Rabbani

MajalahNabawi.com- Di era sekarang, di mana setiap orang bebas dan ingin mengomentari apa saja, sering kali kita dapati pemaksaan atau cocokologi pemahaman al-Qur’an terhadap realitas yang sedang berkembang. Kemarin-kemarin ini, ketika ada pergeseran hari libur Tahun Baru Hijriyah, lantas ada saja yang mengaitkannya dengan QS. Al-Taubah: 37.

اِنَّمَا النَّسِيْۤءُ زِيَادَةٌ فِى الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُحِلُّوْنَهٗ عَامًا وَّيُحَرِّمُوْنَهٗ عَامًا لِّيُوَاطِـُٔوْا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ فَيُحِلُّوْا مَا حَرَّمَ اللّٰهُ ۗزُيِّنَ لَهُمْ سُوْۤءُ اَعْمَالِهِمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ

Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain. Agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.

Serba-serbi Cocokogi

Sebelumnya ada juga yang mengaitkan Pandemi Korona dengan QS. Az-Zukhruf: 36 atau QS. Al-Ahzab: 33, yang secara kebetulan memiliki kemiripan bacaan dengan salah satu kata pada dua ayat tersebut, meskipun dipaksakan. Tidak jarang pula kita dapati para penceramah yang mengomentari isu lalu mengaitkannya dengan ayat al-Qur’an secara langsung. Terkadang pula kita temui ayat-ayat yang mengomentari orang kafir dipakai untuk menghukumi orang Islam.

Pertanyaannya, boleh nggak sih kita melakukan cocokologi penafsiran al-Qur’an semacam ini? Lebih luas lagi, boleh tidak kita mengaitkan realitas di sekitar kita dengan kandungan suatu ayat?

Pada praktiknya, banyak sekali tafsir, khususnya di era kontemporer, yang melakukan kontekstualisasi ayat dengan realitas yang ada di sekitarnya. Hal itu dapat dimengerti karena adanya asumsi bahwa al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan. Kompatibel dengan semua waktu dan tempat. Bahwa di antara fungsi turunnya al-Qur’an adalah sebagai hudan lin nas (petunjuk bagi manusia). Sehingga hal ini menuntut adanya jawaban dari al-Qur’an untuk setiap peristiwa yang terjadi.

Analogi

Praktik semacam ini diistilahkan oleh Abdul Aziz al-Dhamir dengan pendekatan tanzil al-ayat ‘ala al-waqi’ atau menganalogikan realitas yang dihadapi penafsir dengan kejadian yang serupa dalam ayat al-Qur’an. Baik secara keseluruhan, sebagian, atau bahkan kebalikan dari subtansi ayat. Dalam bahasa Ushul Fikih, praktik seperti ini disebut dengan qiyas.

Praktik tanzil ataupun qiyas tafsir pernah dipraktikkan oleh Nabi saw ketika suatu malam mengetuk pintu rumah Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah. “Bangun! Mari shalat!” kata Nabi saw. Lantas Ali ibn Abi Thalib ra menjawab, ”Wahai Rasulullah, sungguh kita semua ada dalam genggaman Allah. Jika Allah menghendaki bangun malam, maka kita akan bangun.” Mendengar jawaban Ali ibn Abi Thalib, Rasulullah saw lantas pergi seraya menepuk pahanya dan membaca potongan ayat.

وَكَانَ الْاِنْسَانُ اَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا

Manusia memang yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahf: 54)

Jika merujuk konteks ayat di atas, maka kita temui bahwa ayat tersebut merupakan bagian dari rangkaian ayat yang membicarakan orang kafir. Sehingga dari sini dapat dipahami bahwa Nabi saw memakai potongan ayat tersebut untuk menilai apa yang dilakukan oleh Ali ibn Abi Thalib ra.

Syarat dan Ketentuan Berlaku

Al-Dhamir mengingatkan agar praktik tanzil tidak dilakukan secara serampangan, sehingga perlu adanya dhawabit atau ketentuan yang dipatuhi. Dalam hal ini, ia menyebut tujuh poin:

Pertama, niat yang benar dalam melakukan tanzil atau kontekstualisasi. Jangan sampai hal itu ditujukan hanya untuk memenuhi hawa nafsu, untuk membela kelompok atau alirannya, atau tujuan politik.

Kedua, menguasai dasar-dasar ilmu tafsir secara baik dan sesuai syariat agar tidak serampangan dalam mengontekstualisasi. Kesalahan dan kelemahan dalam melakukan tanzil yang disebabkan karena ketidaktahuan ilmu dalam bidang ini dapat menyesatkan dan menjadikan tafsirnya dicela.

Ketiga, wawasan tentang asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat al-Qur’an). Ini juga penting diketahui oleh penafsir yang hendak melakukan tanzil secara benar. Sebab ia sangat membantu dalam memahami ayat, serta sangat penting untuk dijadikan pertimbangan dalam melakukan tanzil. Ketidaktahuan tentang ilmu ini juga dapat mengakibatkan kesalahan dalam kontekstualisasi.

Keempat, ketepatan dalam memilih ayat yang dikontekstualisasi. Jangan sampai ayat yang secara konteks berbicara tentang akhirat dikontekstualisasi untuk realitas yang bersifat dunia. Hal itu dikarenakan masing-masing memiliki kekhususan dan tipologi yang berbeda satu sama lain.

Kelima, memahami beberapa konteks di mana ayat al-Qur’an turun. Hal ini dimaksudkan agar penafsir tidak mengontekstualisasikan ayat yang berkaitan dengan konteks tertentu dengan realitas yang tidak sesuai. Sebab al-Qur’an turun dalam banyak konteks. Ayat-ayat Makkah tentu berbeda dengan ayat-ayat Madinah. Konteks ayat perdamaian tentu berbeda dengan konteks peperangan, dan seterusnya. Pemaksaan tanzil ayat yang tidak sesuai bisa berakibat fatal.

keenam dan ketujuh

Keenam, jeli dan teliti serta benar-benar mengerti tentang realitas yang menjadi objek kontekstualisasi. Karena orang yang buta dan tidak memahami realitas yang terjadi di sekitarnya, sekalipun memahami maksud ayat, maka ia tidak akan mampu melakukan tanzil. Yang juga perlu dicatat, jangan sampai penafsir memaksaan ayat yang ingin di-tanzil tunduk di bawah tekanan realitas. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian penafsir yang menjadikan realitas sebagai sumbu yang tsabit (tetap). Sementara selainnya seperti nash dan kaidah-kaidah syariat dinilai sebagai sesuatu yang berpotensi berubah sehingga dapat dikendalikan sesuai keinginan.

Ketujuh, realitas yang menjadi objek tanzil harus berada di bawah pokok isi ayat, serta pemahaman tafsirnya harus benar. Karenanya, menurut Abdul Aziz, tidak dibenarkan menafsiri ayat secara independen tanpa merujuk penjelasan Nabi saw, sahabat ataupun tabi’in terkait ayat tersebut.

Syarat tambahan

Lebih lanjut, Musa’id al-Thayyar mengingatkan bahwa siapapun yang ingin melalukan kontekstualisasi ayat harus terlebih dahulu menguraikan penafsiran aslinya di mana ayat itu turun. Di sisi lain, kesesuaian secara dzahir antara kandungan ayat dan realitas yang di-qiyas-kan menjadi prasyarat utama. Karena jika tidak ada kesesuaian kita dapat jatuh pada qiyas yang salah. Kemudian, ketika ayat-ayat tentang orang kafir dipakai untuk menghukumi orang Islam, maka biar bagaimanapun hal itu tidak akan tepat seratus persen.

Jika poin-poin di atas dapat dipenuhi, maka kontekstualisasi berpotensi untuk diterima khalayak. Namun jika sebaliknya, khawatir kita akan terjatuh pada cocokologi tafsir yang dipaksakan dan tercela. Ahmad Sarwat menuliskan beberapa ciri umum praktik cocokologi tafsir:

Ciri Umum Cocokologi

Pertama, dilihat dari status penafsir. Jika yang menafsirkannya adalah mufasir yang dikenal keilmuannya di dunia ilmu tafsir, tentu dapat dipertimbangkan penafsirannya dan bisa kita terima. Akan tetapi jika penafsirnya anonim, tidak jelas identitasnya, hanya kata si anu, sebatas qila wa qala katanya-katanya, maka kita harus hati-hati dan waspada. Jangan-jangan ini merupakan tafsir yang mengada-ada atau cocokologi tafsir.

Kedua, umumnya cocokologi tafsir tampak heboh dan atraktif, karena kebutuhannya memang sekedar untuk aksi-aksi panggung semata.

Ketiga, tidak berdasarkan al-Qur’an dan tafsir yang mu’tabar. Ini dapat kita kenali dengan membandingkan penafsiran itu dengan apa yang sudah diyakini kebenarannya di dalam Ilmu Al-Quran dan Tafsir.

Dengan poin-poin ini kiranya kita dapat menilai orang yang mengatakan pergeseran hari libur hijriyah sesuai QS. Al-Taubah: 37. Ataupun pengaitan pandemi korona dengan beberapa ayat sebagai kami singgung di muka. Wallahu a’lam