Perahu itu sudah sedemikian jauh. Ia membawa muatan yang banyak, dari  mulai bawaan dari negeri asalnya, pulau-pulau yang ia kunjungi dalam arungan perjalanan, serta hasil-hasil laut terbaik yang mampu dikumpulkannya.

Kapal itu nampak elegan. Kokoh. Tak besar, namun sepertinya ia menjamin hal-hal terbaik dari sebuah muatan perahu. Memang konon, kata beberapa bajak laut, seperti Monkey D. Luffy dalam anime One Piece, atau orang-orang kesohor dalam film epik Pirates of Carribean dengan Jack Sparrow yang selengekan sebagai lakonnya, apa peduli tentang kebesaran sebuah kapal.

“Beri aku kapal! Biarkan aku berlayar.” Demikian dikatakan Jack Sparrow.

Sebuah kapal adalah satu anugerah yang harus disyukuri. Tak banyak orang yang bisa memiliki perahu, baik itu ia bikin sendiri atau sesuatu yang diberikan secara spontan oleh Tuhan. Perahu, Anda tahu, adalah satu simbol kedigdayaan atas sekian kecil lautan yang luas dan tidak pernah diketahui di mana ujungnya.

Kapal itu beserta muatannya telah melaju jauh ke tengah samudera. Ia sudah melewati sekian badai, sekian topan, sekian pusaran air, serta beberapa serangan dari pengguna perahu lainnya. Bukan main. Selain itu, banyak para awak kapal yang semula di awal bersama sang kapten, memilih untuk turun di pulau-pulau yang disinggahi, kemudian juga mencari kapal baru atau mendirikan aliansi baru untuk mengarungi lautan.

Sang kapten bukan orang sembarangan. Ia orang kawakan dan tentu saja senior. Pengalamannya tentang hal terpenting apa yang perlu disediakan sebuah kapal sudah mumpuni. Kini ia hanya butuh untuk menyusuri lautan. Orang-orang kebanyakan tak tahu cita-citanya, apakah ingin menuju All Blue atau mencari harta karun One Piece, atau hendak melawan Davy Jones di kapal Flying Dutchman yang muncul sesekali ke permukaan laut selama sekian tahun untuk menghadap cahaya.

Tapi setidaknya yang mudah diketahui: ia tahu apa yang dibawanya dalam kapal, ia tahu apa yang akan ia berikan pada awak kapalnya. Orang-orang sedikit banyak tahu siapa dia, dan apa yang dimilikinya. Sosok sang kapten memang tampak lebih kesohor dari nama perahunya, kebanyakan demikianlah bajak laut. Seorang kapten memang bak Cak Slamet atau Cak Sodiq dalam panggung orkes – namanya lebih dikenal dari pada nama grupnya.

Demikianlah hikayat sang kapten. Ia berdaulat di atas perahunya. Orang-orang yang ingin mencoba mengenalnya berusaha menjadi bagian dari awak kapalnya.

Tapi seiring waktu, arah zaman semakin tak bisa ditebak. Teknologi navigasi sudah semakin tidak karuan kerennya, dan demikianlah sampah-sampah di lautan, tampak semakin menumpuk. Iklim sudah bercampur dengan banyak hal, konon karena gagasan masyarakat-masyarakat di sebuah pulau yang ingin mengotak-atik iklim dunia. Arah angin laut sudah beradu kencang. Badai semakin mudah terjadi, senggolan-senggolan perahu lain kerap tak terelakkan, baik yang dialami sendiri atau yang semakin sering terlihat di depan mata.

Kapten ini tetap yakin dengan apa yang ia ketahui tentang arah angin dan dinamika maritim. Ia persilakan awak kapalnya untuk mencoba menganalisa iklim terkini. Namun tetap saja mandat tertinggi berada dalam titahnya.

Semua awak kapal, baik yang masih bertahan di kapal, atau yang sudah memutuskan turun ke pulau-pulau serta sudah menjelajah lautan dengan caranya sendiri-sendiri begitu segan kepada sang kapten. Kapten ini sudah terlampau keren hebatnya.