LDR Pasutri, Bolehkah?
Majalahnabawi.com – LDR –Long Distance Relationship- atau biasa anak gaul menyebutnya sekarang sebagai hubungan jarak jauh, merupakan hubungan sepasang kekasih yang terpisah oleh jarak namun hati mereka senantiasa dekat. Namun pada nyatanya, hubungan semacam ini sudah diwanti-wanti oleh Nabi Muhammad sejak dulu.
Nabi sendiri tidak menganjurkan hubungan semacam ini, terlebih bagi pasangan suami istri. Karena adanya potensi curiga, saling mengkhianati, dan rasa tak tenang ketika tidak mendengar kabar sang kekasih. Hal ini bisa menimbulkan renggangnya ikatan kasih sayang antar kekasih. Yang lebih berbahaya, bisa menimbulkan perpisahan untuk pasutri.
Makna LDR Yang Tersirat Dalam Hadis
Ada sebuah hadis yang menceritakan kisah Fathimah binti Qais radiyallahu anha mendapat lamaran dari Abu Jahm:
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ، وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ، فَسَخِطَتْهُ، فَقَالَ: وَاللهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ: «لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ»، فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: «تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي، اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي»، قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ: «انْكِحِي أُسَامَةَ»، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
Artinya: Dari Fatimah binti Qais -raḍiyallāhu ‘anhā-, bahwa Abu Amru bin Ḥafṣ menjatuhkan talak tiga kepadanya, sedang dia bepergian. (Dalam satu riwayat, “menceraikannya tiga kali.”) Lantas Abu Amru bin Ḥafṣ mengirimkan wakilnya kepada istrinya dengan membawa gandum, tetapi dia tidak menyukainya. Abu ‘Amru bin Ḥafṣ berkata, “Demi Allah, kami tidak memiliki suatu kewajiban pun kepadamu.”
Lantas istrinya datang kepada Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- lalu menceritakan peristiwa itu kepada beliau. Beliau bersabda, “Dia tidak memiliki kewajiban nafkah kepadamu.” (Dalam satu lafal, “Tidak juga tempat tinggal.”) Beliau menyuruh wanita itu untuk melakukan idah di rumah Ummu Syarik, lalu beliau bersabda, “Itulah wanita yang dikelilingi oleh para sahabatku; lakukanlah iddah di sisi Ibnu Ummi Maktum, sesungguhnya dia lelaki buta. Engkau bisa melepaskan pakaianmu. Jika masa iddah-mu sudah selesai, beritahukanlah kepadaku!”
Wanita itu berkata, “Saat aku sudah selesai idah, aku berkata kepada beliau bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm telah meminangku.” Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak bisa meletakkan tongkatnya dari pundaknya.” Sedangkan Mu’awiyah adalah orang miskin yang tidak memiliki harta. Nikahilah Usāmah bin Zaid!”, namun hanya saja diriku tidak menyukainya. Lantas beliau bersabda lagi, “Nikahilah Usāmah bin Zaid!” Aku pun menikahinya. Lalu Allah menjadikan kebaikan padanya dan aku pun bahagia dengannya.” (HR. Muslim no.1480)
Komentar Ulama
Dalam hadits ini nabi Muhammad SAW tidak menyarankan Abu Jahm kepada Fathimah binti Qais, karena Abul Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Imam Nawawi menafsirkan kata-kata tersebut dan mengemukakan bahwa terdapat dua makna dari kalimat “ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Mengutip dari Syarah Shahih Muslim, juz 10/74 beliau berkomentar:
قوله صلى الله عليه وسلم : أما أبو الجهم فلا يضع العصا عن عاتقه ، فيه تأويلان مشهوران أحدهما أنه كثير الأسفار ، والثاني أنه كثير الضرب للنساء
Artinya: “Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya) ada dua tafsiran yang masyhur dari para ulama. Pertama, maknanya ia sering bepergian. Kedua, maknanya ia sering memukul wanita”
Dalam hadits tersebut nabi Muhammad SAW tidak menyarankan kepada Fatimah binti Qais untuk menikahi seorang lelaki yang sering meninggalkannya karena untuk bepergian. Demikian juga Allah ta’ala berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
Artinya: “Halal bagi kalian untuk melakukan hubungan intim dengan istri kalian di malam bulan Ramadhan. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian adalah pakaian bagi istri kalian” (Q.S. al-Baqarah: 187).
Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- dalam karyanya Tafsir Ibn Katsir berkomentar:
وحاصله أن الرجل والمرأة كل منهما يخالط الآخر ويماسه ويضاجعه
Artinya: “Kesimpulannya, suami dan istri hendaknya mereka berdua bercampur dengan lainnya, saling bersentuhan dan tidur seranjang”
Kesimpulan
Penjelasan Imam Ibnu Katsir menunjukkan bahwa hubungan semacam itu tidak akan terjadi dan terealisasikan bila antara suami dan istri terpisah oleh jarak jauh. Bagaimana mungkin, sedangkan dalam hubungan LDR, sang pasutri bahkan tidak dapat bersentuhan sama sekali. Oleh karena itu, sebaiknya bagi suami dan istri harus saling berdekatan agar senantiasa mengetahui kondisinya masing-masing. Selain itu, keduanya juga bisa memenuhi hak dan kewajibannya sesuai dengan porsinya sehingga tidak akan ada rasa curiga satu sama lain.
Namun kembali lagi, bila memang keduanya memiliki keyakinan dan keteguhan hati serta kebutuhan dan hanya hubungan LDR solusinya, maka hal itu boleh-boleh saja. Seperti contoh sang suami harus tinggal di luar kota untuk memenuhi nafkah keluarganya atau harus berlayar di lautan berbulan-bulan karena memang tuntutan pekerjaannya.