Majalahnabawi.com – Jikalau Imam al-Syafii dapat lupa ingatan karena melihat betis wanita, maka beliau mengadu kepada Imam Waki’. Dalam cerita lain, Imam Ibnu Malik pun lupa ingatan karena kurang beradab seketika kepada gurunya Imam Ibnu Mu’thi. Dari sini kita belajar, bahwa pentingnya guru ialah ketika kita berada pada jalan yang salah. Maka, guru akan kembali menyetir kita ke jalan yang benar. Mungkin kita lebih alim dari guru kita untuk beberapa aspek ilmu pengetahuan, tapi untuk pengalaman kehidupan mereka adalah orang tua yang harus kita hormati dan taati secara sikap dan pelajaran kehidupannya”.

وَتَقَتَضِيْ رِضًا بِغَيْرِ سُخْطِ # فَائِقَةً أَلْفِيَّةَ ابْنِ مُعْطِيْ

Berawal dari bait kelima membuat ulama besar sekelas Imam Ibnu Malik lupa. Beliau menyatakan “Nadzam Alfiyyah-ku ini lebih unggul ketimbang Alfiyyah Ibnu Mu’thi”. Akhirnya Nadzam yang telah Imam Ibnu Malik rangkai tersebut menjadi hilang dalam ingatannya. Sampai, membuatnya tertidur pulas hingga bermimpi.

Teguran Sang Guru dalam Mimpi

Hingga, tibalah perbincangan antara Ibnu Malik dan Sang Guru.

“Wahai muridku, bangunlah. Bukankah engkau sedang mengarang Kitab?”. Tanya Sang Guru

“Ya Guru, tapi entah mengapa hafakanku tiba-tiba saja hilang dengan semua bait yang telah kusiapkan di dalam otak ku” Jawab Ibnu Malik

“Sampai bagian mana kamu merangkai nadzam tersebut?” Tanya lagi Sang Guru

“Sampai bait kelima Guru” Jawab Sang Murid

“Bolehkah aku lanjutkan bait nadzam-mu?” Meminta Sang Guru

“Ya, silahkan Guru” Mempersilahkan Ibnu Malik

فَائِقَةً مِنْ نَحْوِ أَلْفِ بَيْتِيْ # وَالْحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيْتِيْ

Dalam hal ini, tentu orang yang masih hidup dapat mengalahkan orang yang sudah meninggal. Tapi, itu tidak pasti. Pasalnya, Imam Ibnu Malik justru harus lupa dengan nadzam yang sudah dipersiapkan untuk dikarang. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa al-Adab fauqa al-‘Ilmi “Adab di atas ilmu”.

Tentu kita dapat melihat banyak ulama klasik yang belajar adab sampai puluhan tahun. Belajar ilmu hanya sebagian kecil kehidupannya saja. Itu menunjukkan bahwa الْعِلْمُ لَا يَحْسُنُ إِلَّا بِالْأَدَبِ “ilmu tidak akan indah tanpa adab”.

Akhirnya Imam Ibnu Malik pun tersadar atas perilaku angkuhnya terhadap Sang Guru. Kemudian, Ia pun berziarah kepada Imam Ibnu Mu’thi dan kembali melanjutkan baitnya:

وَهُوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلَا # مُسْتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلَا

Dia (Ibnu Mu’thi) lebih dahulu dan berhak atas keunggulan, dan juga pantas mendapatkan pujian yang sangat baik dariku“.

وَاللّهُ يَقْضِيْ بِهِبَاتٍ وَافِرَةْ # لِيْ وَلَهُ فِيْ دَرَجَاتِ الْآخِرَةْ

Semoga Allah memberikan anugerah yang sempurna bagiku dan beliau dalam derajat yang tinggi di akhirat kelak

Pelajaran Penting

Pelajaran penting dalam kisah ini ialah, sebagai murid atau santri merasa lebih hebat daripada gurunya adalah sebuah kebodohan yang nyata. Pasalnya, pintar tentu bukan diukur dari bagaimana kita berpendapat dan berfikir. Tapi, bagaimana kita bertindak dan bermanfaat kepada manusia.

Guru saya pernah berpesan “Jikalau nanti terjun kemasyarakat, jangan bawa harta karena masih banyak orang yang lebih kaya dibanding kita. Pula, jangan bawa ilmu karena banyak yang lebih pintar dari kita. Tapi bawalah adab dan etika, agar dapat hadir kepada masyarakat dengan sopan dan santun tidak merasa paling hebat dari mereka yang kita ajari”.