Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal

Buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal berisi tentang tanya-jawab masyarakat dengan KH. Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub. Buku ini tidak jauh berbeda dengan buku tanya-jawab lainnya yang ulama-ulama kondang menulisnya, di antaranya KH. Sirajuddin Abbas, KH. Muhammad Syafi’i Hadzami, Ustadz Abdul Somad yang berisi tentang pertanyaan keagamaan. Tetapi, dalam buku ini memiliki karakteristik khusus yang bisa jadi tidak ada dalam buku-buku tanya-jawab lainnya. Apakah karakteristik tersebut?

1. Pertanyaan yang berasal dari berbagai tempat

Dalam buku Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, terdapat berbagai pertanyaan yang berasal dari berbagai tempat. Hal ini karena jabatan beliau sendiri sebagai imam besar Masjid Istiqlal yang terkenal sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara dan sebagai pusat dari masjid-masjid yang ada di Indonesia. Jadi tidak heran pertanyaan yang tersampaikan bukan hanya dari kawasan Jabodetabek dan sekitarnya saja, tapi dari seluruh penjuru Nusantara bahkan sampai Internasional.

2. Metode beliau ketika menjawab

Dengan pertanyaan yang berasal dari berbagai penjuru Nusantara. Hal ini menuntut beliau untuk mengetahui seluk beluk dari keadaan masyarakat, budaya penanya dan menjawab dengan jawaban yang bisa diterima oleh daerah penanya tersebut pada khususnya dan para pembaca di daerah mana pun pada umumnya. Metode Kiai Ali dalam menjawab persoalan yang ada dengan komunikatif, prosedural, solutif dan bisa diaplikasikan di seluruh keadaan. 

3. Menteri sampai campur tangan

Pada awalnya, tanya-jawab yang tidak dibukukan oleh Kiai, hanya sebatas pertanyaan dan jawaban saja. Tapi Menteri Agama Republik Indonesia pada saat itu Bapak Muhammad Maftuh Basyuni mengusulkan untuk membukukan berbagai tanya-jawab Kiai Ali Mustafa Yaqub agar bisa khalayak umum membacanya dan supaya fatwa Kiai tentang permasalahan agama tidak hilang.

4. Prinsip fatwa Kiai Ali Mustafa Yaqub

Prinsip atau manhaj fatwa Kiai Ali berbeda dengan ulama lainnya. Bahkan Beberapa ulama menyamakan gaya fatwa beliau seperti Sayyid Sabiq dikarenakan beliau tidak bergantung pada suatu mazhab tertentu yang mengekang pendapat yang ingin diutarakan oleh kiai. Beliau menganggap bahwa pintu ijtihad masih terbuka hingga sekarang dan tidak ada yang menutupnya. Dengan kepiawaannya dalam memahami al-Quran dan Hadis, beliau menggunakan ijtihadnya dalam menjawab permasalahan umat.

Fatwa-fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal

1. Fatwa tentang adat yang beredar di masyarakat

Dalam beberapa kasus, beliau memperbolehkan upacara/adat keagamaan selama tidak mengandung unsur syirik. Seperti ritual membakar cabai untuk menolak hujan dikarenakan hal tersebut juga pernah dilakukan oleh Nabi Saw. yaitu ketika mengangkat tangan ketika doa dan mengubah serban ketika salat Istisqa’ dan ulama menganggap bahwa hal tersebut menjadi dasar hukum diperbolehkannya doa dengan rumus (dua bi al-rumz). Namun dalam kasus lain seperti Rebo Wekasan, beliau condong tidak memperbolehkan karena lemahnya referensi yang menunjukkan tentang kebolehannya. Intinya dalam hal aqidah maupun ibadah, Kiai mengharuskan menggunakan dalil yang kuat.

2. Pendapat beliau tentang Islam Liberal

Beliau menentang adanya penamaan “Islam Liberal” karena adanya kontradiksi makna pada tiap katanya yang di mana Islam bermakna tunduk atau patuh, sementara Liberal berarti kebebasan berpikir. Beliau juga  menganggap bahwa banyak pernyataan mereka yang bertentangan dengan al-Quran dan Hadis. contohnya seperti nikah beda agama, imam perempuan dan meragukan keautentikan al-Quran. Beliau menghimbau masyarakat untuk menjauhi pemikiran mereka, dan bertaubat bagi orang yang pernah masuk organisasi tersebut dikarenakan beliau sudah memvonis bahwa organisasi Islam Liberal merupakan organisasi yang sesat lagi menyesatkan.

3. Pendapat Kiai mengenai wanita dan feminisme

Kiai menegaskan bahwa Islam memandang wanita sama dengan lelaki. Namun, ada beberapa keadaan yang boleh dilakukan oleh lelaki tapi tidak diperbolehkan bagi wanita. Beliau tidak menganjurkan adanya TKW dan mempertanyakan terciptanya keluarga samara ketika pasutri berpisah dalam waktu cukup lama. Beliau memperbolehkan wanita (istri) untuk bekerja, tetapi kewajiban memberi nafkah tetap dibebankan kepada lelaki (suami). Tentang feminisme, beliau berpendapat bahwa hal tersebut sudah dilakukan oleh Nabi. Adapun gerakan feminisme yang beredar sekarang tidak lain gerakan untuk merusak moral wanita.

Similar Posts