perbedaan

Majalahnabawi.com – Masalah kerap kali membuat suasana hati seseorang tidak menentu. Ada yang merespon dengan marah-marah, bersikap bodo amat, atau berusaha memaafkan. Sampai saat ini, memaafkan merupakan barang langka yang sulit kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, menurut Andrew Matthews seorang penulis buku Being Happy yang perlu diperhatikan adalah satu-satunya orang yang dirugikan saat kita tidak bisa memaafkan orang yang menyakiti kita adalah diri kita sendiri.

Dengan tidak memaafkan kita akan menyita banyak waktu, tenaga hingga pikiran untuk apa yang kita anggap masalah. Bahkan, sebagian besar permasalahan datang ditimbulkan dari ketidak mampuan kita untuk memaafkan.  Seorang dokter di Amerika, Gerald Jampolsky sampai mendirikan sebuah pusat penyembuhan terkemuka dengan menggunakan satu metode tunggal, yaitu rela memaafkan.

Forgiveness atau memaafkan menurut McCullough berarti Avoidance Motivation; meredam kebencian terhadap pihak yang menyakiti, Revenge Motivation; penurunan motivasi untuk membalas dendam, serta Benevolence Motivation; meningkatkan dorongan untuk memperbaiki hubungan dengan pihak yang menyakiti.

Dalam banyak penelitian, memaafkan mempunyai hubungan positif dengan kebahagiaan. Ini artinya, semakin seseorang bisa memaafkan semakin ia merasa bahagia.  Seseorang yang mudah memaafkan bisa merasa lebih lega, menurunkan perasaan emosi negatif, hingga menurunkan tekanan darah, detak jantung, dan tubuh yang rentan terhadap stress.

Perlu rasanya, setelah mengetahui pentingnya memaafkan kita diyakinkan dengan mengetahui role model terbaik; Nabi Saw. yang dikenal sebagai pemaaf. Bagaimana tidak, cacian, tuduhan hingga tindakan seperti meludahi terlontar kepada Nabi Saw. Namun, Nabi Saw. bisa memaafkan dan menjadi uswah yang  baik untuk kita umatnya.

Perintah memaafkan dianjurkan oleh Allah Swt., dalam Al-Quran

خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (QS al-A’raf [7]: 199)

Pernah pada satu ketika, seorang lelaki asal Yamamah bernama Tsumamah bin Itsal pergi ke Madinah untuk membunuh Nabi Saw. Semua persenjataan sudah disiapkan dengan matang. Melihat gelagat yang mencurigakan, Umar bin Khaththab menghadangnya. Dengan perasaan benci dan tidak gentar, saat ditanya maksud kedatangannya, Tsumamah memberitahukan maksudnya, yaitu untuk membunuh Nabi Saw.

Seketika, Umar yang dikenal sebagai pegulat tangguhpun meringkusnya dan melaporkan kepada Nabi Saw. Lalu Nabi Saw. menghampiri dengan tenang dan memandang wajah lelaki yang bermaksud mengancam nyawanya itu. Tidak terlihat kebencian atau bahkan  keinginan untuk memerintahkan para sahabat agar mengeksekusinya. Bahkan, Nabi Saw. justru menanyakan apakah lelaki itu sudah diberikan makan oleh sahabat. Pertanyaan  yang janggal yang keluar walaupun posisi nyawa telah terancam.

Para sahabatpun terheran-heran. Nabi Saw. justru memerintahkan pada para sahabat untuk membuka tali ikatnya dan memberikannya segelas susu. Lalu Nabi Saw. memintanya untuk mengucapkan la ilaha illa Allah. Dengan ketus Tsumamah menjawab “Saya tidak sudi mengucapkannya”. Beberapa kali permintaan itu dilontatkan dan berhujung penolakan.

Tidak berhenti sampai situ, Nabi Saw. membuat para sahabat geleng-geleng terheran dan tidak habis pikir dengan meminta Tsumamah dilepas bebaskan. Namun tidak disangka, saat Tsumamah baru beberapa langkah meninggalkan Madinah, ia bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah. Semua kaget. Nabi Saw tersenyum dan bertanya “Mengapa kamu baru mengucapkannya?”. “Apabila saya mengucapkannya saat posisi belum dibebaskan, khawatir dianggap masuk islam karena takut. Saya mengucapkan setelah bebas menunjukan semata-mata masuk Islam karena Allah Swt” jelasnya.

Dari sini, terlihat memaafkan selalu berbuah manis. Baik terhindar dari akibat negatif tidak memaafkan, meningkatnya kebahagiaan atau berbuah manis saat dijadikan pendekatan komunikasi.