Hanya di bulan suci pintu-pintu surga dibuka selebar-lebarnya. Hanya di bulan mulia pintu-pintu neraka ditutup serapat-rapatnya. Hanya di bulan itu setan-setan dibelenggu dan dirantai sekuat-kuatnya dibalik jeruji penjara.

Itulah bulan suci Ramadhan yang penuh keberkahan dan kemuliaan sehingga pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dirantai dan dipenjara. Karena itu, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk bermalas-malasan di bulan Ramadhan.

Iman menurut Rasulullah Saw itu cenderung naik turun (yazid wa yanqush). Untuk itu manusia butuh dorongan spiritual agar stabilitas imannya dapat terjaga dengan baik. Begitu pula amaliyah dan ubudiyah di bulan Ramadhan juga cenderung naik turun.

Maka dari itu, dorongan spirit dibutuhkan agar ibadah dan amal kebajikan rajin dilaksanakan dan konsisten dikerjakan. Ada satu hadis yang sangat populer di masyarakat yang sering disampaikan oleh banyak muballigh atau penceramah sebagai motivasi agar mereka semangat dalam beribadah di bulan Ramadhan. Hadis tersebut redaksinya sebagai berikut:

أوَّلُ شَهْرِ رَمَضانَ رَحمَةٌ وأوْسَطهُ مَغْفِرَةٌ وآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ

“Permulaan bulan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya maghfirah, dan penghabisannya merupakan pembebasan dari neraka.”

Hadis ini sangat terkenal dan beredar luas di masyarakat. Selalu disampaikan dalam banyak kajian di bulan Ramadhan seperti kultum, kuliah subuh, pengajian, ceramah, dan lainnya. Tetapi hampir tidak pernah dijelaskan siapa yang meriwayatkan, dari mana sumbernya, dan bagaimana kualitasnya?

Maka, dalam kajian kali ini, akan kita kupas tuntas seluruh bahasan yang terkait dengan kajian hadis di atas, mulai dari kajian takhrij haditsnya (menelusuri sumber hadis), studi atau kritik sanadnya (naqdus sanad), hingga kritik matannya (naqul matan).

 

Analisis Sumber

Hadis di atas memiliki dua jalur riwayat, yaitu jalur Sahabat Abu Hurairah dan Salman al-Farisi. Hadis jalur Abu Hurairah sebagaimana redaksi di atas, diriwayatkan oleh al-‘Uqaili dalam al-Dhu’afa’ al-Kabir, Ibnu ‘Adiy dalam al-Kamil fid Dhu’afa’, al-Khatib al-Baghdadi dalam Mudhihu Auhamil Jam’i wal Tafriqi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, Ibnu Abi al-Dunya dalam Fadha’il Ramadhan, dan al-Dailami dalam al-Firdaus bi Ma’tsuril Khithab.

Jalur kedua redaksinya lebih panjang karena termasuk bagian dari teks pidato Rasulullah Saw di akhir Sya’ban atau awal Ramadhan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitabnya Shahih Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Fadha’ilul Auqat, al-Haritsi dalam Musnadul Haritsi, Abu Abdillah al-Mahamili dalam Amali, dan Ibnu Syahin dalam Fadha’il Syahri Ramadhan.

Dari dua jalur riwayat ini, jalur Salman al-Farisi yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang lebih dikenal –karena hampir tidak ada satupun ulama yang mengutip hadis yang bersumber dari Abu Hurairah di dalam kitab-kitab mereka– di dalam literatur-literatur keislaman klasik.

Hemat penulis, hadis riwayat Ibnu Khuzaimah ini lebih populer dikarenakan kitab Shahih Ibnu Khuzaimah –dengan kitab Shahih Ibnu Hibban– adalah satu kitab standar yang menjadi acuan dalam hadis-hadis shahih setelah kitab Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan al-Mustadrak ‘alas Shahihain. Karena itu wajar apabila hadis riwayat Ibnu Khuzaimah yang sering dikutip di dalam literatur-literatur keislaman.

Untuk membuktikannya, penulis akan sampaikan data-data tersebut sekurang-kurangnya berdasarkan tiga literatur yang berkaitan langsung dengan bulan Ramadhan, yaitu literatur fikih, tafsir, dan adab atau akhlak.

Pertama, dalam literatur fikih hadis tersebut dikutip sekurang-kurangnya oleh empat ulama, yaitu Muhammad Syatha’ al-Dimyathi dalam I‘anatut Thalibin, Syamsuddin al-Sarakhsi dalam al-Mabshuth, Fakhruddin al-Zaila‘i dalam Tabyinul Haqa’iq Syarh Kanzul Daqa’iq, dan Kamal Ibnu al-Himmam dalam Fathul Qadir.

Kedua, dalam literatur tafsir sedikitnya disebutkan oleh tiga ulama, yaitu Abu Ishaq al-Tsa’labi dalam kitab al-Kasyfu wa al-Bayan, Muhyisunnah al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil, dan Syamsuddin al-Syarbini dalam Tafsir as-Sirajul Munir.

Ketiga, dalam literatur akhlak dan adab hadis tersebut sedikitnya disebutkan oleh empat ulama, yaitu al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib, abu Thalib al-Makki dalam Qutul Qulub fi Mu’amalatil Mahbub, Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Latha’iful Ma’arif, dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-Kaba’ir ‘an Iqtirafil Kaba’ir.

Membaca data ini tidak mengejutkan apabila hadis tersebut banyak disampaikan dalam momen-momen pengajian atau kajian Ramadhan. Sebab hadis tersebut tidak hanya tersebar dalam ceramah atau pidato saja, akan tetapi juga tersebar dalam banyak literatur-literatur keislaman seperti telah disebutkan.

 

Kritik Sanad Hadis

Pada bagian ini, akan dijelaskan bagaimana kualitas sanad hadis di atas. Ini mutlak dilakukan untuk menguji status hadisnya. Apakah secara sanad kualitasnya bagus dan dapat dipertanggungjawabkan? Jika demikian, maka hadis tersebut bagus, dapat diamalkan, dan sangat bermanfaat disampaikan. Jika tidak, sebaiknya tidak sembarangan menyampaikan agar tidak terjebak dalam penyebaran hadis palsu.

Pertama, hadis dari jalur riwayat Abu Hurairah. Hadis jalur ini sangat bermasalah (dhaif jiddan) dikarenakan pada mata rantai sanadnya ada dua orang periwayat yang bernama Sallam bin Sawwar dan Maslamah bin al-Shalt. Periwayat pertama –Sallam bin Sawwar– menurut Ibnu ‘Adiy dalam al-Kamil fid Dhu’afa’ dan al-Dzahabi dalam al-Mughni fil Dhu’afa’ adalah munkarul hadits (hadisnya munkar). Menurut Ibnu Hibban, hadisnya tidak bisa dijadikan pegangan (la yuhtajju bihi) kecuali ada periwayat lain yang meriwayatkan hadisnya. Sedangkan periwayat kedua, Maslamah bin al-Shalt, menurut Abu Hatim dalam al-Jarh wa al-Ta’dil adalah matrukul hadits (hadisnya matruk). Pendapat ini kemudian dikuatkan oleh al-Dzahabi dalam kitabnya Mizanul I‘tidal fi Naqdir Rijal dan al-Mughni fid Dhu’afa’, dan Ibnu al-Jauzi dalam ad-Du’afa’ wal Matrukin.

Kedua tipe hadis yang terdapat rawi seperti telah dijelaskan, dikategorikan sebagai hadis yang semi palsu atau dhaif jiddan karena ada rawi yang munkar dan matruk sebagaimana telah dijelaskan. Oleh karena itu, mengomentari jalur riwayat Abu Hurairah itu, al-‘Uqaili sendiri menjelaskan bahwa ada jalur lain yang lebih bagus dari jalur Abu Hurairah tersebut. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila hadis riwayat Abu Hurairah di atas tidak populer di dalam literatur-literatur keislaman dikarenakan kualitas semi palsu dan tidak bisa diamalkan.

Kedua, hadis dari jalur riwayat Salman al-Farisi. Banyak orang yang gegabah dan buru-buru menilai hadis ini shahih karena bersumber dari kitab Shahih Ibnu Khuzaimah. Tanpa mengkaji sanadnya secara utuh, sepintas memang akan tampak demikian, tetapi jika dikaji lebih lanjut hadis tersebut bukan hadis shahih. Ibnu Khuzaimah sendiri sebenarnya sedari awal sudah memberikan isyarat bahwa hadis tersebut bukan shahih melalui perkataannya sebelum menyampaikan hadis tersebut sebagai berikut;

باب فضائل شهر رمضان إن صحّ الخبر

“Bab tentang keutamaan-keutamaan (fadha’il) bulan Ramadhan apabila hadisnya shahih.”

Kata kuncinya adalah kata إن صح الخبر (apabila hadisnya shahih), di mana kata ini menunjukan Ibnu Khuzaimah meragukan atau tidak memastikan hadis tersebut adalah shahih. Mengomentari pernyataan ini, al-Baihaqi setelah meriwayatkan hadis tersebut menyatakan bahwa pernyataan Ibnu Khuzaimah ini adalah indikasi kuat bahwa hadis tersebut bukan shahih.

Pertanyaannya, apakah derajat hadis tersebut jika bukan hadis shahih? Apakah hadis hasan, dhaif atau palsu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab setelah dikaji mata rantai sanadnya.

Dalam hadis riwayat Ibnu Khuzaimah, silsilah rawinya bagus kecuali satu orang rawi bernama Ali bin Zaid bin Jud’an. Ulama berbeda pendapat menilai periwayat ini. Ada yang menilainya positif (ta’dil), tetapi banyak yang menilainya negatif (jarah). At-Tirmidzi mengatakan Ali bin Zaid bin Jud’an shaduq (baik). Ya’qub bin Syaibah menilainya sebagai rawi yang tsiqah (terpercaya).

Tidak ada pendapat lain selain pernyataan dua ulama ini yang menilai Ali bin Zaid bin Jud’an baik. Selebihnya adalah jarh (penilaian negatif) yang disampaikan banyak ulama tentang Ali bin Zaid bin Jud’an. Menurut al-Nawawi Ali bin Zaid bin Jud’an adalah dhaif. Ibnu Sa’ad memperkuat bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an adalah rawi dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah (la yuhtajju bihi). Yayha bin Ma’in menguatkan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an la yuhtajju bihi (tidak bisa dijadikan hujjah). Karena itu Ibnu Hibban berkata; Ali bin Jud’an laisa bi al-qawi (tidak kuat).

Dalam kajian ilmu jarh wa ta’dil ada teori yang menyatakan; “Apabila penilaian negatif (jarh) dan penilaian positif (ta’dil) ada secara bersamaan, maka penilaian negatif diutamakan jika ada yang menjelaskan (mufassar).” Maka teori ini berlaku dalam kasus rawi Ali bin Zaid bin Jud’an karena ada dua penilaian sekaligus terhadapnya. Tetapi penilaian yang negatif yang diunggulkan sebagaimana al-Dzahabi menjelaskan bahwa Ali bin Zaid bin Jud’an pelupa atau pikun di usia tuanya (ikhtilath). Bahkan, Ibnu Khuzaimah sendiri dengan tegas menyatakan la ahtajju bihi li su’i hifzhihi (aku tidak berhujjah dengannya lantaran ingatannya yang buruk).

Maka, berdasarkan kajian sanad ini, dapat disimpulkan hadis dari jalur Salman al-Farisi adalah dhaif bukan shahih walaupun disampaikan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahihnya. Oleh karena itu, al-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Shaghir menyatakan bahwa hadis tentang awal Ramadhan itu rahmat, pertengahannya maghfirah, dan akhirnya membebaskan dari api neraka adalah hadis dhaif. Pun demikian dengan Musthafa al-A’zami, penahqiq kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, juga menghukumi hadis tersebut dhaif.

Bersambung…

By Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences