jarh wa tadil

http://majalahnabawi.com – Kritik Hadis merupakan suatu disiplin ilmu yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, terutama di kalangan akademisi. Dalam analisis hadis -seperti yang ditekankan oleh ahli hadis- peran kritis terhadap sanad dan matan hadis jelas tidak dapat diabaikan. Lebih lanjut, kritik terhadap hadis memiliki peran yang signifikan dalam menilai otentisitas suatu hadis. Terdapat dua aspek yang sangat krusial dalam studi hadis, yaitu validitas (keotentikan) dan hujah (bukti keabsahan) hadis.

Pengujian keotentisitasan suatu hadis itu beragam caranya, di antaranya yaitu pengujian/ kritik hadis melalui pendekatan sejarah. Segala aspek kesejarahan baik itu dari ucapan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi saw itu tertuang dalam hadis. Antara hadis dan sejarah, ada sebuah ikatan yang saling mengikat karena keduanya berbicara tentang data-data dari masa lampau. Lantas bagaimana cara menilai hadis sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, atau sebagai rekaman sejarah?

Kritik Hadis dalam Perspektif Ahli Hadis

Pengujian otentisitas melalui pendekatan hadis berkonsentrasi pada dua jenis tradisi kritik hadis. Kritik sanad dan kritik matan. Setidaknya ada lima turunan kriteria, yaitu ketersambungan sanad, para perawi yang ‘âdil dan dâbit (tsiqoh), tidak terdapat ‘illat dan syadz dalam matan.

Kritik terhadap sanad mensyaratkan para perawinya dabit dan adil. Sanad dalam hadis merupakan lokus krusial kritik hadis. Sebab sanad menjadi salah satu kriteria penentuan hukum hadis diterima atau ditolak. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu al-Mubarak (w. 181 H) bahwa “Sanad hadis merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, maka siapa saja bebas berkata apapun dengan apa yang dikehendakinya”.

Sebuah metode sederhana untuk menguji keotentisitasan suatu hadis oleh ahli hadis dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, perhatian utama diberikan pada sanad hadis; kedua, setelah menganalisis nilai sahih dari sanad, hadis dapat diterima. Namun jika sanad tidak sahih, hadis tersebut tidak dapat diterima; ketiga, proses pengujian tidak berhenti pada sanad, melainkan melanjutkan ke lokus matan hadis, di mana jika matan terbukti sahih, hadis dapat diterima, sementara jika terdapat masalah, langkah keempat diperlukan. Keempat, jika ditemukan masalah pada matan hadis, langkah selanjutnya melibatkan proses takwil terhadap matan tersebut. Dalam probabilitas proses takwil ini, hadis masih dapat diterima. Namun jika matan hadis menunjukkan ketidakmungkinan untuk dilakukan proses takwil, maka hadis tersebut dihapus.

Kritik Hadis dalam Perspektif Ahli Sejarah

Sidi Gazalba dalam Pengantar Sejarah sebagai Ilmu menyebutkan bahwa ada empat tahapan proses yang harus dilalui oleh sejarawan untuk membentuk sebuah sejarah. Tahap pertama melibatkan penggunaan heuristik, yang mencakup pencarian sumber-sumber sejarah di berbagai lokasi seperti museum, perpustakaan, arsip, dan sebagainya. Tahap kedua adalah menguji validitas sumber-sumber tersebut melalui kritik eksternal dan internal untuk menghasilkan fakta yang dapat dipercaya. Setelah mendapatkan fakta, tahap ketiga adalah merangkai mereka menjadi suatu keseluruhan yang masuk akal, yang melibatkan proses interpretasi. Terakhir, tahap keempat melibatkan historiografi, yaitu penulisan sejarah yang merangkai fakta-fakta tersebut menjadi sebuah narasi sejarah yang koheren.

Pada tahap kedua, kritik internal yaitu dengan menganalisis susunan kata (gramatikal) dan makna tekstual serta maksud penulisan. Sedangkan kritik eksternal yaitu dengan menganalisis untuk menetapkan keabsahan bukti-bukti yang telah terkodifikasi. Kritik internal ini terbagi menjadi dua bagian. Ada kritik internal positif dalam artian analisis dasar sejarah dengan tujuan menjelaskan dan mengetahui maknanya. Ada pula kritik internal negatif dalam artian untuk mengetahui penelitian yang sesungguhnya dan menjauhi kebohongan sebisa mungkin.

Saat melakukan kritik internal positif ahli sejarah harus memerhatikan empat poin. Pertama, perubahan bahasa dari masa ke masa menuntut pemahaman arti bahasa dan kosa kata yang digunakan oleh pengarang. Kedua, perbedaan makna kosa kata dari berbagai perspektif, termasuk pemahaman terhadap dialek suatu daerah, menjadi hal yang esensial. Ketiga, ketika menghadapi susunan kitab dengan berbagai sumber pengarang, penting untuk dapat menyelaraskan uslub atau gaya bahasa, serta bahasa penulis, guna menciptakan keselarasan dalam interpretasi. Terakhir, dalam konteks sejarah, diperlukan keterampilan untuk menafsirkan kalimat-kalimat yang masih bersifat umum agar dapat memahami konteks historis yang terkandung di dalamnya.

Kritik internal ini memunculkan dua sisi kontras untuk dasar pembentukan sejarah; sisi penetapan shaduq dan ‘adalah nya penulis dan sisi penetapan shaduq dari pengetahuan yang dijadikan sumber.

Perbedaan Kritik Hadis dan Kritik Sejarah

Dalam kitab juhud al-muhadditsin fi naqdi matni al-hadits karya Muhamad Tahir Al-Jawabi disebutkan beberapa perbedaan antara kritik hadis dan kritik sejarah. Pertama, hadis yang bersumber dari Nabi, apabila terbukti, dianggap dapat diterima, sementara teks sejarah belum tentu demikian. Kedua, subjek yang menguraikan berita dalam hadis adalah periwayat (râwî), sedangkan dalam sejarah, subjeknya adalah pengarang. Keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Ketiga, metode sejarah memiliki beberapa tahapan yang tidak ditemukan dalam hadis, seperti menentukan kepribadian pengarang, membatasi periode kodifikasi, dan menetapkan tempatnya. Keempat, metode sejarah juga mempertimbangkan tujuan pengarang, keadilan, dan kejujurannya, sementara pengarang dalam hadis, yaitu Nabi Muhammad, memiliki tujuan untuk menyebarkan risalah Tuhan, dan pertimbangan terkait keadilan dan kejujuran diarahkan pada periwayat hadis. Terakhir, ahli sejarah menyusun sejarah dan merinci ceritanya sehingga menjadi narasi yang logis, sedangkan hadis hanya ditransmisikan oleh Nabi tanpa disertai penyusunan naratif.

Pada dasarnya ahli hadis sudah menerapkan metode yang digunakan oleh ahli sejarah. Maka dari itu, apabila melihat sisi uji keotentisitasannya, maka sangat gamblang dalam kritiknya ahli hadis lebih unggul dari pada ahli sejarah, hanya saja tetap dengan syarat hadisnya merupakan hadis yang shahih.