Majalahnabawi.com – Selain musthalah hadis, di pesantren juga diajarkan isthilah fuqaha. Jika yang pertama fokus mengkaji istilah-istilah kunci dalam kajian hadis, maka yang kedua fokus mengulas istilah-istilah dalam kajian fikih. Keduanya adalah disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seorang santri. Tujuannya, agar ia dapat memahami diskursus keilmuan dalam dua bidang ini. Menjadi mafhum “game language” dari masing-masing. Tidak kebingungan, ataupun salah interpretasi. Di ranah ini, kita dapat menjumpai kepakaran Kiai Maisur Sindi (1925-1995) dan Kiai Sahal Mahfudh (1937-2014). Dua tokoh pesantren yang produktif menganggit karya-karya berbahasa Arab.

Kiai Maisur adalah salah satu murid Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947). Sejak nyantri di Tebuireng sudah aktif menulis karya. Salah satunya adalah kitab “Tanbih al-Muta’allim”. Kitab yang memuat bait-bait gubahan dari kitab sang guru; “Adab al-Alim wa al-Muta’allim”. Dalam bidang istilah fuqaha, tokoh yang menjadi salah satu pengasuh Pesantren Mahir Arriyadl Ringinangung Kediri ini juga menulis karya yang tak lekang oleh zaman, berjudul “Tadrib al-Nujaba’”. Kitab ini beliau kembangkan dengan menulis syarahnya (penjelasan). Judulnya adalah ‘Umdah al-Fudhala’. Hingga kini, karya ini menjadi kitab wajib di Madrasah al-Asna Ringinagung. Menjadi rujukan aktivis bahtsul masail MMPP MA (Majelis Musyawarah Pondok Pesantren Mahir Arriyadl) dan lainnya.

Karya KH. Sahal dan KH. Maisur

Demikian pula, Kiai Sahal menganggit kitab berjudul “al-Tsamarat al-Hajaniyah”. Kitab setebal 56 halaman ini juga mengulas isthilah fuqaha. Dalam jejak intelektualitasnya, Kiai Maisur dan Kiai Sahal sama-sama pernah nyantri di Pesantren Bendo Pare. Pesantren yang dikenal melahirkan ulama-ulama hikmah. Setiap khatam pengajian Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali (450-505 H), Pesantren Bendo menggelar konser dangdut koplo. Konon, pilihan ini adalah ujian bagi santri-santri yang telah tamat ngaji Ihya’. Sejauh mana ia dapat menimbang syariat, tariqat, dan hakikat.

Terkait bentuk dan isi karya kedua ulama di atas, setidaknya ada dua hal kesamaan. Pertama, baik Kiai Maisur ataupun Kiai Sahal, sama-sama mengulas istilah fuqaha dalam bentuk syair (bait). Pilihan tulisan seperti ini meniscayakan penulisnya menguasai ilmu Arudl. Ilmu yang mempelajari seluk beluk bahar (wazan-wazan syair Arab). Ilmu ini biasanya diajarkan di jenjang akhir. Di Pesantren Ringinagung, ilmu Arudl diajarkan di kelas III Aliyah. Demikian juga, di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ilmu Arudl diajarkan di semester atas. Di bidang ini, Kiai Maisur menulis karya berjudul “al-Ibda’ al-Wafi”.

Kedua, baik Kiai Maisur ataupun Kiai Sahal menuliskan penjelasan bait-bait dalam dua karya tersebut. Yakni dalam bentuk kalam natsar (tanpa terikat wazan bahar). Sebagai misal adalah bahasan tentang silsilah kitab fikih dalam madzhab Syafi’iyah. Genealoginya dilacak mulai dari kitab “al-Umm” karya Imam al-Syafi’i (150-204 H) sampai kitab “Nihayah al-Zain” karya Imam Nawawi al-Bantani (1813-1897). Dilanjutkan dengan ulasan perbedaan istilah-istilah teknis, semisal al-bahts, al-isykal, al-istihsan, al-nadhr, dan lain sebagainya. Di karyanya Kiai Maisur juga ditambahkan ulasan istilah-istilah yang sering digunakan dalam kajian tasawuf. Semisal al-muhadharah, al-mukasyafah, al-musyahadah, al-illah, dan lain sebagainya.

Lantas tertarikah anda?

By Muhammad Hanifuddin

Dosen di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences