Belanja dalam Traveling, Antara Realita dan Dilema
Majalahnabawi.com – Maraknya praktik belanja atau shopping untuk kalangan traveler seakan menegaskan bahwa kebiasaan dan budaya ini memang sulit dipisahkan dari budaya traveling itu sendiri.
Traveling akhir-akhir ini sudah menjadi gaya hidup baru masyarakat Indonesia. Hobi ini marak dilakukan baik dari kalangan muda, orang tua, maupun organisasi. Saat ini pula traveling sangat naik daun di kalangan anak muda dalam menunjukkan konsistensi serta eksistensi dirinya kepada masyarakat luas. Namun bagi sebagian orang, budaya traveling merupakan salah satu hobi yang cukup menguras dompet.
Berjalan-jalan ke luar kota, luar negeri ataupun tempat-tempat eksotis lainnya tentu membutuhkan moral, material dan biaya yang tidak sedikit. Selain sebagai penunjang akomodasi kita selama perjalanan -yaitu transportasi, penginapan dan konsumsi-, biaya yang tidak sedikit juga kadang kita habiskan untuk belanja oleh-oleh, kenang-kenangan, maupun buah tangan untuk diri sendiri, keluarga, maupun kekasih. Hiya…
Maraknya praktik belanja atau shopping untuk kalangan traveler seakan menegaskan bahwa kebiasaan dan budaya ini memang sulit dipisahkan dari budaya traveling itu sendiri.
Seperti survei yang dikeluarkan oleh travelsave-aca.com yang menyebutkan bahwa 67% traveler suka dan pasti belanja saat traveling. Hal ini diyakini untuk mendapatkan barang yang jarang ditemui dan harga yang relatif terjangkau jika dibandingkan saat mereka membeli di tempat mereka berasal.
Budaya Shopping dalam Traveling
Kenyataan berkembangnya budaya shopping dalam traveling juga mendorong seseorang membeli sesuatu secara berlebihan dan terkesan tanpa memikirkan terlebih dahulu kebutuhan dan kegunaanya, atau yang biasa dikenal dengan budaya konsumtif. Yang terkesan impulsif, tidak rasional, dan berlebihan.
Namun pada kenyataannya, memang banyak kegiatan belanja yang memang tidak didasari oleh pertimbangan yang matang.
Kegiatan belanja yang awalnya hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, saat ini telah mengalami perluasan fungsi menjadi gaya hidup. Sehingga belanja tidak hanya untuk membeli kebutuhan pokok yang diperlukan, namun belanja dapat pula menunjukkan strata dan status soisal seseorang.
Oleh karenanya, gaya hidup konsumtif dalam hal apapun khususnya dalam hal traveling harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar akan terjadi apabila cara meraih kadar finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan untuk mendapatkan pemasukan yang banyak, sampai menggunakan cara instan seperti mencuri dan korupsi. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak terhadap ekonomi, tapi juga memiliki dampak psikologis, sosial bahkan etika.
Konsumtif dalam Kacamata Islam
Kemudian, bagaimana pandangan dan perspektif Islam dalam mengatasi masalah konsumtif? Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal dalam penerapannya terhadap kehidupan sehari hari umat manusia. Komprehensif disini bermakna Islam memberikan solusi terhadap segala permasalahan manusia baik yang hubungan secara vertikal dengan tuhannya maupun secara horizontal dengan sesama manusia. Sedangkan maksud dari universal adalah bahwa ajaran dalam agama Islam bisa diterapkan dan dijalankan dalam berbagai macam kondisi, waktu, dan tempat.
Dalam hal konsumsi pun Islam mengajarkan semangat moderat dan sederhana, tidak berlebihan, tidak boros, dan tidak juga kekurangan. Seperti yang disebutkan Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam laman resminya, yang menyebutkan bahwa sikap rakus atau israf dalam menghabiskan uang, sangat dikecam oleh Islam. Hukumnya pun haram dilakukan. Meskipun uang itu berasal dari jerih payah kerja mereka sendiri, pada dasarnya uang yang dimiliki itu bukanlah kepunyaan pribadi kita secara mutlak. Karena setiap harta yang diperoleh itu merupakan titipan dari Allah yang di dalamnya juga ada hak orang lain dan harus dimanfaatkan dan didistribusikan secara amanah serta dengan berbagai pertimbangan yang matang.
Lantas bagaimana standar atau takaran berlebihan dalam Islam? Menurut beliau pula yang menjabat sebagai ketua perhimpunan Ulama se-Dunia, ukuran dari berlebihan dalam berbelanja adalah pengalokasian dana untuk membeli barang atau apapaun yang terlampau mewah dan kurang berguna dari segi peruntukannya. Sebagai contoh berbelanja oleh-oleh atau aksesori yang berbahan dasar emas, perak, perunggu, permata ataupun kenang-kenangan langka yang mungkin terbuat dari minyak bumi ataupun batu bara, mungkin :v. Maka, bisa kita pahami bahwa prinsip dasar dalam Islam adalah keseimbangan. Artinya, berbelanja apapun itu boleh-boleh saja, asalkan tidak menghambur-hamburkan uang. Di sisi lain, keseimbangan itu juga melarang sikap terlalu irit hingga menyulitkan diri sendiri.
Tidak Boleh Berlebihan
Pelarangan untuk menghamburkan uang tanpa pemikiran yang matang dan juga pemborosan juga disinggung dalam al-Quran. Seperti yang tercantum dalam surah al-Isra’ ayat 26-27:
.وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
.إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros {26} Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.{27}
Sayyiduna Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas yang merupakan maestro tafsir pada zamannya mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan ‘Tabdzir’ (pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu pada jalan yang keliru. Hal senada juga diungkapkan Imam Mujahid “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Tetapi seandainya seseorang menginfakkan satu mud saja (ukuran telapak tangan) dalam jalan yang keliru, maka itu sudah dinamakan pemborosan”. Sementara dalam Tafsir al-Quran al-Adzim, Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Qatadah yang mengatakan, “Yang namanya pemborosan adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang keliru dan jalan untuk berbuat kerusakan”.
Sederhana dan Tidak Sombong
Jika ditinjau dari pandangan hadis, Nabi Muhammad merupakan sosok panutan yang paripurna dalam penerapan dan pemanfaatan harta ataupun uang. Nabi Muhammad dalam sehari harinya sebelum menjadi pemimpin umat Islam, beliau juga merupakan pembisnis ulung dengan omset yang melimpah. Atas dasar ini, Nabi Muhammad bisa saja membeli semua barang prestisius yang ada, memiliki rumah mewah, ataupun hal hal branded lain yang membuat beliau akan dikenal sebagai milyarder. Tetapi dalam kenyataanya, Nabi Muhammad memilih hidup biasa dan sederhana serta sangat bijak dalam membelanjakan hartanya.
Hal ini terbukti dari sabda beliau yang terekam dalam kitab Sunan al-Nasa’i:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ، قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “ كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ ”
Artinya: “Makanlah, berikan amal dan pakai pakaianmu sendiri, tanpa boros, dan tanpa pamer”
Dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li-Alfadzh al-Hadits al-Nabawi, hadis tersebut termasuk hadis popular yang juga ditemukan di kitab Sunan Ibnu Majah dan Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal. Dari semua riwayat yang ditemukan, hadis ini masuk dalam kriteria Hadis Hasan yang mana menurut Ilmu Hadis, hadis ini bisa dan layak untuk digunakan sebagai dasar untuk dijadikan sebuah hukum atau pegangan hidup.
Dalam keterangan penjelasan hadis ini, salah satu alasan Nabi Muhammad melarang kita untuk boros, dikarenakan sifat destruktif dari boros itu sangat buruk untuk kepribadian kita. Apabila kita menjauhi sikap boros dan berlebihan, maka hal itu dapat membantu kita untuk lebih merencanakan, merancang, dan mengatur jiwa dan raga kita menjadi lebih baik. Dari sini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa sesuatu diangaap baik, elegan dan keren itu bukan dari seberapa besar kuantitas nya, tetapi sesuatu dianggap elegan itu dari seberapa efektif dan bijak kita memanfaatkannya.
Apologi dan Kesimpulan
Islam sebagai pegangan dan pedoman hidup mengatur segala perbuatan dan tingkah laku manusia dalam hal apapun, mulai dari bagun tidur sampai tidur lagi, yang mana bertujuan agar hidup manusia lebih sistematis, terarah dan lebih beradab. Dan segala hal yang telah ditetapkan oleh Islam pasti bertujuan untuk memuliakan manusia dan menjadikannya bermanfaat untuk siapapun di dunia.
Seperti dalam hal berbelanja ketika traveling atau berpergian, Islam tidak melarang manusia untuk berbelanja ataupun mengeluarkan uangnya untuk bersenang-senang, Islam hanya memberikan batasan dan pengajaran yang baik mengenai dampak dan efek buruk yang akan terjadi jika kita berlebihan dalam membelanjakan harta kita.
Maka dari itu, marilah kita sebagai representasi ajaran Islam yang baik, mengamalkan setiap hal yang telah ditetapkan oleh Islam entah itu melalui al-Qur’an, hadis, maupun quotes-quotes ulama. Mari kita memulai untuk menfilter pembelian kita agar menjadi pembelian yang memang itu dibutuhkan. Bukan diinginkan. Memulai untuk sedikit menyisakan harta kita. yang di dalamnya ada hak hak orang lain untuk ikut menikmatinya. Yang tak kalah penting, marilah kita memulai untuk lebih bersyukur kepada Allah atas segala hal yang telah diberikannya kepada kita. Karena hasil akhir dari itu semua murni untuk kebaikan dan kemaslahatan kita sendiri dan juga masyarakat luas.