Majalahnabawi.com – Tidak diragukan lagi bahwa hadis menempati posisi yang tinggi dalam agama Islam. Selain merupakan sumber penetapan hukum yang kedua setelah al-Qur’an, Hadist juga merupakan sumber pengetahuan baik keagamaan atau ma’rifah diniyah, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan alam ghaib yang sumber satu-satunya adalah wahyu, seperti yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, surga dan neraka, hari kiamat dan tanda-tandanya, kejadian-kejadian di akhir zaman, ataupun pengetahuan yang berkaitan dengan aspek kemanusiaan atau jawanib insaniyah seperti yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, dan perekonomian. Hadis Rasulullah sampai kepada kita hingga zaman sekarang karena berkat perantara para perawi. Mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui shahih atau tidaknya suatu hadist. Karena itu pula para ulama hadis sangat memperhatikan para perawi. Tidak semua hadist itu perawinya bersifat terpuji, dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya. Para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai generasi mukharijul hadist tidak bisa kita jumpai lagi secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlukanlah informasi dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis. Maka dari itu kita harus mengetahui konsep untuk menentukan kualitas perawi tersebut yang disebut konsep ‘adalah menurut kalangan Muhadditsin.

Pengertian ‘Adalah

Secara etimologis, ‘adalah (adil) Kata adil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti; tidak berat sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Dalam kamus Maurid (Arab-Ingris), kata bermakna: justice, fairness, equitability, equetabliness, impartiality, unbiasedness. Adapun dalam bahasa Arab yakni wadha’a kulla syaiin fi mahallihi atau meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Adapun makna ‘adl dalam konteks sosial berarti orang yang diridai perkataannya dan keputusannya.

Adapun pengertian secara terminologis, para ulama memiliki beberapa definisi.

  1. Menurut Ushuliyyin

Ar-Razy dalam al-Mahshul menyatakan, “ ‘Adalah merupakan bentuk yang kuat dari jiwa yang membawa kepada ketetapan dalam semua taqwa dan muru’ah hingga sampai kepada ketsiqahan jiwa dengan kebenarannya dan didapat dengan menjauhi dosa-dosa besar dan sebagian dosa kecil”

Ibnu an-Najjar menambahkan pada definisi tersebut dengan ‘meninggalkan hal-hal mubah yang hina dan bid’ah’.

  • Menurut Muhadditsin

‘Adalah merupakan kondisi dimana seorang perawi tidak mungkin mendustakan hadis. An-Nawawi dalam Taqrib-nya menyatakan tentang definisi ‘adl,

بِأَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا بَالِغًا عَاقِلًا سَلِيمًا مِنْ أَسْبَابِ الْفِسْقِ وَخَوَارِمِ الْمُرُوءَةِ

“Seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, dan selamat dari hal-hal yang bias mencederai muru’ah.”

Berdasarkan kedua definisi tersebut, ada hal yang membedakan definisi menurut ushuliyyin dan muhadditsin. Jika kita bersandar pada definisi muhadditsin, maka kita akan mendapati bahwa muhadditsin menyikapi sifat ‘adl dilihat berdasarkan ketaatan zahir yang tidak ditemukan cela, karena meniliti hal tersebut tidak dimungkinkan. Berbeda dengan definisi ushuliyyin yang mendefinisikan dengan keadaan jiwa yang bersifat batin. Oleh karena itu, as-Sarkhasi membagi ’adalah menjadi dua, yaitu zhahirah dan bathinah. Perlu diketahui juga bahwa hukum Islam dibangun atas zahir, bukan berdasarkan hal yang bersifat batin, sehingga hal ini juga berlaku pada ilmu hadis.

Pengertian Fisq

Fisq berasal dari akar kata fasaqa yafsiqu atau yafsuqu fisqa-fusuqan. Secara etimologis (bahasa) dalam ungkapan orang Arab, fasik (al-fisq) maknanya adalah keluar dari sesuatu (al-khuruj ‘an asy-syai’) atau keluar (menyimpang) dari perintah (al-khuruj ‘an amr). Dikatakan, misalnya, fasaqatar-ruhbah (kurma keluar), jika ia keluar dari kulitnya. Dikatakan pula misalnya fasaqa fulan malahu (si fulan mengeluarkan hartanya) jika ia menghabiskan atau membelanjakannya. Sehingga secara etimologis (bahasa), fasiq (al-fisq) maknanya adalah keluar (al-khuruj). at-Tahanawi menyatakan, fisq secara bahasa yaitu ketidaktaatan terhadap perintah Allah, maka termasuk di dalamnya kafir dan muslim yang bermaksiat.

Adapun secara istilah, fisq dimaknai sebagai perbuatan seorang muslim yang bersifat dosa besar, ataupun dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Pelaku dari kefasikan ini disebut sebagai fasiq.

Metode Untuk Mengetahui ‘Adalah Perawi Hadis

Secara umum, para ulama’ hadis telah memberikan beberapa cara dalam menetapkan keadilan periwayat hadis. Menjadi hadis yang sahih apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh orang-orang yang adil. Sehingga peran atau kredibilitas perawi hadis sangat diperlukan, baik dari perawi pertama yakni sahabat sampai dengan perawi yang terakhir atau mukharrij-nya. Dalam hal ini para ulama’ sepakat bahwa para sahabat merupakan orang-orang yang adil.

Pada zaman Nabi Saw., sahabat merupakan generasi awal yang menempati posisi penting dalam transmisi hadis. Para sahabat memperoleh hadis dengan cara menyaksikan segala sikap dan tingkah laku Nabi Saw. disamping memperoleh dengan mengikuti majlis-majlis Nabi, sehingga kebenaran berita tersebut mutlak dibutuhkan. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, para sahabat sangat jauh dari kemungkinan berbuat dusta dan memalsukan hadis, apalagi mereka sangat sering mendengar peringatan Rasulullah Saw. yang mengecam keras setiap tindakan dusta yang mengatasnamakan Nabi. Sehingga mustahil mereka ada yang berani membuat dan memalsukan sesuatu yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.

Adapun cara untuk mengetahui keadilan periwayat hadis, para ulama’ menetapkan beberapa cara, diantaranya:

  1. Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis; periwayat yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Tsaury, yang tidak lagi diragukan keadilannya.
    1. Penilaian dari para kritikus periwayat hadis; penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.
    1. Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta’dil; cara ini ditempuh, bila para kritikus periwayat hadith tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.

Ketiga cara tersebut diprioritaskan dari urutan yang pertama kemudian yang berikutnya. Jelasnya. keadilan seorang periwayat hadis dapat diketahui melalui popularitas keutamaannya dikalangan para ulama’. jika periwayat itu tidak terkenal ‘adalah-nya atau keadilannya, namun berdasar penilaian para kritikus periwayat hadis diketahui bahwa ia bersifat adil, maka ditetapkan pula sifat adil baginya. Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan tentang adil tidaknya periwayat hadis, maka digunakanlah kaidah-kaidah jarh wa al-ta’dil.

Selain itu, cara tersebut tidak dapat dibalik penggunaannya, dalam arti seorang periwayat hadis yang terkenal adil tidak dapat dinilai dengan penilaian yang berlawanan baik berdasar pendapat salah seorang kritikus periwayat maupun berdasar penetapan kaidah jarh wa al-ta’dil. Popularitas keadilan didahulukan sebab kualitas seorang periwayat yang dinilai demikian tidak diragukan mengingat saksi yang menyatakan keadilannya sangat banyak berbeda dengan cara kedua yang hanya dinyatakan (disaksikan) oleh satu atau beberapa orang saja.

Demikian pula, seorang periwayat hadis yang dinilai adil oleh seorang atau beberapa kritikus periwayat lain yang menentangnya, maka penilaian tersebut yang digunakan bukan dengan menerapkan kaidah jarh wa al-ta’dil. Sebab, para kritikus periwayat itulah yang mengetahui kualitas periwayat hadis yang mereka nilai. Adapun kaidah jarh wa al- ta’dil baru digunakan bila ternyata terjadi perbedaan pendapat dikalangan kritikus periwayat tentang kualitas seorang periwayat hadis.