Masyarakat harus kritis terhadap informasi dan konten-konten yang deras membanjiri media.

Majalahnabawi.comTiket suargo regane murah nanging anehe akeh seng wegah, tiket neroko regane mahal nanging sing seneng sak pirang-pirang“.

Sebuah lirik lagu yang menggugah jiwa, lagu ini adalah lagu yang tanpa sengaja saya temukan ketika iseng-iseng membuka kanal Youtube.

Lagu yang berjudul “Tiket Suargo” itu, secara gamblang telah menggambarkan tentang kebobrokan perbuatan manusia dewasa ini, para manusia lebih maniak untuk masuk neraka dibanding surga. Manusia yang lebih cinta pada maksiat. Manusia yang lebih menyukai jalan neraka daripada jalan surga.

Namun, ada satu hal yang mengusik hati saya. Bukan lagi soal  lagunya, tapi, saya mengingkari siapa dan di mana lagu itu didendangkan. Betapa tidak, lagu yang menurut saya sudah sarat akan pesan moral itu dinodai dengan penyanyi yang tanpa malu mengumbar-umbar auratnya, serta parahnya lagu itu didendangkan di sebuah panggung hiburan.

Lalu, saya bergumam: apakah dengan seperti ini nilai-nilai agama yang tekandung dalam lagu itu akan tersampaikan? Ah! Tentu saja tidak. Dengan cara penyampaian dan tempat yang salah, dakwah seampuh apapun tidak akan pernah didengar oleh para jamaahnya, melainkan  akan menambah marak kemungkaran yang terjadi.

Saya pun berfikir bukan tujuan agamalah yang dimaksud dari lagu tersebut, melainkan ada unsur-unsur yang mengatasnamakan atau membawa embel-embel agama, yang ujung-ujungnya hanya bermuara pada keuntungan duniawi semata.

Meraup Keuntungan dari Media Sosial

Pertimbangan ekonomi atau keuntungan merupakan keniscayaan bagi tiap media. Akhir-akhir ini, media yang seyogianya menjadi wadah informasi yang sehat (kompeten) dan edukatif, malah harus terus takluk pada pertimbangan ekonomi. Sehingga, media hanya memperalat netizen untuk mendapatkan rating tinggi, berjuta-juta views dan subscriber, tanpa memerhatikan lebih dalam nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya. Pernyataan ini pernah ditegaskan oleh H. Ilyas Ro’is dalam tulisannya (al-NUR: Edisi 17 2006), bahwa televisi atau media dalam menyajikan tayangan sepenuhnya tunduk dan patuh terhadap pertimbangan ekonomi dan selera pasar.

Seperti halnya juga ustaz-ustaz instan yang akhir-akhir ini marak membanjiri beranda-beranda TV, media sosial, dan sejenisnya. Cukup berfatwa dan mengeluarkan sepatah hadis ustaz-ustaz instan itu laku dipasaran.

Juga parahnya ustaz-ustaz media itu terkesan memamerkan gaya hidup yang modis  dan hedonis. Seperti, berpenampilan mencolok dan berlebih-lebihan. Sehingga, bukan sosok ustaz yang kita temukan, tapi selebritis yang mendaku sebagai ustaz. Hobi mengeluarkan fatwa ketika diiming-imingi keuntungan dan popularitas.

Pernah, tulisan KH. Hasbullah Mun’im Khalili menyinggung hal ini. Ada tiga poin yang harus dipenuhi seseorang jika ingin berbaur dan tampil di khalayak umum. Pertama, ilmu yang jelas juntrungannya. Kedua, penjernihan diri dari nafsu. Ketiga, Penyucian hati dari cinta dunia. Jika tiga poin ini belum bisa dipenuhi kita dituntut untuk meredam nafsu kita untuk membaur dan tampil di khalayak umum. Dengan tujuan untuk mengantisipasi sifat riya dan menambah keruh kemungkaran yang terjadi.

Fenomena tersebut juga pernah dikomentari oleh ulama tersohor Hasan al-Basri: “Dahulu Abu Bakr dan Umar masih perlu mengumpulkan para sahabat untuk menjawab suatu persoalan, sedangkan orang saat ini malah menjawab pertanyaan dari atas keledainya!,”. Jadi, apakah kita sudah mendapati ustaz-ustaz media mejawab pertanyaan sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakr dan Umar?.

Mengaji dengan Medsos?

Nur Cholis Majid juga pernah mengutarakan, Kebanyakan generasi muslim perkotaan saat ini, cara mendapatkan konten-konten agama sudah sedemikian praktisnya, seperti seminar, video-video pengajian, dan majalah-majalah. Padahal, untuk mengetahui atau mengklarifikasi sebuah fenomena agama, diperlukan proses istinbat al-ahkam atau penyaduran dari beberapa sumber yang sudah terpercaya.

Fenomena serupa juga kian marak ketika menjelang bulan suci Ramadhan. Banyak sekali perusahaan-perushaan media menggarap sinetron dan album-album bernuansa religi. Bahkan, saking banyaknya tontonan religi pada bulan Ramadhan, terkadang mebuat pemirsa jenuh untuk menonton televisi pada bulan Ramadhan.

Tentunya, hal tersebut perlu kita apresiasi, sebab, (mungkin) dengan membeludaknya tayangan dan musik bernuansa religi itu dapat membantu menyerukan syiar-syiar Islam. (Semoga saja!). Namun, lagi-lagi ada beberapa hal yang membuat saya mengernyitkan dahi dan mengelus-elus dada. Bukan lagi pesan moral yang terkandung dalam tayangan itu. Tapi kelakuan-kelakuan nyeleneh yang dilakukan oleh perusahaan media dan artis di balik tayangan itu.

Para pemirsa sejenak (mungkin) tidak akan menyadari apa dan dimana letak kejanggalannya; Begini, pernahkah kita sadar mengapa sinetron dan musik religi itu dengan deras membanjiri media di saat momen-momen tersebut. Apakah hal itu memang murni dilakukan untuk mensyiarkan ajaran agama? Atau hanya sekedar menyemarakkan? Atau jangan-jangan hanya sebagai pencitraaan dan mencari keuntungan semata?.

Adakah kita lihat atau dengar kembali wajah sinetron dan tayangan religi  pasca bulan Ramadhan usai?. Tidak ada, jikalau ada mungki itu hanya sisa-sisa episode yang belum selesai untuk mengantisipasi kekecewaan pemirsa.

Seketika tayangan-tayangan religi itu “raib” seraya dengan berlalunya Ramadhan. Media-media kembali menayangkan sinetron-sinetron yang tak lagi berbau religi seperti percintaan, perselingkuhan, dan kisah-kisah yang hanya bisa bikin baper saja.

Membuka Aurat demi Uang

Bahkan, parahnya artis-artis yang semula berhijab, menutup aurat, dan bertingkah sesuai syariat. Seiring dengan tuntutan media, mereka kembali mengumbar aurat dan bertingkah laku yang sama sekali tak mencerminkan ajaran agama sebagaimana yang telah mereka perankan di sinetron-sinetron religi. Seakan-akan mereka berhijab dan bertingkah sesuai norma agama hanya sebatas keinginan media semata.

Sebuah kenyataan yang teramat miris tentunya, (bahkan, lebih miris ketimbang ditinggal pasangan). Ketika ajaran dan syiar-syiar agama hanya menjadi komoditas dan ladang untuk mencari keuntungan semata. Sempat, Allah Swt menyinggung hal ini dalam firmannya pada surah al-Furqan ayat 57: “Katakanlah:“Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu”.

Pada penggalan surat itu, dengan gamblang Allah swt telah mewanti-wanti kepada kita untuk tidak memungut biaya secuil apapun dalam melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar. Seorang yang memang benar-benar memiliki niatan untuk amar ma’ruf nahyi munkar tidak mungkin akan menerima sepeser duit-pun, sebab, yang ia harap hanya ridha Allah semata.

Maka sudah jelas, jika beberapa sampel yang telah saya sebutkan di atas bukanlah murni diniatkan sebagai dakwah atau menyerukan syiar-syiar Islam. Pertama, dari cara menyajikan syiar dengan cara berjoget jingkrak-jingkrak yang sama sekali tak pernah diajarkan dalam Islam. Kedua, tren syiar Islam yang diserukan hanya mencuat ketika momen-momen tertentu. Seakan-akan agama Islam adalah agama momentuman saja. Bahkan, untuk menghadirkan ustaz-ustaz itu ke dunia nyata memerlukan gocek yang cukup besar. Dari sinilah agama hanya dianggap sebagai tren kondisional saja, yang bisa dipakai dalam momen dan dalam kepentingan tertentu.

Serta ketiga, artis dan ustaz-ustaz selebritis yang terkesan memiliki iman ketika manggung atau bermain sinetron saja, sedangkan di luar itu mereka kembali mengumbar aurat dan berpakaian berlebih-lebihan.

Dalam fenomena ini, masyarakat harus mengambil langkah cerdas. Masyarakat harus kritis terhadap informasi dan konten-konten yang deras membanjiri media. Sebab, menurut KH. Ali Machsan Mousa (al-NUR: edisi 17 Tahun 2006) media itu ibarat guru. Bisa sangat berbahaya jika yang menangkap itu keliru.

Tontonan atau Tuntunan?

Begitu juga, ormas-ormas Islam yang berideologi moderat, dalam hal ini juga memiliki peran sentral untuk memberikan rambu-rambu kepada masyarakat awam tentang tontonan-tontonan Islami yang tidak menyimpang dari ajaran Islam dan tidak mengandung unsur-unsur komersial.

Sebab, kebanyakan tontonan religius yang komersil hanya mementingkan keuntungan semata, tanpa, memperhatikan lebih dalam nilai-nilai agama yang terkandung di dalamnya. Sehingga, hal itu lah yang memunculkan ajaran-ajaran Islam yang keblinger (sesat).

 Demikian juga pesantren sebagai warisan salafus sholih dan lembaga keislaman yang memiliki sumber ajaran (sanad) yang jelas. harus turut andil dalam menyumbangkan kader-kadernya untuk berjihad dan berdakwah di media masa. Sebagai langkah nyata untuk melawan konten-konten komersial dan tontonan yang menyimpang dari ajaran agama.

Seperti langkah brilian yang dilakukan oleh Pusat Studi Ilmu al-Quran (PSQ) dengan membentuk paltform Cariustaz.id patut kita apresiasi, langkah ini merupakan bentuk nyata untuk meminimalisir merebaknya ustaz-ustaz gadungan dengan seabrek fatwa nyelenehnya.

Juga, platform yang diampu langsung oleh Prof. Dr. Quraish Shihab ini merupakan platform yang berguna untuk menyaring ustaz-ustaz yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni.

Akhiran, silang sengkarut ini harus kita tuntaskan segera, karena, jika dibiarkan begitu saja tentunya marwah dan idealisme Islam akan tercederai. Kita tak akan lagi menemukan Islam yang ideal melainkan hanya menemukan Islam yang komersial dan layak jual. Oleh karenanya, marilah kita jadikan agama sebagai the way of life (pedoman hidup) bukan Life style (gaya hidup). Karena, seorang hamba yang baik adalah hamba yang menjaga agamanya bukan malah memanfaatkannya sebagai kepentingan semata. Fataammal!.