Majalahnabawi.com – Salah satu hal yang sangat menarik untuk mendapatkan perhatian lebih intens dalam kajian hadis adalah kenyataan bahwa hadis merupakan bukti sejarah yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad Saw. Melalui hadis, kita tidak hanya mengetahui perkataan nabi, perilaku nabi, sifat nabi, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan nabi saja. Lebih dari itu, kita juga dapat mengetahui keadaan politik, geografis, sosial, dan keilmuan dunia Arab atau bahkan seluruh dunia pada masa itu. Dan ini semua, merupakan fakta-fakta sejarah yang tidak mungkin diingkari. Adapun hadis menjadi sumber sejarah yang membawa kita menuju ke sana. Di sini lah kajian hadis sangat erat kaitannya dengan kajian sejarah karena memang hadis merupakan bagian dari sejarah itu sendiri.

Kritik Hadis

Dalam diskursus hadis, kita telah mengenal adanya salah satu cabang ilmu yang masyhur, yakni kritik hadis. Permulaan ilmu ini telah ada pada masa nabi. Contohnya adalah sahabat Umar bin Khattab yang menanyakan langsung kepada Rasulullah Saw. tentang perkataan beliau ketika menceraikan istri-istrinya. Berikutnya, pada masa sahabat, kritik hadis semakin berkembang. Para sahabat khususnya khulafa’ arba’ah menetapkan beberapa metode untuk membuktikan kebenaran hadis. Salah satunya adalah dengan menanyakan kepada sahabat yang lain tentang kebenaran hadis. Selain itu, mereka juga membandingkan hadis itu dengan ayat Al-Qur’an atau hadis-hadis yang telah teruji kesahihannya. Hingga pada masa tabi’in, politik dan kepentingan-kepentinngan pribadi semakin menjadi. Hadis disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Para ulama’ hadis menetapkan metode baru yang berbeda dengan metode para sahabat, yaitu kewajiban penggunaan shighat tahammu wa al-ada’.

Perkembangan metode ini memiliki tujuan utama yang sama yaitu menjaga hadis, meneliti validitas hadis berbasis sanad dan matan. Ketika sanad dan matan suatu hadis memenuhi kriteria, hadis ini bisa menjadi hujjah secara mutlak.

Metode kritik sanad hadis adalah dengan mencari kredibilitas para perawinya melalui riwayat-riwayat yang ada. Ketika perawi hadis itu terdeteksi memenuhi kriteria tsiqqah -adil (keadaan seorang perawi tidak mungkin memalsukan hadis) dan dabith (memiliki kemampuan untuk menunjukkan hadis yang ia miliki dengan cepat)- maka penelitian berlanjut pada tahap selanjutnya, yaitu kritik matan. Apabila tidak memenuhi kriteria, hadis tersebut bisa dicap dhaif (lemah) atau bahkan palsu.

Berikutnya adalah kritik matan hadis. Kritik ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa kandungan materi yang dibawa oleh perawi secara turun-temurun tidak mengalami perubahan signifikan, materi yang yang terkandung sesuai dengan pemahaman yang bisa diterima, tidak menyelisihi Al-Qur’an dan hadis yang lebih sahih. Serta terhindar dari sisipan yang dapat mengacaukan hadis. Sangat penting melakukan kedua kritik ini untuk menjaga keaslian hadis.

Kritik Sejarah

Dari sudut pandang sejarah, ternyata kita dapat menemukan bahwa para ahli sejarah memiliki metode kritiknya sendiri dalam menjaga keaslian sumber sejarah (manuskrip, naskah, dan lainnya). Kritik yang mereka lakukan memiliki kriteria yang berbeda dengan kritik ahli hadis. Dalam menetapkan validitas fakta sejarahnya, para ahli sejarah hanya fokus pada penelitian otentisitas sumber sejarah. Penelitian yang bertujuan untuk memastikan bahwa sumber sejarah tersebut benar-benar berasal dari fakta sejarah yang telah terjadi di masa lalu. Apabila kita sandingkan dengan kajian hadis, kita bisa mengatakan bahwa para ahli sejarah hanya melakukan kritik sanad secara mendalam saja. Mereka tidak begitu memperhatikan kandungan, makna, dan isi dari sumber sejarah tersebut. Apabila sumber sejarah itu benar-benar terjamin berasal dari peristiwa sejarah, maka validitasnya sudah teruji.

Para ahli sejarah telah menetapkan metode dalam meneliti bukti sejarahnya. Berikut langkah-langkah yang mereka lakukan:

Heuristik

Langkah pertama dalam metode kritik sejarah adalah mencari sumber-sumber untuk mendapatkan data-data sejarah. Kegiatan ini adalah heuristik. Dari bentuknya, sumber sejarah bisa terbagi menjadi tiga, pertama sumber tidak tertulis atau lisan. Sumber ini bisa berasal dari pelaku pada peristiwa sejarah tersebut ataupun cerita yang tersampaikan secara turun-temurun. Kedua, artefak berupa foto, bangunan, patung, dan semacamnya. Ketiga, sumber tertulis seperti dokumen atau naskah, prasasti, atau papyrus.

Kritik Sumber

Setelah data-data, sumber tersebut terkumpul, upaya selanjutnya adalah melakukan sebuah kritik, uji otentisitas, dan keaslian dari sumber-sumber tersebut. Kritik sumber terbagi menjadi beberapa tahap, di antaranya:

  1. Kritik eksternal

Kritik eksternal adalah sebuah uji otentisitas untuk mengetahui keaslian dari sumber tersebut. Ranah kritik eksternal ini berada di luar dari esensi sumber. Misalnya seperti keadaan fisik dari sumber tersebut -jenis kertas, jenis tinta, gaya tulisan, dan lainnya- atau berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas dan informasi-informasi terkait sumber. Pertanyaan yang bisa diajukan seperti siapa yang membuat, di mana, apa, dan bagaimana.

  • Kritik internal

Kritik internal merupakan uji otentisitas berdasarkan esensi, materi yang terkandung dalam sumber tersebut. Kritik internal ini tidak mengkaji makna dan maksud dari esensi sumber tersebut sebagaimana kritik matan dalam hadis. Tujuan kritik internal dalam diskursus sejarah sama dengan kritik eksternalnya yaitu untuk mengetahui keaslian dari sumber sejarah tersebut.

Interpretasi

Interpretasi atau analisis sejarah adalah usaha untuk memahami secara mendalam sebuah peristiwa sejarah dengan menghidupkan kembali peristiwa tersebut berdasarkan data-data sumber otentik yang telah teruji sebelumnya.

Historiografi

Historiografi merupakan segala upaya untuk menuliskan hasil analisis sejarah berdasarkan pemahaman data-data sumber sejarah menjadi sebuah kisah yang runtut.

Demikianlah metode kritik sejarah versi sejarawan.

Lantas, muncul pertanyaan, jika memang hadis merupakan sumber sejarah yang kongkrit, mengapa para ahli hadis tidak menggunakan kritik sejarah dalam mengkaji dan meneliti hadis-hadis tersebut?

Jawabannya adalah karena hadis bukanlah sekedar sumber sejarah semata. Karena hadis bukanlah sekedar naskah kuno, prasasti yang hanya dikumpulkan sebagai bukti keberadaan Nabi Muhammad Saw. Hadis lebih dari itu semua. Dalam hadis terkandung syariat hukum yang sangat berperan sebagai bayan atau penjelasan dari ayat Al-Qur’an. Jika para ahli hadis tidak meneliti matan hadis dalam kritiknya, ada kemungkinan perubahan, kontradiksi, dan kekacauan dalam syariat yang ada di dalamnya. Di sini lah kritik hadis mengambil peran melebihi kritik sejarah.