Ilustrasi perempuan i'tikaf

@majalanabawi.com – Darah haid merupakan salah satu dari tiga darah yang keluar dari vagina wanita. Adapun haid, menurut Dr Abdur Rahman bin Abdullah Bin Abdul Qadir Assegaf Dalam kitab beliau yang berjudul الإِبَانَةُ وَالإِفَادَةُ فِي ِأَحْكَامِ الحَيْضِ وَالنِفَاسِ وَ الإِسْتِحَاضَة عَلَى مَذْهَبِ الإِمَامِ الشَافِعِي ialah darah watak yang keluar dari pangkal rahim perempuan dalam keadaan sehat, dengan tanpa sebab, dan dalam waktu tertentu nan diketahui. Mengapa disebut darah watak? Karena darah ini cukup berfluktuasi terhadap warna darah yang keluar baik pada rentan waktu dan durasi yang sama ataupun berbeda. Semua itu bergantung pada hormon, lingkungan, pikiran dan faktor-faktor lainnya.

Ketika darah haid keluar, maka dapat menghentikan beberapa aktivitas syariat yang biasa dilakukan oleh seluruh perempuan pada umumnya. baik yang masih perawan maupun yang telah bersuami, seperti solat, puasa, membaca al-Qur’an dengan langsung menyentuh mushaf, Jima’ (bersetubuh) dan banyak lagi.

Adapun keharaman menggauli istri yang sedang mengalami menstruasi (Haid) merupakan perkara yang dibenarkan dan disepakati baik menurut syariat ataupun menurut sains.
Pada saat sepasang suami-istri melakukan hubungan dalam keadaan haid, disebabkan ketidak mampuannya dalam menahan hasrat, maka keduanya secara tidak langsung telah melakukan dua pelanggaran, yakni: pelanggaran syariat dan pelanggaran waktu ideal bersetubuh. Hal tersebut tentunya akan dihadapkan dengan dua hukuman pula, yakni: hukuman syariat dan hukuman kesehatan yang cukup terancam.

Lantas bagaimana dengan hadis yang diriwayatkan oleh ibunda Aisyah perihal perlakuan Rasulullah Saw yang menggauli istrinya ditengah haid,

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا أَنْ تَشُدَّ إِزَارَهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا

Dari Aisyah radhiallahu’anha dia berkata; bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan salah satu dari kami yang sedang haid mengikat kainnya, kemudian beliau menggaulinya.

Kata المُبَاشَرَة dalam kajian fiqh identik dengan makna menggauli, tentu saja kedatangan hadis ini memuai kontroversi, mana mungkin Rasul menggauli istrinya yang haid sedangkan menjima’ istri yang sedang haid telah mutlak keharamannya.

Menilik kata “Menjima” dan “Menggauli”.

Jimak menurut KBBI ialah bersetubuh, melakukan hubungan intim, bermain-main disekitar farj (Kemaluan). Sedangkan المباشرة (Menggauli) disini Imam Nasai menegaskan bahwa
يُبَاشِرُهَا أَيْ يَسْتَمْتِعُ فِي غَيْرِ الفَرْجِ Bersenang-senang di selain wilayah farj ( kemaluan)

Sewaktu salah satu istri Nabi Saw ada yang tengah haid, sedang malam itu bertepatan dengan malam gilirannya, maka rasul memerintahkannya untuk mengikat sehelai sarung lebih tinggi lagi, Pada redaksi lain disebutkan beliau memerintahkan untuk mengikatnya di pertengahan dua paha maupun sampai kedua lutut mereka. Sehingga mustahil rasul menyentuh dan bermain-main disekitar badan yang tertutup sarung tersebut.

Hadis diatas mengisyaratkan bolehnya bercumbu dan menggauli istri yang sedang haid dengan tanda kutip tidak bersetubuh dan bermain-main di daerah intim. Syarat yang tak kalah pentingnya juga ialah, kegiatan ini hanya boleh dilakukan oleh seseorang yang profesional seperti rasulullah misalnya yang mampu mengontrol hawa nafsu serta berkomitmen untuk tidak melakukan hal diluar batasan.
Bisa ditarik kesimpulan, apabila seseorang berjimak sudah pasti melakukan Mubasyaroh (Bersenang-senang di selain wilayah farj), namun orang yang ber-mubasyaroh belun tentu berjima’.

Wallahu alam