Berawal dari Santri Kalong

Kenangan awal Unaesah tentang Darus-Sunnah berawal dari tahun 2011. Waktu itu, ia masih menjadi santri kalong atau muntasibah. Pertama kali mengikuti halaqah fajriyah di Darus-Sunnah, mojang asal Sukabumi ini mengaku gugup dan takut karena bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Arab. Sebagai lulusan SMA, ia merasa tidak terlalu familiar dengan bahasa Arab baik tulisan maupun lisan.

“Saya kadang bergumam, ‘Kalau nanti ditanya gimana ya, apa bahasa Arabnya ini?’ atau seringkali berdoa ‘Ya Allah, semoga saya jangan ditulis di dalam daftar hadir, supaya tidak ditanya’,” akunya kepada NABAWI.

Setelah beberapa kali mengikuti pengajian, nama ‘Unaesah Rahmah’ pun dicantumkan di dalam daftar hadir pengajian. Salah satu kakak kelas di kelompok belajar memberikan kepadanya tugas penanggungjawab pembahasan di dalam kitab ketika forum mudzakaroh. Awalnya banyak segudang alasan yang diakui Unaesah sebagai bahan penolakan. Tetapi toh akhirnya diterima juga.

Hal yang sering terjadi pada diri mahasiswi FISIP UIN Jakarta ketika mondok di Darus-Sunnah adalah merasa tidak konfiden dengan kemampuan yang dimiliki.

“Kadang rasa tidak percaya diri ini muncul akibat melihat teman-teman lain lancar saat menyajikan isi kitab, lalu memahami hadis dengan durasi waktu yang lebih cepat, serta menjawab pertanyaan di pengajian dengan lancar,”.

Keadaan seperti ini tidak berlarut-larut dibiarkan olehnya. Ia segera menyesali dan memperbaiki keluhan dan rasa iri tersebut di kemudian hari. “Semestinya seseorang tidak membandingkan dirinya dengan orang lain,” tuturnya. Diceritakan olehnya, teman-teman di Darus-Sunnah kebanyakan sudah nyantri selama 3 tahun, atau bahkan sejak kecil sudah ada yang mondok. Sedangkan Unaesah yang merasa sebagai seorang pemula, sudah keburu ingin memiliki kemampuan seperti mereka. Karena itu ia segera berusaha mengejar ketertinggalan yang ada.

 

Setiap Hari Mengaji, Mengaji, dan Mengaji

“Sekitar satu atau dua tahun setelah saya menjadi santri tetap (muntazhim) di Darus-Sunnah, dibuat peraturan baru: tidak ada lagi libur di hari Sabtu dan Minggu. Libur pengajian hanya pada hari Jumat pagi. Setiap Kamis malam, diisi dengan kursus bahasa Arab atau Inggris, serta kadang shalawatan. Pokoknya, tidak ada hari libur,” ujar Unaesah.

Peraturan seperti ini cukup mengejutkan mahasantri.

“Toh mahasantri kebanyakan ya inginnya ada libur saja, hahaha,”. Unaesah menyebutkan kekhawatirannya jika dihukum berdiri semisal tidak hadir saat pengajian. Peraturan yang baginya sungguh ketat.

Menurutnya, proses mengaji yang “tidak-ada-libur” tersebut mungkin tidak bisa dirasakan dalam waktu yang cepat. Tetapi, melalui sistem belajar seperti ini mahasantri bisa memahami bahwa belajar memang proses yang sulit. Oleh karena sulit, maka Unaesah menyebutkan bahwa butuh konsistensi dan totalitas agar seorang mahasantri Darus-Sunnah tidak menjadi akademisi atau ulama yang abal-abal, gegabah dalam memberikan pendapat.

Kenangan Sedih dan Canda bersama Kiai Ali Mustafa Yaqub

Unaesah menyebutkan bahwa satu pengalaman yang tidak akan dilupakannya adalah saat berdiri ketika halaqah fajriyah.

“Kira-kira waktu itu saya masih semester satu di Darus-Sunnah, dan ditunjuk sebagai anggota dari divisi bahasa. Jadi, ada dua bahasa yang boleh digunakan di lingkungan asrama putri Darus-Sunnah, yakni Bahasa Arab dan Bahasa Inggris,”.

Ia menyebutkan bahwa Pak Kiai Ali Mustafa Yaqub sangat menginginkan mahasantrinya menggunakan bahasa asing dalam keseharian. “Sampai kita harus membuat surat perjanjian yang isinya berjanji untuk menggunakan kedua bahasa ini, lho,” kenang Unaesah. “Nah, kalau ada mahasantri yang menggunakan bahasa Indonesia, Sunda, Jawa, Minang atau Bahasa lainnya maka wajib dilaporkan ke Bapak,”.

Hal ini bagi Unaesah cukup sulit, karena teman-teman di Darus-Sunnah toh semuanya orang Indonesia, jadi pengennya pakai Bahasa Indonesia saja.

“Tibalah masa ketika setelah dua minggu pertama saya masih dalam posisi aman dari hukuman bahasa. Eh minggu ketiga, nama saya disebut oleh Pak Kiai. Malu saya menerima hukuman akibat tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris. Saya pun berdiri sepanjang halaqah di depan teman-teman,”.

Selain itu, satu momen yang pernah disinggung Pak Kiai tentang bahasa, “Kumaha, kumaha, jangan pakai bahasa Sunda terus! Pakai bahasa Arab atau Inggris!” ujar Unaesah, sambil tertawa.

Waktu itu Unaesah mengaku belum mengerti mengapa Pak Ali Mustafa Yaqub sangat menginginkan mahasantrinya untuk berbahasa asing. Tetapi lambat laun ia menyadari bahwa pemahaman terhadap bahasa sangat dibutuhkan untuk kelancaran studi mahasantri. Sebagai contoh, referensi untuk studi hadis adalah bahasa Arab.

“Jadi, kalau kita tidak familiar dengan bahasa Arab, akan sangat mungkin kita lebih memilih untuk membaca terjemahan daripada merujuk kitab induknya langsung. Selain itu, kita tidak bisa memungkiri bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang digunakan hampir di seluruh negara. Keterbatasan bahasa akan menyulitkan kita untuk mendapatkan pengalaman yang lebih luas dan akses terhadap keilmuan yang banyak di tulis dalam bahasa asing,” terang mahasiswi jurusan Hubungan Internasional ini.

Tapi, Unaesah tidak hanya merasakan tuntutan dalam belajar saja. Ia merasakan bahwa Pak Kiai menganggap murid-muridnya sebagaimana seorang anak. Selain menegaskan istikamah belajar kepada mahasantrinya, Pak Kiai juga menasihati mahasantri, khususnya mahasantri putri, untuk bisa memasak. Sebagaimana dijelaskan Kiai Ali Mustafa Yaqub, ilmu memasak sangat penting terutama setelah nanti berkeluarga. Akhirnya, diadakanlah “Lomba Memasak Nasi Kebuli” antar usroh (kelompok belajar).

“Nasi kebuli ini merupakan salah satu masakan favorit Pak Kiai. Untuk itulah Bapak dan Ibu sendiri yang menjadi juri dalam lomba ini. Bahkan Pak Kiai memberikan modal lomba dengan memberikan ayam untuk tiap kelompok, dan Bu Nyai sendiri yang mengajari kita, hehehe,”.

Wisuda Kelabu

Pada tahun terakhir di Darus-Sunnah, Kiai Ali Mustafa Yaqub mulai sering terlihat kurang sehat. Jam mengajar beliau kerap digantikan oleh pengajar lain. Namun tidak pernah terbesit sedikitpun di perasaan mahasantri bahwa beliau akan pergi.

“Waktu itu pula, saya dan teman seangkatan, Al-Aqsha, sedang sibuk mengerjakan takhrij –yang tak kunjung kelar— serta persiapan untuk wisuda. Kami juga mempersiapkan hadiah yang ingin kami berikan kepada Pak Kiai. Namun, ternyata Allah punya rencana lain,” kenang Unaesah.

Waktu itu Rabu malam, 27 April 2016, Unaesah dan seorang rekan lain menuntaskan sidang takhrij. Masih dalam keadaan bahagia, tiba-tiba pukul 6 pagi hari Kamis, tersiar kabar bahwa Pak Kiai meninggal.

“Ya Allah, begitu cepatnya Engkau membalikkan perasaan, dari sangat bahagia menjadi sangat, sangat sedih,”.

Bagi Unaesah, kenangan mengenai Darus-Sunnah tidak bisa dipisahkan dari sosok al-Maghfur lah Kiai Ali Mustafa Yaqub. Sistem belajar di Darsun yang disiplin, istikamah dan tegas merupakan perwujudan karakter yang ditempa kepada mahasantri Pak Kiai.

 

Dari Sukabumi ke Singapura

Setelah lulus dari UIN Jakarta pada tahun 2015 dan Darus-Sunnah pada Mei 2016, Unaesah berkesempatan melanjutkan studi magister di S, Rajaratnam School of International Studies (RSIS) di Nanyang Technological University, Singapura. Ia menekuni bidang Strategic Studies.

“Selain menjadi mahasiswa, saya juga menjabat sebagai research analyst di salah satu lembaga penelitian RSIS sebagai salah satu kontrak dari beasiswa yang saya dapatkan. Ini pertama kalinya saya belajar di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama,”.

Ia mengakui bahwa pengalaman takut salah mampu masih kadang muncul di benaknya seperti enam tahun silam ketika mulai mengaji di aula Darus-Sunnah. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan perasaan takut dan tidak nyaman. Terkait ini, Unaesah memberikan kesan,

“Kita semua pasti mengalami rasa takut ketika memasuki dunia baru, dan keluar dari zona nyaman. Hal yang membedakan adalah sebagian orang menyerah dan mundur, sedangkan sebagian lainnya tetap maju walaupun dengan tertatih. Teman-teman mau pilih yang mana?”