bahkan, kritikan mereka banyak diamini oleh segolongan dari umat Islam itu sendiri. Sebut saja mereka sebagai inkar al-sunnah. Akan tetapi, ada fakta menarik yang bisa kita lihat dalam tradisi periwayatan dalam umat Islam. Jika kita bandingkan dengan tradisi kritik sejarah di Barat, ada perbedaan yang mencolok dalam menyikapi pembawaan berita yang sampai kepada mereka. Tradisi barat lebih mengutamakan bukti otentik seperti tulisan, naskah, dsb, namun kurang memperhatikan personalitas orang yang membawa bukti tersebut. Hal ini berlainan dengan ilmu riwayat dalam umat Islam yang sangat memperhatikan aspek personalitas orang yang membawa berita tersebut, bahkan menjadi cabang ilmu sendiri dalam ilmu hadis, yaitu al-jarh wa al-ta’dil. Hal ini malah menunjukkan keunggulan tradisi riwayat di dunia timur dibandingkan dengan barat. Nah, salah satu topik yang menarik untuk ditelaah dalam kajian ini adalah riwayat ahli bid’ah. Apakah riwayat ahli bid’ah dapat diterima?

Kefasikan yang Mempengaruhi Sifat Adil Perawi

Sebelum kita melangkah ke pembahasan, perlu diketahui bahwa tidak semua kefasikan membuat suatu periwayatan tidak diterima. Menurut Mustafa al-A’zhami, kefasikan terbagi menjadi dua.  Pertama, kefasikan dengan kemaksiatan. Kefasikan jenis ini memengaruhi ‘adalah dan ulama sepakat periwayatannya tidak diterima.

Namun ulama berbeda pendapat mengenai orang yang bertaubat dari perbuatan bohong atas nama Nabi Saw. Jumhur ulama tidak menerima periwayatan orang tersebut, walaupun telah bertaubat dengan benar. Hal ini sebagai pemberatan hukuman atas tindakannya. Namun an-Nawawi berpendapat bahwa orang tersebut diterima taubatnya, sebagaimana periwayatan orang kafir yang masuk Islam.

Kedua, yaitu kefasikan dengan kebid’ahan. Para ulama memiliki beberapa perbedaan pendapat dalam hal ini.

Periwayatan Ahli Bid’ah

Para ulama membagi ahli bid’ah menjadi dua kelompok, yaitu ahli bid’ah yang dikafirkan karena kebid’ahannya (bid’ah mukaffirah), dan pelaku bid’ah yang belum sampai dikafirkan/fasik (bid’ah ghairi mukaffirah).

Kelompok pertama, yaitu ahli bid’ah yang dikafirkan. Siapakah pelaku bid’ah yang dikafirkan? al-Nawawi berpendapat mereka adalah mujassimah dan kelompok yang mengingkari ilmu juz’iyyat. Ada juga yang berpendapat mereka adalah orang yang beraqidah khalq al-Qur’an, ini merupakan pendapat al-Bulqini yang dinukil dari al-Syafi’i. Jumhur ulama menolak periwayatan mereka secara mutlak. Namun, berdasarkan keterangan al-Khathib, ada sebagian ulama dari ahlu al-naql dan mutakallim yang menerima periwayatan mereka secara mutlak. Ini merupakan pendapat penulis kitab al-Mahshul. Lalu, ada juga yang menyatakan ada yang menerima dengan syarat kelompok mereka tidak menghalalkan dusta, jika iya maka tidak diterima.

Ada ungkapan menarik dari Ibnu Hajar dalam al-Nukhbah mengenai permasalahan ini, “Dan pendapat yang benar adalah tidak semua periwayatan ahli bid’ah yang dikafirkan itu ditolak periwayatannya, karena setiap kelompok menuduh yang berbeda pemahaman dengan mereka adalah pelaku bid’ah, dan terkadang berlebihan dan mengkafirkannya. Jikalau pendapat tersebut diambil secara mutlak maka akan mengonsekuensikan takfir kepada setiap kelompok. Maka pendapat yang mu’tamad ialah pendapat yang menolak periwayatan mereka yang mengingkari perkara yang sudah mutawatir dari syara’ (ma’lum min al-din bi al-dharurah), dan begitu pula yang berkeyakinan sebaliknya. Adapun mereka yang tidak bersifat seperti itu dan masih tergabung dalam batasannya, ketika mereka meriwayatkan dengan kewara’an dan ketakwaannya maka tidak ada penghalang untuk diterima riwayatnya.” 

Adapun kelompok kedua, dalam menyikapi mereka para ulama juga terbagi menjadi tiga pendapat secara umum. Akan tetapi, para ulama sepakat untuk menolak periwayatan rafidhah meskipun mereka belum sampai dikafirkan. Banyak ulama yang telah berkomentar atas hal ini.

Pertama, kelompok yang menolaknya secara mutlak. Hal ini karena jika kita meriwayatkan dari mereka, maka riwayat tersebut akan mempopulerkan mereka dan secara tidak langsung menjadi pujian bagi mereka. Padahal mereka adalah orang fasik karena keyakinannya. Ini merupakan pendapat Imam Malik. Namun pendapat ini dilemahkan oleh al-Nawawi dengan argumentasi bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim serta muhaddits lainnya meriwayatkan dari ahli bid’ah yang tidak menyeru kepada mazhabnya.

Kedua, kelompok yang menerimanya dengan syarat tidak berbohong untuk kepentingan mazhabnya, baik dia menyeru kepada mazhabnya atau tidak. Ini merupakan pendapat al-Syafi’i, sebagaimana dalam perkatannya, “Aku menerima persaksian ahlul ahwa’ kecuali khaththabiyyah -salah satu sekte syiah-, karena mereka (khaththabiyyah) membolehkan persaksian palsu demi kepentingan mereka.” Pendapat ini juga diikuti oleh Ibnu Abi Laila, al-Tsauri, dan Abu Yusuf.

Ketiga, kelompok yang menerimanya dengan syarat tidak menyeru kepada kebid’ahannya. Hal ini dikarenakan kebid’ahannya dikhawatirkan akan mempengaruhi periwayatannya dan berpotensi melakukan tahrif. Ini merupakan pendapat pilihan al-Nawawi, yang dinilai paling jelas dan adil. Namun, bukan berarti pendapat ini lepas dari kritik. al-‘Iraqi menyatakan bahwa Syaikhain berhujjah dengan mereka yang menyeru kepada mazhabnya, seperti ‘Imran bin Hiththan dan Abdul Hamid al-Hammani. Akan tetapi kritikan kritikan itu telah dijawab oleh as-Suyuthi dalam Tadrib al-Rawi.

Sebagai tambahan, sebagian ulama termasuk al-Jurjani menambahkan syarat bagi mereka yaitu dengan catatan tidak meriwayatkan hadis yang menguatkan kebid’ahan mereka. Pendapat ini juga diperkuat oleh Ibnu Hajar.