Majalahnabawi.com Akad jual beli memiliki dua pengertian, secara etimologi dan secara terminologis. Secara etimologis, transaksi jual beli adalah memberikan sesuatu untuk ditukar dengan sesuatu yang lain. Kalau secara terminologis, adalah menukar barang yang bernilai harta dengan harta yang lain sekaligus ada kerelaan dari kedua belah pihak. Di dalam Madzhab As-Syafi’i, jual beli harus ada ijab dan qabul, dengan aturan yang sudah syariat legalkan.

Dalil yang diambil dalam konteks jual beli ini ada tiga, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan ijma’. Allah Swt berfirman:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَ حَرَّمَ الرِّبَا

“… Jadi Allah Swt menghalalkan akad jual beli dan mengharamkam riba…” (al-Baqarah (2):275)

Selanjutnya kalau kita lihat dalil yang kedua, yaitu dari sabda Nabi Muhammad SAW:

اَلْبَيِّعَانِ بِا لْخِيَارِ

(HR. Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad Ibn Hambal, An-Nasa’i dan Al-Tirmidzi). Hadis tersebut menjelaskan bahwa antara pembeli dan penjual boleh dengan sukarela. Sementara ijma‘ hanya menyesuaikan terhadap dua dalil yang sebelumnya.

Rukun-rukun Dalam Jual Beli

Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Al-Muhaddzab mengatakan rukun-rukun jual beli ada tiga. Diantaranya adalah orang yang melakukan akad, yaitu penjual dan pembeli, serah terima (Shigot) yang harus diekspresikan dengan ucapan sekaligus tindakannya (intraktif). Dan yang terakhir adalah adanya barang yang ditransaksikan. Memang pada hakikatnya istilah jual beli ini hanya tertuju pada barang yang memiliki nilai harta, bukan jasa atau semacamnya.

Dari semua rukun tersebut, sama-sama mempunyai syarat yang harus ada dan terpenuhi. Kita mulai dengan subjeknya yaitu orang yang menjual dan yang membeli. Syarat antara mereka berdua harus memiliki kapasitas dan kecakapan bertransaksi. Maka dari itu, karena anak kecil dan orang gila belum dan tidak memiliki kapasitas, maka secara syariat transaksinya tidak sah. Sementara syarat dari Shigot adalah harus berkesinambungan ketika serah terima, tidak boleh ada jeda yang lama. Karena itu bisa merubah pikiran salah satu dari keduannya. Contohnya: “Saya jual, ya saya terima”.

Di dalam kitab Ziyadah Raudlah milik Iman an-Nawawi, ada sebuah  keterangan yang memperbolehkan keberlangsungan akad jual beli tanpa ada pengucapan serah terima. Bahkan, dari pada itu juga sudah dianggap sah berdasarkan kebiasaan kesehariannya. Seperti penjual dan pembeli langsung memberikan barangnya. Alasannya, berdasarkan esensi dari pengucapan ijab dan qobul, yaitu untuk mengetahui kerelaan dan kesungguhan dalam bertransaksi. Jadi kalau di suatu masyarakat kebiasaannya tidak perlu mengatakan “saya jual dan saya terima”, maka sudah sah dengan langsung serah terima.

Model Dalam Bertransaksi

Transaksi jual beli memiliki beberapa model, yang di dalamnya terdapat sistem transaksi, mekanismenya, dan jenis komoditinya barang. Model yang pertama bertransaksi jual beli dengan barang yang disaksikan langsung oleh kedua belah pihak. Model yang kedua adalah jual beli dengam sistem tanggungan dan menspesifikasi kriteria dan ukuran barangnya.

Lanjut ke model yang ketiga, yaitu menjual barang yang tidak ada di tempat berlangsungnya akad, sehingga salah satu dari keduanya atau bahkan kedua-duanya tidak melihat barang itu. Qaul adharnya Syafi’iyah tidak memperbolehkan jual beli yang versi tersebut. Dan kalau mengaca kepada apa yang disabdakan Rasulullah SAW:

مَنْ اشْتَرَى مَا لَمْ يَرَهُ فَهُوَ بِالْخِيَارِ إِذَا رَآهُ

Barang siapa yang membeli barang yang tidak dilihatnya, maka ia berhak khiyar (milih) ketika melihatnya. “(HR. Abu Hurairah).

Hadits ini menerangkan kebolehan menjual barang yang majhul ketika ciri-cirinya masih bisa dispesifikasi.  Wallahu A’lamBisshawab.

By Thoha Abil Qasim

Mahasantri Ma'had Aly Situbondo