poster of man reading the quran

Majalahnabawi.com Apakah seluruh perbuatan Nabi Muhammad Saw itu dianggap bagian dari syariat agama? Perbuatan Nabi Saw yang bukan termasuk dalam konteks ibadah, maka hal itu dihukumi kepada sesuatu yang mubah, seperti makan, minum, duduk, dan berdiri. Dan itu merupakan hak bagi Nabi, dan hak juga bagi kita sebagai umat Nabi. Maka, perbuatan Nabi itu adakalanya berbentuk wajib, sunah, dan mubah, dan tidak pernah Nabi melakukan yang makruh apalagi yang haram. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah melakukan suatu perkara yang hukumnya Khilaful Aula.

Oleh karena itu, kita sebagai umatnya sah-sah saja memilih untuk meniru perbuatan Nabi yang tidak termasuk dalam lingkup ibadah. Seperti sahabat Abdullah bin Umar yang selalu menginginkan gerak-geriknya sama persis dengan Nabi, bahkan dalam persoalan langkah kaki untanya pun, beliau ingin disamakan dengan langkah untanya Nabi ketika keduanya sama-sama sedang dalam bepergian. Begitupun yang dilakukan oleh para sahabat-sahabat Nabi lainnya.

Tiga Kondisi Perbuatan Nabi Menurut Ulama

Di dalam kitab Ushul Fiqih karya Abu Zahrah menjelaskan bahwa perkataan, perbuatan, dan pengakuan atau persetujuan Nabi itu sudah tidak diragukan lagi bisa menjadi Hujjah Syar’iyah (Landasan hukum). Para ulama disini membagi menjadi tiga kondisi terkait perbuatan Nabi : yang pertama terkait dengan syariat agama, seperti salat, puasa, dan haji. Kondisi yang pertama ini menjadi syariat yang mengikat umat dan harus diikuti. Karena itu, adakalanya posisi perbuatan Nabi itu sebagai penjelas terhadap syariat agama yang tidak dijelaskan secara detail oleh Al-Qur’an.

Yang kedua, perbuatan yang khusus untuk Nabi, seperti menikah lebih dari empat. Maka kondisi ini tidak boleh diikuti oleh umatnya karena merupakan kekhususan bagi Nabi. Yang ketiga, perbuatan yang dilakukan oleh Nabi karena tuntutan tradisi, atau karena kecenderungan terhadap pilihan pribadi (tabiat) Nabi. Seperti kesukaan pada pilihan warna, selera makanan, dan semacamnya. Nah, pada bagian yang ketiga inilah para ulama masih berselisih.

Diantara persoalan yang diperselisihkan adalah apakah hal itu hanya sebatas tradisi atau bagian dari syariat agama. Contohnya seperti memelihara jenggot. Pendapat pertama, itu merupakan bagian dari hukum syariat, dengan berdasarkan pernyataan Nabi “cukurlah kumismu dan panjangkanlah jenggotmu”. Pendapat yang kedua mengatakan itu hanyalah persoalan tradisi saja, karena perintah Nabi yang di atas hanya untuk membedakan terhadap kebiasaan orang Yahudi di Madinah yang memanjangkan kumis dan mencukur jenggot. Jadi simpel saja, mau melihara jenggot atau tidak, ya silahkan. Wallahu A’lam Bisshawab.

By Thoha Abil Qasim

Mahasantri Ma'had Aly Situbondo