Majalahnabawi.com – Filsafat merupakan induk dari seluruh ilmu. Keberadaannya yang seakan esklusif membuatnya hanya dipelajari oleh segelintir orang.  Memang tidak bisa ditampik bahwa filsafat seringkali menggunakan istilah yang sulit dicerna oleh kita yang awam. Seandainya saja filsafat mampu membumi, sudah sedari dulu ilmu ini mencapai puncak keemasannya kembali.

Harapan tersebut kiranya mampu terwujud dilihat dari geliat pengkajian filsafat oleh beberapa tokoh, mungkin kamu telah mengenalnya yaitu Bapak Fahrudin Faiz dan Habib Ja’far. Pada tahun 2018, filsafat juga semakin dikenal banyak orang lewat buku yang berjudul “Filosofi Teras” oleh Henry Manampiring.

Filsafat teras atau filsafat stoa yang diperkenalkan oleh Zeno seorang filsuf Yunani, masih relevan untuk digunakan di zaman ini. Zaman yang penuh kekhawatiran, kegelisahan, dan emosi negatif lainnya yang kerap dirasakan masyarakat. Ajaran utama yang ada di dalam filsafat stoa ialah dikotomi kendali.

Emosi negatif yang sudah disinggung di paragraf sebelumnya, merupakan pemicu berbagai masalah mentalitas di mulai dari generasi millenial hingga generasi Z. Bagaimana bisa?

Solusi Polemik Gen Z tentang Mental Illnes

Mentalitas atau mental illnes menjadi perhatian besar saat ini. Hal ini sebanding dengan munculnya istilah overthinking, generasi sandwich, dan sebagainya. Semua hal tersebut datangnya dari pikiran dan diperkuat oleh faktor lainnya misal sosial media, keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Contoh kasus nyatanya : ketika ada teman yang memposting kesuksesan dia, kita kerap kali merasa iri hati hingga berhujung kebencian. Tak lama kita membandingkan diri dengan si “dia”, merasa tidak beruntung, tidak berguna, dan sebagainya. Emosi negatif inilah mampu membawa penderita ke tahap depresi. Pemicunya memang dari hal sepele, tapi dampaknya cukup menghawatirkan.

Filsafat stoa hadir sebagai jawaban dari permasalahan tersebut. Ajaran utama yang dibahas di dalam buku “Filsafat Teras” ialah mengenai dikotomi kendali, pembagian antara hal-hal yan ada di dalam kendali kita dan di luar kendali. Hal-hal yang berada di dalam kendali kita ialah prespektif dan pikiran kita. Sedangkan, di luar kendali ialah kekayaan, kesehatan, reputasi, dan prespektif orang lain.

Penerapan dikotomi kendali dalam kehidupan sehari-hari misalnya : Andi memiliki gaji 5.000.000, dia sudah berniat untuk menyisihkan uang tersebut untuk ditabung. Saat perjalanan menuju bank, kejadian tidak terduga dialaminya. Andi tertabrak truk yang pengemudinya ugal-ugalan. Ketika Andi dilarikan di rumah sakit keadaannya sudah parah. Kepalanya terbentur dengan keras diselingi luka di sekujur tubuh. Setelah dokter memeriksanya, Andi divonis lumpuh dan harus menjalani operasi gagar otak. Sebab orang tua Andi berada di kalangan menengah ke bawah, mereka terpaksa menutupi biaya kekurangan administrasi menggunakan uang gajian Andi.

Apa yang kira-kira akan dirasakan Andi ketika dia sadar? Kesal, marah, kecewa, sedih, dan lainnya mungkin dirasakannya. Itu hal manusiawi. Di sinilah filsafat stoa bisa diterapkan. Jika kita memasukkan kejadian di atas dengan dikotomi kendali. Andi akan menyadari bahwa gaji (kekayaan), tertabrak truk, dan kelumpuhan (kesehatan) miliknya merupakkan hal di luar kendali artinya bukan milik kita. Semua itu bisa diambil oleh sang Pemilik. Lalu apa yang kita miliki sebenarnya?

Hal yang kita miliki atau di dalam kendali kita ialah prespektif dan pikiran pribadi. Jika Andi menggunakannya, ia akan memilih menerimanya, bersabar, dan tidak terus meratapi keadaan. Memang hal ini sulit untuk diterapkan, tapi hal sulit bukan mustahil, kan? Butuh beberapa kali atau beratus kali dikotomi kendali ini dilatih hingga kita terbiasa untuk menerapkannya. Tinggal kita memilih dikendalikan atau mengendalikan?