Berbicara tentang hadis maka nama Imam al-Bukhari akan hadir secara otomatis karena saking akrabnya nama beliau dalam kajian hadis. Bagaimana tidak, kitab hadis Sahih al-Bukhari yang beliau susun merupakan kitab paling otentik yang memuat sabda-sabda Rasulullah.

Kepakaran penulis, metodologi yang kuat, kehati-hatian serta niat ikhlas penulis merupakan faktor utama kitab ini mencapai titik paling tinggi dalam kajian hadis sebagaimana diungkapkan K.H Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Imam Bukhari & metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, meski tidak luput dari kritikan dari zaman klasik sampai hari ini.

Imam al-Bukhari lahir pada tahun 194 H di Bukhara dengan nama Muhammad bin Ismail. Ayah beliau Ismail memiliki kecendrungan terhadap hadis-hadis Nabawi, sehingga ketika menunaikan ibadah haji beliau menyempatkan diri menemui pakar-pakar hadis seperti Imam Malik, Abdullah bin Mubarak, Abu Muawiyah bin Shalih dan lainya.

Semangat inilah yang kemudian ditularkan kepada Muhammad. Namun tidak lama berselang Ismail wafat meninggalkan Muhammad yang masih kanak-kanak.

Muhammad bin Ismail tinggal bersama sang bunda dengan warisan semangat belajar dan satu perpustakaan yang terbilang cukup untuk bekal awal dia memulai petualangan keilmuannya. Muhammad kecil sudah memperlihatkan kepintarannya sejak berusia 10 tahun sehingga pada umur tersebut dia mulai menghafalkan hadis.

Di Usia 11 tahun dia mulai berkelana mendatangi ulama-ulama disekitar kota kelahirannya. Ia berhasil memikat perhatian guru-gurunya dengan kecerdasan dan kekuatan hafalan, bahkan dia telah menghafalkan kitab hadis karya Abdullah bin Mubarak dan Waki’ dua ulama hadis kenamaan kala itu.

Pada tahun 216 H beliau menunaikan haji sekaligus belajar hadis dari ulama-ulama tanah suci. Kemudian melanjutkan pengembaraannya ke pusat keilmuan seperti Bashrah, Syam, Baghdad, Mesir, dan lainnya.

Selama menjalani masa pengembaran ilmiah ini Muhammad melahirkan berbagai karya tulis diantaranya Tarikh al-Shaghir, Tarikh al-Ausat, ad-Dhuafa’, al-Kuna, al-Jami’ as-Shahih, adab al-Mufrad dan lainnya.

Anak yatim bernama Muhammad ini pada gilirannya menjelma menjadi salah satu ulama paling populer dengan capainya dalam bidang hadis melalui karya monumentalnya Sahih al-bukhari. Nama al-Bukhari pun menjadi sebutan akrabnya sampai hari ini. al-Bukhari wafat pada tahun 256 H dalam usia 62 tahun.

Sahih al-Bukhari

Agaknya tidak ada seorang muslim pun yang tidak kenal dengan kitab Sahih al-Bukhari karena begitu populer dan pentingnya kitab ini dalam Islam.

K.H Ali Mustafa Yaqub menjelaskan setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi Imam al-Bukhari menulis Sahih al-Bukari

Yang pertama,

Imam al-Bukari melihat belum ada kitab khusus yang menghimpun hadis-hadis sahih. Penulisan hadis sejatinya telah dimulai sejak zaman tabiin seperti yang dilakukan al-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H), Said bin Abu Arubah (156 H).

Akan tetapi mereka hanya menulis hadis dalam bab-bab tertentu, kemudian dilanjutkan oleh Imam Malik, al-Auzai’ yang memuat hadis-hadis hukum yang lebih lengkap namun masih tercampur dengan fatwa-fatwa sahabat.

Pada abad ke II usaha penulisan hadis murni tanpa tercampur fatwa sahabat dan tabiin telah mulai digeluti oleh beberapa pakar hadis dalam bentuk musnad (sesuai nama sahabat) seperti Ubaidullah al-Khufi, Nu’aim al-Khuzai dan kemudian dilajutkan oleh Imam Ahmad Ishaq bin Rahawaih namun mereka masih mencampurkan antara hadis-hadis sahih, hasan dan dhaif.

Berangkat dari kenyataan inilah akhirnya Imam al-Bukhari berinisiatif untuk menulis kitab khusus yang memuat hadis-hadis sahih saja.

Keinginan ini ternyata mendapat sokongan dari gurunya Ishaq bin Rahawaih yang menyarankan beliau untuk menulis kitab ringakas berisi hadis-hadis sahih saja. Sehingga al-Bukhari merasa yakin untuk melanjutkan keinginannya tersebut sehingga lahirlah kitab al-Jami’ al-Sahih.

Yang kedua,

Motivasi moral dari dalam diri al-Bukhari. Suatu kali beliau bermimpi bertemu Rasulullah tengah berdiri mengipasi Rasulullah.

Beliau kemudian menanyakan tafsiran mimpi tersebut kepada ahli ta’bir mimpi.

Kesimpulannya Imam al-Bukhari akan menjadi salah satu orang yang akan membersihkan kebohongan-kebohongan yang dinisbahkan kepada Rasulullah.

Hal inilah yang kemudian mendorong beliau menulis kitab al-Jami’ al-Sahih.

Secara keseluruhan kitab sahih al-Bukhari memuat 7275 hadis dengan pengulangan dan 4000 hadis tanpa pengulangan mengutip pendapat Imam Ibnu Shalah dan an-Nawawi.

Hadis-hadis tersebut merupakan hasil seleksi dari 600.000 hadis koleksi al-Bukhari selama pengembaraan ilmiahnya dari 90.000 orang guru. Al-Bukhari sendiri menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menulis kitab tersebut dengan muatan 100 kitab (bab) dan 3450 sub bab.

Kriteria Hadis Sahih ala al-Bukhari

Secara umum kritik hadis adalah upaya menyeleksi hadis-hadis sahih, hasan dan dhaif dan meneliti para perawinya apakah dia kredible (adil) dan memiliki otoritas (dhabit) dalam meriwayatkan hadis.

Dalam menentukan kesahihan suatu hadis, ulama hadis menetapkan lima persyaratan yaitu diriwayatkan melalui sanad yang bersambung kepada Rasulullah oleh rawi-rawi yang kredible dan kuat hafalan, tidak ada illah (cacat) dan tidak syadz (kejanggalan).

Sebenarnya tidak banyak perbedaan al-Bukhari dengan syarat yang dikemukakan mayoritas ulama hadis di atas, meskti ketika al-Bukari menulis kitabnya secara tertulis syarat tersebut belum dirumuskan dalam sebuah ilmu yang dikenal hari ini dengan ilmu hadis.

Persyaratan khusus yang ditawarkan al-Bukhari terletak pada standar ketersambungan sanad.

Pada umumnya ulama hadis mencukupkan ketersambungan sanad ditetapkan dengan kemungkinan adanya pertemuan antara guru dan murid. Dilihat dari aspek sejarah, cara penyampain hadis, data guru dan murid dan lokasi tempat tinggal dan perjalanan ilmiah keduanya.

Akan tetapi al-Bukhari tidak puas dengan persyaratan ini. Beliau baru menilai sebuah sanad bersambung apabila guru dan murid memang sudah benar-benar pernah bertemu langsung walaupun hanya satu kali.

Kehati-hatian dan persyaratan ketat inilah yang kiranya membuat kitabnya mendapat apresiasi tinggi dan menempati urutan pertama kitab hadis paling otentik.

Kritikan terhadap Sahih al-Bukhari dari zaman klasik sampai Modern

Pada bagian ini K.H Ali Mustafa Yaqub menjelaskan kritik-kritik yang dilancarkan kepada beberapa hadis sahih al-Bukhari beserta sanggahannya. Kritik hadis menyasar dua aspek yaitu sanad dan matan hadis. kritik sanad dilakukan untuk mengetahui ketersambungan sanad, kredibelitas dan otoritas perawi. Sedangkan kritik matan digunakan untuk melacak apakah hadis memiliki cacat atau syadz.

Hadis-hadis yang terdapat dalam sahih al-Bukhari sejatinya telah diakui keotentikannya oleh mayoritas ulama hadis sejak kitab tersebut ditulis. Namun tersebut beberapa nama yang pernah melancarkan kritikan terhadap hadis-hadis al-Bukhari seperti al-Daruqutni (w. 385 H) dan Abu Ali al-Ghassani (w. 365 H) dari ulama klasik dan Ignaz Goldziher, Maurice Bucaile dari kalangan orientalis serta Ahmad Amin pemikir Islam kontemporer.

Kritik Pada Zaman Klasik

Kritikan ulama zaman klasik cenderung lebih fokus menyasar sanad hadis seputar ketersambungan sanad dan pribadi perawi hadis. al-Daruqutni saking perhatiannya terhadap Imam al-Bukhari dan Muslim menulis kitab al-Istidrakat wa al-Tatabbu’ yang berisi 200 hadis yang menurutnya tidak layak dimuat di dalam kitab sahih keduanya.

Al-Daruqutni mengkritik beberapa hadis yang diriwayatkan secara mursal dalam sahih al-Bukhari. Al-Daruqutni juga mengkritik beberapa nama perawi yang dinilai periwayatannya tidak bisa diterima, seperti Usamah bin Hafish al-Madani dan Ahmad bin Yazid bin Ibrahim al-Harrani.

Kritikan ini dibantah oleh Imam an-Nawawi. Imam an-Nawawi  menilai kritikan al-Daruqutni ini muncul karena berangkat dari standar yang hanya ditetapkan oleh sebagian ulama hadis. Yang mana standar tersebut dianggap lemah oleh mayoritas ulama hadis.

Disamping itu, sejumlah hadis mursal yang dimuat dalam sahih al-Bukhari hanya merupakan hadis-hadis mutabi’ dan pencantumannya dalam sahih al-Bukhari bukan sebagai hadis pokok. Sedangkan tuduhan beberapa nama perawi dalam sahih al-Bukhari yang dianggap dhaif disanggah oleh Ibnu Hajar.

Beliau menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak bisa diterima kecuali terdapat bukti dengan jelas terkait sifat dan perbuatan perawi yang dapat membuat riwayatnya tertolak. Namun kenyataannya Ibnu Hajar tidak menemukan satu perawi hadis sahih al-Bukhari pun yang memiliki sifat atau perbuatan seperti itu.

Kritik Pada Zaman Modern

Berbeda halnya dengan orientalis, kritikan yang mereka lontarkan cenderung menyasar materi hadis. Mereka menilai beberapa hadis al-Bukhari tidak sahih ditinjau dari aspek social, politik, sains dan lainnya. diantara hadis yang dikritik adalah hadis tidak bolehnya pergi kecuali menuju tiga masjid, masjid al-Haram, Nabawi dan masjid al-Aqsa.

Mereka menganggap hadis ini adalah dipalsukan oleh Abdul Malik bin Marwan khalifah dinasti Umayyaih agar umat Islam tidak melakukan haji ke Mekkah yang akan berpeluang dimanfaatkan oleh kekuatan Abdullah bin az-Zubair di Mekkah.