Image by wirestock on Freepik
A closeup shot of a male standing near a wooden stand reading the bible for children

majalahnabawi.com – Berawal dari kegelisahan pengamat media seperti penulis, muncul beberapa fenomena musykil yang menuai kontroversi di kalangan umat beragama. Pilpres 2024 mendatang cukup besar menuai permasalahan di hati saya. Bukan masalah pilihan yang tak kunjung pasti, namun masalah tindakan yang meresahkan hati. Salah satunya adalah soal Capres-Cawapres yang aktif kampanye di gereja-gereja. Pertanyaannya, apakah boleh Capres-Cawapres yang berstatus pemeluk agama Islam masuk gereja?

Banyaknya netizen (baik pengamat politik maupun para awam) menuai buah bibir pedas nan tak pantas. Alih-alih sebagai sebuah kritikan, isinya malah cacian. Para netizen “maha benar” begitu ringan melempar omongan sana sini. Kalimat-kalimat seperti “kamu murtad,” “itu perbuatan bid’ah” adalah klaim-klaim yang patut dipertanyakan, benarkah begitu?

Mengamati dan mengkaji berbagai khazanah fikih adalah sebagai jawaban yang otoritatif. Tak semudah mengatakan “haram, bid’ah, murtad”. Mari kita berfikir jernih dan ilmiah.

Hukum Seorang Muslim Masuk Gereja

Perihal masuk gereja, bukanlah hal yang sifatnya qath’i (hal yang pasti) hukumnya. Namun, masih ada ruang ijtihad masuk ke dalamnya. Terbukti dari tidak adanya dalil al-Quran maupun hadis yang secara jelas mengatakan kebolehan atau keharamannya.

Mengutip keterangan dari kitab Mausu’auh Al-Fiqhiyyah (Juz 38 Hlmn: 154-155), ada beberapa pendapat ulama mengenai hukum seorang muslim masuk gereja. Pertama, menurut ulama Hanafiyah makruh hukumnya bagi seorang muslim memasuki gereja dan semacamnya. Alasannya adalah karena di gereja dan semacamnya itu tempat berkumpulnya setan-setan. Jadi, keharamannya tidak bersifat dzati (masuk itu sendiri) melainkan karena ada sifat ‘aridhi (sifat lain, yakni adanya setan).

Kedua, menurut ulama Malikiyah, Hanabilah dan sebagian ulama Syafi’iyah boleh bagi seorang muslim memasuki gereja dan semacamnya. Kebolehan ini disebutkan secara mutlak, tanpa adanya batasan tertentu. Kita dapat pahami bahwa para Capres-Cawapres masuk gereja bukan tanpa alasan, melainkan dengan membawa sekian keperluan. Lebih-lebih keperluan dan kemaslahatan rakyat.

Ketiga, sebagian ulama Syafi’iyah dalam kesempatan yang lain berpendapat bahwa boleh bagi seorang muslim memasuki gereja ketika mendapat izin untuk masuk dari seorang tertentu. Pendapat ini agaknya mensyaratkan adanya izin terlebih dahulu. Mafhum mukhalafah-nya (pemahaman kebalikan dari pendapat ketiga) adalah tidak boleh bagi seorang muslim masuk gereja tanpa adanya izin dari seorang tertentu.

Hukum Seorang Muslim Salat di Gereja

Penulis agak terkejut ketika membaca halaman sebelumnya. Ternyata pengarang kitab mengutip perdebatan soal salat di dalam gereja yang kualitas pembahasannya lebih ekstrim dari sekedar memasukinya. Begini keterangannya:

Pertama, menurut mayoritas ulama fikih hukumnya diperinci. Kalau seorang muslim masuk gereja (lebih umumnya tempat ibadah non muslim) dan salat di sana dalam keadaan tidak terdesak maka hukumnya hanya sebatas makruh. Namun apabila ia masuk dan salat di sana karena darurat maka boleh secara mutlak.

Kedua, menurut ulama Hanabilah, berdasarkan pendapat yang sahih di kalangan mazhab mereka, boleh bagi seorang muslim salat di dalam gereja tanpa adanya kemakruhan. Ditambah oleh pengarang kitab yang mengutip pendapatnya Abu Bakar al-Kaisani al-Hanafi mengatakan bahwa “bagi seorang muslim tak makruh hukumnya salat di dalam gereja, sebab salat di dalam gereja tidak sampai merendahkan muslim itu sendiri.

‘Alakullihal, hukum Islam begitu elastis. Kita tak bisa begitu cepat mengklaim halal haram hanya dengan tau satu dalil atau satu disiplin ilmu tertentu. Maka, bijaklah dalam bertindak dan berpetuah.