Majalahnabawi.com – Menjadi pribadi yang religius dan banyak beribadah merupakan cita-cita semua orang. Faktor utamanya adalah karena agama, khususnya Islam, mendorong setiap penganutnya untuk menjadi pribadi yang religius. Bahkan, mereka dianggap punya posisi penting dalam agama. (lihat: QS. al-Nisa [3]: 69)

Namun, dalam fan ilmu hadis, tingginya religiusitas seseorang (periwayat), justru bisa berdampak pada dua hal yang bertolakbelakang. Pertama, ia dinilai sebagai periwayat yang ʿadl (salah satu syarat seorang periwayat diterima hadisnya). Kedua, ia bisa berpotensi merusak suatu hadis (ʿilal al-ḥadīth).

Tentu ini menjadi sebuah tanda tanya besar; bagaimana mungkin seorang yang tinggi tingkat religiusitasnya, justru berpotensi merusak salah satu dari sumber-sumber agama?

Ibn Rajab (w. 795 H) dalam Sharḥ ʿIlal al-Ḥadīth membahas sekilas mengenai permasalahan ini. Dalam bukunya tersebut, Ibn Rajab membuat sebuah kaidah:

الصَّالِحُوْنَ غَيْرُ الْعُلَمَاءِ يَغْلِبُ عَلَى حَدِيْثِهُمُ الْْوَهْمُ وَالْغَلَطُ

Orang-orang saleh (rajin ibadah ritual) yang tidak konsen di bidang hadis, hadis-hadisnya didominasi oleh kesalahan dan kekeliruan.

Dari kaidah di atas, Ibn Rajab menegaskan bahwa salah satu faktor seorang periwayat rusak hafalannya (sūʾ al-ḥifẓ) adalah karena periwayat tersebut disibukkan dengan ibadah, sehingga waktunya habis untuk itu dan tidak sempat untuk mengingat-ingat hafalan hadisnya.

Kaidah Ulama Hadis

Ibn Ḥibbān (w. 354 H) dalam al-Majrūḥīn mengutip pendapat Abū Ḥātim (w. 277 H):

.وَمِنْهُمْ مَنْ قَدْ كَتَبَ وَغَلَبَ عَلَيْهِ الصَّلَاحُ وَالْعِبَادَةُ، وَغَفَلَ فِي الْحِفْظِ التَّمْيِيْزُ، فَإِذَا حَدَّثَ رَفَعَ الْمُرْسَلَ وَأَسْنَدَ الْمَوْقُوْفَ وَأُقَلِّبُ الْأَسَانِيْدَ

Di antara ciri periwayat yang tercela adalah periwayat yang terlalu sibuk beribadah hingga tidak sempat menghafal dan mengulang-ulang hadisnya. Ketika mereka meriwayatkan hadis, mereka akan memarfu’kan yang mursal, memusnadkan yang mauquf, dan memaqlubkan sanad-sanad.

Selain Ibn Rajab dan Abū Ḥātim, Malik bin Anas (w. 179 H) juga menyatakan:

لَقَدْ أَدْرَكْتُ بِهَذَا الْبَلَدِ، يَعْنِي الْمَدِينَةََ، مَشْيَخَةً لَهُمْ فَضْلٌ، وَصَلَاحٌ، وَعِبَادَةٌ، يُحَدِّثُوْنَ، مَا سَمِعْتُ مِنْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ حَدِيْثًا قََطُّ، فَقِيْلَ لَهُ: وَلِمَ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ؟ قََالَ: لَمْ يَكُوْنُوْا يَعْرِفُوْنَ مَا يُحَدِّثُوْنَ

Aku menjumpai tokoh-tokoh yang meriwayatkan hadis di kota Madinah ini yang dikenal memiliki keutamaan, kesalehan, dan rajin ibadah. Namun, tidak ada satu pun hadis mereka yang aku riwayatkan. Lalu, Malik bin Anas ditanya: mengapa engkau melakukan hal tersebut? Ia menjawab: mereka tidak mengetahui hadis yang mereka riwayatkan. (Lihat: Aḥmad ibn Ḥanbal, al-Jāmiʿ fī ʿIlal wa Maʿrifah al-Rijāl, h. 186)

Pernyataan yang lebih pedas juga dikemukakan oleh ulama lainnya. Misalnya Ibn Mandah:

إِذَا رَأَيْتَ فِيْ حَدِيْثٍ ثَنَا فُلَانٌ الزَّاهِدُ فَاغْسِلْ يَدَكَ مِنْهُ

Apabila engkau menjumpai dalam suatu hadis terdapat ungkapan: haddatsanā fulān al-zāhid (seorang periwayat yang zuhud menceritakan hadis kepada kami), maka cucilah tanganmu dari hadis tersebut (jangan diterima hadisnya).

Bahkan, Yaḥyā ibn Maʿīn (w. 233 H) tidak segan-segan mencap periwayat yang terlalu sibuk beribadah hingga merusak hadis sebagai pendusta.

Contoh Kasus

Dalam kitab al-ʿIlal, al-Tirmidzī (w. 279 H) mencontohkan kasus ini pada periwayat bernama Abān ibn Abī ʿAyyāsh mengenai qunut sebelum rukuk pada saat witir. Sejumlah besar periwayat hadis meriwayatkan hadis tersebut secara mauqūf dari Ibrāhīm al-Nakhāʿī dari ʿAbd Allāh ibn Masʿūd, sedangkan Abān ibn Abī ʿAyyāsh justru meriwayatkannya secara marfū’ dari Ibrāhīm al-Nakhāʿī dari ʿAlqamah dari Ibn Masʿūd dari Nabi Saw.

Dari kasus ini, al-Tirmidzī menyatakan:

وَأَبَانُ بْنُ أَبِيْ عَيَّاشٍ – وَإِنْ كَانَ قَدْ وُصِفَ بِالْعِبَادَةِ وَالْإِجْتِهَادِ – فَهَذِهِ حَالُهُ فِي الْحَدِيْثِ، وَالْقَوْمُ كَانُوْا أَصْحَابَ حِفْظٍ، فَرُبَّ رَجُلٍ – وَإِنْ كَانَ صَالِحًا – لَا يُقِيْمُ الشَّهَادَةَ وَلَا يَحْفَظُهَا

Abān ibn Abī ʿAyyāsh, sekalipun dicap sebagai ahli ibadah dan ijtihad, maka beginilah kualitasnya di dalam hadis, sedangkan sejumlah periwayat lainnya dikenal sebagai aṣḥāb ḥifẓ. Berapa banyak seseorang yang dikenal saleh, namun syahādah dan hafalannya tidak bisa dijadikan pegangan.