Majalahnabawi.com – Bagi santri hadis, khususnya di Darus-Sunnah, menjadi sebuah pertanyaan rutin yang dilontarkan oleh para ustaz ketika dihadapkan oleh sanad yang terdapat periwayat bernama Sufyan. Misalnya pada hadis pertama dalam Sahih al-Bukhari:

…. حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ

Para ustaz akan bertanya, Man Sufyan fi hadzal isnad? (Sufyan siapa yang dimaksud dalam sanad ini?). Pasalnya, dalam daftar periwayat hadis, ada dua Sufyan yang banyak dikenal orang dan sama-sama banyak meriwayatkan hadis, yaitu Sufyan ibn ‘Uyainah (107-198 H) dan Sufyan al-Tsauri (97-161 H).

Dalam ilmu hadis, pembahasan ini disebut dengan al-Muhmal, yaitu seorang periwayat yang meriwayatkan dari dua orang gurunya yang kebetulan namanya sama, atau namanya dan nama ayahnya sama, atau lain sebagainya, dan tidak terbedakan secara khusus satu sama lain. (Thahhan, Taysir, h. 212).

Seringkali, kami sebagai santri hadis, tidak berkutik ketika dimintai alasan mengapa Sufyan dalam sanad di atas adalah Sufyan ibn ‘Uyainah. Padahal, informasi itu adalah hasil dari muthala’ah dan mudzakarah kami semalam, baik melalui pembacaan kitab syarh atau hal lainnya.

Menyikapi kasus di atas, barangkali tulisan ini bisa membantu kita untuk membedakan mana Sufyan ibn ‘Uyainah dan mana Sufyan al-Tsauri ketika ada nama Sufyan dalam sanad hadis.

1. Menghitung Jumlah Periwayat

‘Abd al-Karim al-Hudhair dalam Syarh Shahih al-Bukhari memberikan kaidah ketika dihadapkan pada periwayat bernama Sufyan yang tidak dinasabkan (ihmal) dalam al-kutub al-sittah:

إِذَا كَانَ بَيْنَ الْإِمَامِ الْمُصَنِّفِ كَالْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ وَالتِّرْمِذِيِّ وَأَبِيْ دَاوُدَ وَابْنِ مَاجَهْ إِذَا كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ سُفْيَانَ رَاوٍ وَاحِدٌ، فَالَّذِيْ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ ابْنُ عُيَيْنَةَ، وَإِذَا كَانَ الَّذِيْ بَيْنَهُمَا رَاوِيَيْنِ فَالَّذِيْ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ الثَّوْرِيُّ، هذِهِ قَوَاعِدُ لَا بُدَّ مِنَ الْإِنْتِبَاهِ لَهَا.

Apabila antara imam hadis, seperti al-Bukhari (194-256 H), Muslim (206-261 H), al-Tirmidzi (209-279 H), Abu Dawud (202-275 H), dan Ibn Majah (209-273 H), dengan Sufyan ada satu orang periwayat, maka umum dugaannya adalah Ibn ‘Uyainah. Namun, apabila di antara keduanya (imam hadis dan Sufyan) ada dua orang periwayat, maka umum dugaannya adalah Sufyan al-Tsauri. Ini merupakan kaidah yang harus diperhatikan secara saksama.

Pernyataan yang ditawarkan oleh al-Hudhair masih terbilang problematis. Misalnya, ia menggunakan diksi “al-zhann”, yang masih bersifat dugaan. Di samping itu, pada faktanya, seperti dalam Shahih al-Bukhari, terkadang terdapat sanad, baik antara al-Bukhari dan Ibn ‘Uyainah atau al-Tsauri, hanya satu orang periwayat saja.

Pernyataan yang lebih spesifik dan hati-hati dikemukakan oleh ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman al-Sa’d:

الْإِمَامُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ لَايَرْوُوْنَ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ إِلَّا بِوَاسِطَةِ رَجُلَيْنِ، بِخِلَافِ الْبُخَارِيِّ وَأَبِيْ دَاودَ فَإِنَّهُمَا أَحْيَانًا يَرْوِيَانِ عَنْهُ بِوَاسِطَةِ رَجُلَيْنِ وَأَحْيَانًا بِوَاسِطَةِ رَجُلٍ وَاحِدٍ. أَمَّا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ فَأَصْحَابُ الْكُتُبِ السِّتَةِ كُلُّهُمْ لَايَرْوُوْنَ عَنْهُ إِلَّا بِوَاسِطَةِ رَجُلٍ وَاحِدٍ؛ لِأَنَّ أَصْحَابَهُ تَأَخَّرُوْا، وَأَصْحَابُ الْكُتُبِ السِّتَّةِ أَدْرَكُوْا غَالِبَ أَصْحَابِ ابْنِ عُيَيْنَةَ

Imam Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, ibn Majah, mereka meriwayatkan hadis dari Sufyan al-Tsauri dengan perantara (guru) dua orang periwayat, berbeda kasusnya dengan al-Bukhari dan Abu Dawud, karena keduanya terkadang meriwayatkan hadis dari al-Tsauri dengan perantara satu atau dua periwayat. Sedangkan pada riwayat Sufyan ibn ‘Uyainah, para imam hadis yang enam, mereka meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Uyainah dengan perantara satu periwayat saja, karena murid-murid Ibn ‘Uyainah hidup lebih belakangan, dan imam hadis yang enam mereka menjumpai mayoritas murid-murid Ibn ‘Uyainah.

Selain al-kutub al-sittah, al-Sa’d juga memberikan kaidah pada Musnad Ahmad.

وإذا قال الإمام أحمد في المسند: حدثنا سفيان. فهو ابن عيينة؛ لأنه لم يدرك الثوري، فيروي عنه بواسطة، وكل من كان معاصرا للإمام أحمد فإنه لم يدرك الثوري، كيحيى بن معين، وإسحاق بن راهويه، وعلي بن المديني، وأبو حفص الفلاس، وغيرهم من الكبار، وإنما يروون عنه بواسطة رجل واحد

Apabila Imam Ahmad (164-241 H) berkata dalam Musnad: Haddatsana Sufyan, maka itu adalah Ibn ‘Uyainah, karena Imam Ahmad tidak menjumpai al-Tsauri. Riwayat Ahmad dari al-Tsauri pasti melalui perantara. Setiap orang yang sezaman dengan Imam Ahmad, mereka tidak menjumpai al-Tsauri, seperti Yahya ibn Ma’in (158-233 H), Ishaq ibn Rahawaih (161-238 H), ‘Ali ibn al-Madini (161-234 H), Abu Hafsh al-Fallas (w. 249 H), dan lainnya dari tokoh-tokoh senior. Mereka semua ketika meriwayatkan hadis dari al-Tsauri, pasti melalui perantara satu orang periwayat.

2. Melihat dari Senioritas Muridnya

Telah kita ketahui bahwa Sufyan al-Tsauri lebih senior dibanding Sufyan ibn ‘Uyainah, maka umumnya murid-murid al-Tsauri lebih senior ketimbang murid-murid Ibn ‘Uyainah. Al-Dzahabi (673-748 H) dalam Siyar A’lam al-Nubala mengatakan:

فأصحاب سفيان الثوري كبار قدماء، وأصحاب ابن عيينة صغار، لم يدركوا الثوري، فمتى رأيت القديم قد روى، فقال: حدثنا سفيان، وأبهم، فهو الثوري، وهم كوكيع، وابن مهدي، والفريابي، وأبي نعيم. فإن روى واحد منهم عن ابن عيينة بينه. فأما الذي لم يلحق الثوري وأدرك ابن عيينة فلا يحتاج أن ينسبه؛ لعدم الالتباس. فعليك بمعرفة طبقات الناس

Murid-murid (istilah ashhab umumnya diartikan sebagai murid yang lama belajar dan banyak meriwayatkan hadis dari gurunya) Sufyan al-Tsauri lebih senior dan lebih dahulu hidupnya, sedangkan murid-murid Ibn ‘Uyainah berada di bawahnya dari segi usia dan tidak menjumpai al-Tsauri. Ketika engkau menjumpai tokoh senior, seperti Waki (129-197 H), Ibn Mahdī (135-198 H), al-Faryabi (120-212 H), dan Abu Nu’aym (130-219 H), meriwayatkan hadis dari Sufyan, maka itu adalah Sufyan al-Tsauri. Namun, jika salah satu dari mereka (Waki, dst.) meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Uyainah, maka akan dijelaskan. Adapun jika ada periwayat yang tidak menjumpai al-Tsauri, namun menemui Ibn ‘Uyainah, maka periwayat tersebut tidak perlu menasabkannya (al-Tsauri atau Ibn ‘Uyainah), karena sudah jelas. Oleh karena itu, penting bagimu mengetahui tingkatan periwayat hadis.

Pernyataan al-Dzahabi di atas didukung pula oleh al-Huwaini dalam Syarh Shahih Bukhari:

فإن كان الرواة عنه كباراً -أي: من طبقة عالية- فهو سفيان الثوري

Jika para periwayatnya adalah tokoh-tokoh senior, maksudnya adalah dalam tingkatan yang lebih tinggi, maka Sufyan yang dimaksud adalah Sufyan al-Tsauri.

Senioritas murid-murid Sufyan al-Tsauri akan terlihat pada pembahasan berikutnya.

3. Mengetahui Periwayat yang Secara Khusus Belajar pada Sufyan Tertentu

Salah satu cara lainnya yang direkomendasikan oleh para ulama untuk mengetahui perbedaan antara dua Sufyan adalah dengan mengetahui periwayat-periwayat yang secara khusus belajar pada Sufyan tertentu. Mushthafa al-‘Adawi dalam Mushthalah al-Hadits fi Su’al wa Jawab mengatakan:

ومن أنفع الوسائل لذلك معرفة الاختصاص، فهناك رواة مختصون بالرواية عن مشائخ معينين

Di antara cara yang paling ampuh untuk memecahkan problem ini adalah dengan cara mengetahui periwayat yang secara khusus belajar atau meriwayatkan hadis pada guru tertentu.

Al-‘Adawi lebih lanjut mengatakan:

علي بن المديني وقتيبة بن سعيد ، ومسدد ، ومحمد بن سلام البيكندي ، والحميدي (عبد الله بن الزبير) كل هؤلاء إذا رَوَوْا عن سفيان فهو سفيان بن عيينة

ومحمد يوسف الفريابي ووكيع بن الجراح ومحمد بن كثير العبدي وعبد الله بن المبارك وعبد الرحمن ابن مهدي وقبيصة بن عقبة كل هؤلاء إذا رَوَوْا عن سفيان فهو سفيان الثوري

‘Ali ibn al-Madini (161 234 H), Qutaybah ibn Sa’id (150-240 H), Musaddad ibn Musarhad (150-228 H), Muhammad ibn Salam al-Bikandi (160-225 H), al-Humaydi ‘Abd Allah ibn al-Zubayr (w. 219 H), mereka semua ketika meriwayatkan hadis dari Sufyan, maka itu adalah Sufyan ibn ‘Uyainah.

Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi (120-212 H), Waki’ ibn al-Jarah (129 – 197 H), Muhammad ibn Katsir (133-223 H), ‘Abd Allah ibn al-Mubarak (118-181 H), ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi (135-198 H), Qabishah ibn ‘Uqbah (w. 215 H), mereka semua ketika meriwayatkan hadis dari Sufyan, maka itu adalah Sufyan al-Tsauri.

Al-Nasa’i dalam Tasmiyah Fuqaha al-Amshar menambahkan satu nama lain dari murid Sufyan al-Tsauri, yaitu Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad al-Fazzari (w. 188 H). Nama-nama yang disebut oleh al-‘Adawi di atas, telah dikemukakan juga oleh Ibn Rajab (736-793 H) dalam Syarh ‘Ilal al-Tirmidhi (Ibn Rajab, Syarh ‘Ilal, vol. 1, h. 274)

Selain nama-nama yang disebut di atas, Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-852 H) menyinggung beberapa nama lain dari murid al-Tsauri, seperti Abu Nu’aym al-Fadhl ibn Dukayn (130-219 H), ‘Abd al-Razzaq al-Shan’ani (126-211 H), Yahya al-Qaththan (120-198 H), dan Abu Ahmad al-Zubairi (w. 203 H).

Sedangkan murid-murid Ibn ‘Uyainah lainnya, yaitu al-Walid ibn Muslim (119-195 H), Sa’id ibn Manshur (w. 227 H), ‘Abd Allah ibn Muhammad al-Musnadi (w. 229 H).

Menyikapi Periwayat yang Meriwayatkan Hadis dari Dua Sufyan

Ada hal yang perlu diperhatikan dan berhati-hati padanya, bahwa tidak sedikit periwayat yang meriwayatkan hadis dari dua Sufyan. Muhammad al-Turki dalam bukunya Tamyiz al-Muhmal min al-Sufyanayn setidaknya menyebut ada sekitar 54 periwayat yang meriwayatkan hadis dari Sufyan ibn ‘Uyainah dan Sufyan al-Tsauri. Bahkan nama-nama yang telah disebut sebelumnya ada pula yang meriwayatkan hadis dari dua Sufyan.

Meskipun demikian, para ulama telah memberikan solusi dari problem tersebut, yaitu dengan cara melihat dari lama durasi belajarnya atau banyak meriwayatkan hadis dari gurunya. Ibn Hajar al-‘Asqalani mengatakan:

لأنَّ الإطلاق يَنصرف إلى مَن يكون المطلق أشدَّ له ملازمة، وأكثر عنه رواية

Kesamaran (ihmal) seorang periwayat akan hilang seiring diketahui bahwa murid periwayat tersebut telah lama durasi mulazamah dan banyak meriwayatkan hadis darinya

Ketika ada periwayat yang belajar lama atau banyak meriwayatkan hadis dari Sufyan al-Tsauri dan sebaliknya, yaitu pendek durasi belajarnya dengan Ibn ‘Uyainah, maka ketika mengemukakan sanad dari al-Tsauri, ia hanya menyebutnya dengan Sufyan saja, sedangkan dari Ibn ‘Uyainah, ia akan memberikan keterangan tambahan yang menjelaskannya bahwa Sufyan tersebut adalah Sufyan ibn ‘Uyainah.

Keterangan di atas dikemukakan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani ketika menyikapi Abu Nu’aym al-Fadl ibn Dukayn dan Waki’ ibn al-Jarrah.

Misalnya pada Waki’ ibn al-Jarrah. Ibn Hajar al-‘Asqalani mengatakan dalam buku Intiqad al-I’tirad fi al-Rad ‘ala al-‘Aini fi Syarh al-Bukhari sebagai berikut.

وكيع عن سفيان هو الثّوريّ، فإن وكيعًا مشهور بالرواية عنه. وقال أبو مسعود الدمشقي في الأطراف: إنّه ابن عيينة. قلت: لو كان ابن عيينة نسبه لأنّ القاعدةُ في كلّ من روى عن متفقي الاسم أن يحمل رواية من أهمل نسبه على من تكون له خصوصية من إكثار ونحوه، وهكذا نقول هنا، لأنّ وكيعًا قليل الرِّواية عن ابن عيينة بخلاف الثّوريّ

Waki’ dari Sufyan, maksudnya adalah al-Tsauri, karena Waki’ masyhur riwayatnya dari al-Tsauri. Abu Mas’ud al-Dimasyqi dalam al-Athraf mengatakan Sufyan tersebut adalah ibn ‘Uyainah. Aku (Ibn Hajar) berkata: kalaulah itu Ibn ‘Uyainah, maka ia akan menasabkannya, karena kaidahnya, setiap periwayat yang meriwayatkan hadis dari seseorang yang namanya ada kemungkinan dari dua sosok, maka dipahami riwayat dari periwayat yang ia ihmalkan (Sufyan saja misalnya), mengindikasikan ada hubungan istimewa di antara keduanya, seperti banyak meriwayatkan hadis darinya dan lain sebagainya. Beginilah komentar kami, sebab Waki’ sedikit riwayatnya dari Ibn ‘Uyainah, berbeda kasusnya dengan al-Tsauri.

Contoh lainnya, terjadi pada Abu Nu’aym al-Fadl ibn Dukayn. Kita ambil sample dalam Shahih al-Bukhari pada hadis nomor 253 dan 891.

(253) حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ

(891) حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ

Menurut Ibn Ḥajar, ketika Abu Nuaym menyebutkan hadis dari Sufyan, maka itu adalah al-Tsauri, karena Abu Nuaym terkenal banyak meriwayatkan hadis dari al-Tsauri dan durasi mulazamah-nya cukup lama, ketimbang dengan Ibn ‘Uyainah yang hanya meriwayatkan sedikit hadis darinya. Maka, ketika Abu Nuaym meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Uyainah, ia menyebutnya dalam sanad dengan Ibn ‘Uyainah, tidak dengan redaksi Sufyan.

Kaidah “Ketika Disebut Sufyan, Maka itu adalah al-Tsauri”

Banyak pertanyaan datang ke penulis, “Bang, katanya, kalau disebut Sufyan, maka Sufyan yang dimaksud adalah Sufyan al-Tsauri.”

سفيان إذا أطلق فهو الثوري

Kalau memang pertanyaan ini tertuju pada penulis, maka penulis katakan bahwa dalam konteks hadis, kaidah tersebut kurang tepat. Boleh jadi, kalimat tersebut terpotong dari kalimat aslinya, karena pada umumnya, kalimat tersebut selalu didahului oleh nama-nama muridnya. Salah satu contoh sebagaimana dikatakan Ibn Hajar al-‘Asqalani:

لكن محمد بن يوسف الفرياي وإن كان يروي عن السفيانين فإنه حين يطلق يريد به الثوري

Jika Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi meriwayatkan hadis dari dua Sufyan, saat ia memuthlakkannya (ihmal), maka yang dimaksud adalah al-Tsauri.

Kalau dalam konteks fikih, khususnya fikih dalam kitab Imam al-Syafi’i, boleh jadi kaidah semacam ini muncul, yaitu “ketika disebut Sufyan, maka yang dimaksud adalah Ibn ‘Uyainah.”

Karena memang Imam al-Syafi’i sendiri mengakui bahwa mayoritas hadis-hadis hukum yang diperolehnya bersumber dari Ibn ‘Uyainah dan Imam Malik. Tidak hanya itu, bahkan Imam al-Syafi’i menatap cukup lama (fatrah thawilah) di Mekkah dan belajar dengan Ibn ‘Uyainah. Maka, ketika Imam al-Syafi’i menyebut hadis dari Sufyan, maka itu adalah Sufyan Ibn ‘Uyainah.

Wallahu A’lam