Catatan Kecil tentang Kiai Ali Mustafa

Oleh: Imam Budiman

Kitab-kitab tua di rak Kiai Ali Mustafa

Kesunyian yang kami pahami saat ini adalah petaka. Meski tak semua tentunya. Kesunyian yang kami rasakan saat ini memang tiada berpangkal. Lembar-lembar kami seakan tak ada arti. Kiai Ali Mustafa telah pergi meninggalkan kami. Sederetan tubuh-tubuh kami yang dipajang, kini hanya dapat menimbulkan decak kagum bagi siapa saja yang sengaja ataupun kebetulan melewati kami ketika mereka memasuki ruang tengah.

“Apalah arti sederetan buku berjilid-jilid membukit, bila tidak dibaca dan sering ditelaah. Orang yang banyak memiliki buku namun sekadar dijadikan pajangan, tak lebih hanya seperti keledai yang membawa garam,” begitu kata seorang bijak bestari.

“Nahnu thullab ilaa yaumil qiyaamah.” Kita adalah penuntut ilmu hingga hari kiamat, dawuhnya yang paling sering diucapkan ketika mengajar santri-santrinya. Entah berapa kali dan dalam kesempatan apa pun, ia kerap mengulang-ulangnya.

Ia kini telah pergi, selama-lamanya. Diantarkan ribuan Malaikat Rahmat menuju yang Mahasunyi dengan iringan isak umat muslim yang masih menginginkan kehadirannya di tengah-tengah mereka. Kehilangan seorang politisi, barangkali banyak yang saling berebut akan menggantikan. Namun kehilangan seorang ulama sekaliber Kiai Ali Mustafa, belum tentu mendapat gantinya sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Sebab sosok ulama diposisikan sebagai pewaris titah kenabian.

Kabar kepergiannya tersiar cepat seperti lesat anak panah yang dibidikkan ke segala arah. Menghujam telak ke corong-corong pendengaran. Mengejutkan keluarga dan orang-orang terdekatnya, tak terkecuali pula para santri-santrinya. Para tokoh-tokoh besar di negeri ini mengucapkan belasungkawa. Umat muslim berduka, begitu kehilangan sosok Kiai panutan.

Baru kemarin kami melihat ia asyik duduk di bangku kerja dengan setelan sarung songket dan kaos oblong yang sedikit robek di bagian leher, menikmati kudapan sunyi yang sungguh hakiki, tempat ia dapat menekuni berbagai macam jenis bacaan selama berjam-jam. Namun kini, bangku kerja beserta sebidang meja kayu tua dan setumpukan buku-buku yang tersusun rapi itu, kini merasakan kesunyian yang tak kalah hebat. Tak ada lagi yang rutin menjamah tubuh kami seperti kemarin.

Hampir separuh usianya kami menemani waktu-waktu luangnya. Tak tahu kepada siapa saripati dalam tubuh kami akan berpindah, selain kepada anak si mata wayang dan santri-santrinya. Kini ia telah meninggalkan kami dengan lapang, dan kami akan sangat merindukannya.

Rangkaian bunga belasungkawa di hari kepergian

Sepanjang jalan kecil arah menuju ke Pesantren Darus-Sunnah, sebagaimana nasibku yang dijejerkan bersama kawan-kawan lain, dipenuhi rangkaian bunga bertuliskan ucapan belasungkawa. Tak terhitung berapa jumlah tepatnya. Setahuku, seorang tokoh ulama yang menghadap Tuhan hari ini, nampaknya bukan orang biasa. Aku dikirimkan pagi-pagi sekali bersamaan dengan rangkaian bunga yang diletakkan di sebelahku yang bertuliskan “Keluarga Besar Joko Widodo”.

Aku menjadi rangkaian bunga yang malang. Namun aku juga menjadi aroma paling layak untuk mengantarkan sebuah prosesi kematian pada suasana khidmat.

Kematian, bagaimanapun jenisnya, sungguh menjadi memiliki arti dengan kuar wangi bunga yang semerbak. Melengkapi uraian dan sengguk orang-orang yang mengiringi seonggok jenasah hingga purna disemayamkan dalam lahat. Aku lebih tersanjung dan bahagia bila ditaburkan di atas pusara tokoh ulama ini, daripada sekadar ditaruh, dijejerkan, layu dan pada akhirnya dibakar karena dianggap mengotori saja.

Seorang santri pengarang cerita pendek

Malam kian meninggi ribuan jengkal, menapaki batas-batas paling pekat di ujung lazuardi, warna gelap melekat di ranting-ranting pohon, menyembunyikan ketakutan di dalam benak manusia yang lupa cara sebenar-benar beriman.

Seorang santri, yang bila lepas tengah malam terbiasa hanya mengenakan sarung tanpa mengenakan baju di pojokan kamar, masih menekuri laptop bututnya sejak dua jam lalu. Jam menunjukan pukul 3 dinihari. Ada yang ingin sekali diselesaikannya. Kawan-kawan lain yang berjumlah tak kurang empat belas orang dalam satu kamar, beradu suara dengkur, saling bersahutan.

“Apa yang bisa diberikan untuk umat bagi santri dekil sepertiku,”  batinnya diliputi kecamuk dan kopinya serta-merta pula tandas pada tegukan terakhir.

Ia berniat untuk mengabdikan separuh hidupnya untuk kegiatan mengarang. Mengarang apa saja, asal baginya bisa memberikan kebermanfaatan –dan tentu saja sedikit uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Setidaknya, sudah empat tahun terakhir ia tak bergantung pada bapaknya yang hanya bekerja sebagai tukang pandai besi.

Menjadi pengarang cerita pendek adalah pilihan pekerjaan yang tak lazim bagi santri. Ketika pada umumnya mereka lebih memilih untuk menjadi penceramah, imam masjid atau guru mengaji. Ia hanya ingin berbeda.

Kiainya pernah bilang, bahwa menulis –termasuk pula kegiatan mengarang-apabila diniatkan untuk kebermanfaatan, maka akan sama nilainya dengan ibadah. Ditambah lagi dengan dawuh motivasi yang senantiasa terngiang di kepalanya, “Walaa tamuutunna illa wa antum kaatibun.” Janganlah kamu meninggalkan dunia ini sebelum menjadi penulis. Sebuah pesan yang pada susunan kalimatnya menyamai ayat al-Quran, kecuali bagian akhir yang semestinya “Muslimun” beliau rubah menjadi “Kaatibun”. Dalam ilmu semantik, hal ini dikenal dengan istilah Iqtibas, yaitu pengadopsian sebuah ucapan yang diambil baik dari ayat Quran maupun Hadis.

Ia paham betul, bahwa maksud dari pesan Kiainya itu adalah menulis sesuatu yang memiliki nilai ilmiah atau jika bukan sesuatu yang berbau ilmiah, setidaknya yang mengarah kepada motivasi dakwah. Menulis sesuatu yang berisikan ajakan berbuat kebaikan dan untuk kemaslahatan umat.

Namun ia merasa kecenderungannya untuk itu sangatlah jauh. Ia tak pernah bisa lama-lama bergumul dengan apa yang ada di luar dirinya. Ia lebih suka memanjakan isi kepalanya sendiri dengan menuliskan cerita-cerita dengan beragam cara penuturan. Ia kerap mendaku dirinya, kelak pada suatu hari, menjadi seorang santri yang pandai sekali mengarang cerita.

Sebagai seorang pengarang pemula, kali ini ia ingin mengawali tulisannya dengan menceritakan tentang Kiainya yang, tak pernah ia percayai, akan dipanggil Tuhan sebegitu cepat.

In memoriam; kenangan dihukum Kiai Ali Mustafa

“Di tahun ajaran ini kamar kalian dinyatakan sebagai Awsaakhul Ghurfah, kamar terkotor! Kalian semua berhak mendapat hukuman.” Suara Kiai Ali Mustafa meninggi, murka. Menujah pendengaran para santri pagi itu saat halaqah fajriah. Hening. Semua tak berani menimbulkan suara. Khawatir memperkeruh suasana. Kitab yang semula ingin dibuka, sementara ditutup kembali. Pengajian belum benar-benar kondusif untuk dimulai, pikir sebagian santri.

“Sebagai santri tak layak berkamar kotor. Santri mesti menunjukan nilai-nilai keluhuran seorang yang berakhak, diantaranya, menjaga kebersihan.” Kali ini nada bicara Kiai Mustafa merendah, menasehati. Semua santri menyimak, khidmat.

“Sekarang kalian semua berdiri! Dan jangan ulangi lagi.” Lanjut Kiai Ali Mustafa memberikan instruksi. Tak ada yang berani membantah Kyai Sepuh setara beliau. Di pesantren, kami diajarkan untuk sepenuhnya menurut dengan segala macam aturan yang diberlakukan. Bisa kualat kalau banyak melawan.

Satu persatu nama-nama santri disebutkan. Berbaris berdiri di hadapan para santri lain. Malu, namun beruntung setidaknya dihukum beramai-ramai. Bukankah kesalahan, jika dilakukan bersama-sama, hukuman apa pun, seberat apa pun, akan terasa lebih ringan? Maka dari itu, beruntung tidak sendiri.

Hampir dua jam pengajian. Semua santri kembali ke kamar. Penghuni asrama kami melepas penat setelah diberdirikan sepanjang pengajian pagi itu. Namun tetap saja, hukuman bukanlah alasan untuk saling tuding, atau pun menyalahkan. Barangkali, ini waktunya kembali berbenah dan berupaya agar kesalahan ini tak kembali terulang. Pelajaran berharga dan membekas bagi kami.

 

*Cerpen ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, Minggu, 13 November 2016.

Similar Posts