ilmu

Majalahnabawi.com – Zaman datang silih berganti, budaya baru bermunculan. Gaya baru bertebaran. Keleluasaan semakin terdepan. Kata-kata disampaikan tak mengenal penyaringan. Asal terdengar indah harga diri aman terkendalikan. Mungkin kata-kata ini bisa menggambarkan luapan emosi pribadi penulis menampik bertebarannya orang-orang yang berkedok dan berhias dengan perkataan ulama hanya untuk membela kesyubhatan yang ada pada dirinya. Sekedar menghadiri acara maulid, sekedar mengikuti tahlil dan tujuh bulanan, kemudian menyimpulkan bahwa dirinya yang paling berakhlak, padahal itu hanya sekedar asumsi belaka. Namun di sisi lain banyak juga penceramah yang menyampaikan “Akhlaq lebih baik ketimbang ilmu” atau “orang yang bodoh namun berakhlak itu lebih baik, ketimbang orang yang berilmu tapi tidak berakhlak”. Lantas bagaimana sikap kita dalam tanda kutip “santri” menanggapinya? Menarik untuk dibahas dan mari bersama kita simak.

Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya Fathur Rabbbani menuturkan bahwa ; “Setiap hakikat yang tidak disertai syariat adalah kufur. Terbanglah menuju Tuhan dengan Al-Quran dan Sunnah. Masuklah kepadanya sementara tanganmu berpegang pada tangan Rasulullah SAW., (apa-apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah)”.

Beliau juga menambahkan; “Meninggalkan ibadah yang wajib adalah sebuah bentuk ke-zindiq-an. Mengerjakan segala yang dilarang adalah kemaksiatan. Maka yang wajib haruslah tetap dilaksanakan”.

Dalam kitab Tafsir al-Wasith, dalam menafsirkan ayat;

وَلَقَدْ أٰتَيْنَا دَاودَ وَسُلَيْمَانَ عِلْمًا ۖ وَقَالَا الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ فَضَّلَنَا عَلَىٰ كَثِيْرٍ مِّنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

Ulama-ulama al-Azhar mengungkapkan kenapa Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman begitu bersyukur kepada Allah karena telah dikaruniakan ilmu. Karena ilmu itulah sebab dari segala nikmat yang didapatkan oleh mereka berdua. Di mana mereka menjadi perdana menteri dan raja adalah karena karunia ilmu tersebut. Maka ilmu adalah suatu keumpulan atau hakikatnya karunia nikmat dari berbagai macam nikmat yang ada pada manusia.

Adapun Ibnu ‘Athoillah as-Sakandari dalam kitabnya Tajul ‘Arus al-Hawi li Tadzhib an-Nufus mengungkapkan bahwa sejatinya akhlak kepada Allah berupa timbulnya rasa takut kepada Allah adalah karena sebab Ilmu yang ada pada diri manusia dan memberi manfaat kepada manusia itu sendiri.

Sementara Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin memberi kriteria sehingga manusia dapat dikatakan berkakhlak yang baik, dengan 4 kriteria yakni: kekuatan hikmah (ilmu), kekuatan marah (emosi) yang terkontrol, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan).

Rasulullah bersabda dalam suatu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا

Riwayat dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rasulullah, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda kiamat adalah diangkatnya ilmu dan merebaknya kebodohan dan diminumnya khamer serta praktik perzinaan secara terang-terangan“.

Allah juga berfirman dalam Al-Quran surah az-Zumar ayat 9:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

Adakah sama orang-orang yang mengetahui  (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?

Adapun mengenai akhlak, Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi:

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا

Riwayat dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.”

Pun dalam Al-Quran Allah memerintahkan untuk berakhlak yang baik, seperti dalam sebuah ayat surah al-Isra ayat 23:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوْا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَا أُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Quraish Shihab dalam karya besarnya Tafsir al-Misbah  mengutip perkataan Syaikh Muhammad Thâhir Ibn ‘Asyur. Beliau mengatakan bahwa yang ayat itu mengungkapkan bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk berbakti kepada orang tua dengan penghormatan dan pengagungan kepadanya.

Beliau Quraish Shihab menambahkan: “Pada akhirnya harus dipahami bahwa ihsân (bakti) kepada orangtua yang diperintahkan agama Islam adalah bersikap sopan kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat sehingga mereka merasa senang terhadap kita serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita (sebagai anak)”.

Lantas pertanyaannya, mana lebih utama? Akhlak ataukah ilmu?

Mengutip hal yang disampaikan guru kami, dari kitab Matan az-Zubad karya Ibnu Ruslan ar-Ramli asy-Syafi’i menuturkan;

وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ # أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لَا تُقْبَلُ

Ungkapan syair ini memberi pengertian bahwa seseorang yang melakukan amal perbuatan atau ibadah tanpa ilmu adalah hal yang sia-sia. Amaliahnya tidak diterima dan tertolak.

Begitupun dalam Kitab Tijan ad-Durari karya Ibrahim al-Baijuri. Di mana kitab ini juga disyarahi oleh Imam Nawawi al-Bantani. Diungkap di dalam kitab tersebut bahwa menuntut ilmu (dalam konteks ilmu aqidah sebagaimana fan kitabnya) adalah Fardhu ‘Ain bagi setiap muslim. Tidak mengenal usia dan tidak mengenal keadaan, seluruh muslim beliau ungkapkan.

Dari berbagai hal yang dipaparkan di atas. Seharusnya kita sudah bisa berkesimpulan bahwa ilmu adalah lebih utama ketimbang akhlak. Guru dari guru kami, Syekh Rohimuddin Nawawi al-Bantani al-Misri mengatakan bahwa “Tetaplah ilmu itu adalah hal yang diutamakan ketimbang akhlak”, di samping merebaknya ungkapan “Yang berakhlak lebih baik ketimbang yang berilmu”.

Tidaklah bisa seseorang berakhlak dengan akhlak yang baik, jika ia tidak memiliki ilmu. Janganlah bodoh. Analoginya seperti ini, engkau memiliki sarung jam tangan yang menghiasi jam tanganmu, di mana jam tanganmu itu adalah jam tangan emas dan penuh berlian. Apakah engkau akan memilih sarung jam yang menghiasinya walaupun memang bagus, ketimbang jam tangannya yang penuh emas dan berlian itu. Nyatanya engkau akan memilih jam tangan itu, karena itu lebih berarti bagimu ketimbang hanya sarungnya saja.

Akhlak itu lahir dari ilmu yang menetap pada diri seseorang. Sebagaimana yang diungkap bahwa menuntut ilmu adalah wajib. Maka bagaimana bisa dikatakan berakhlak sementara ia tidak memiliki akhlak kepada Tuhannya. Loh perintah Tuhannya saja tidak dihiraukan, berarti ia tidak berakhlak dong kepada Tuhannya. Lantas bagaimana bisa kemudian ia dikatakan berakhlak!?.

Namun di sisi lain banyak penceramah yang mengatakan: “Yang berakhlak itu lebih baik ketimbang yang berilmu”. Kalau seperti ini bagaimana dong?

Dalam tanda kutip sejatinya perkataan itu adalah benar. Namun sangat kurang bijak dan juga keliru, jika perkataan seperti ini disampaikan kepada umumnya manusia, dalam majelis yang banyak berisi orang awam dan bahkan belum mengenal kitab dan masih terbata-bata dalam baca Al-Quran. Karena hal ini akan memberikan persepsi kepada mereka bahwa menuntut ilmu itu tidak penting, yang penting adalah akhlak. Kalau seperti ini kan keliru pada akhirnya. Malah yang lebih parah adalah datangnya kiamat, karena merebaknya kebodohan dan hilangnya ilmu.

Dikatakan bahwa Abuya Muhtadi Cidahu mengatakan hal serupa namun konteksnya berbeda. Beliau mengatakan hal demikian dalam sebuah majlis, di mana majlis itu berisi orang-orang yang cukup berilmu dalam agama. Sehingga beliau mengungkapkan itu supaya mereka lebih berhati-hati terhadap ilmu yang mereka miliki. Bukannya dalam acara maulid dan sejenisnya. Lantas penceramah asal menyampaikan “Yang berakhlak lebih baik ketimbang yang berilmu”. Bagaimana bisa, ini adalah tindakan yang kurang tepat dan kurang bijaksana.

Maka kesimpulannya, bersikaplah adil. Tempatkanlah sesuatu pada tempatnya. Apakah akan kau biarkan seekor semut untuk berenang di tengah lautan untuk mencari makan, sedangkan ikan merayap di dedaunan?. Nyatanya kan tidak seperti itu. Semut punya tempatnya sendiri, dan ikan punya tempatnya sendiri. Dengan begitu, maka akan menghadirkan kesesuaian dan menghadirkan banyak manfaat dan keuntungan.

Dan akhirnya penulis sampaikan, penulis juga belum bisa dikatakan sebagai orang yang berilmu. Penulis lebih bisa dikatakan sebagai orang awam ketimbang orang yang berilmu. Namun penulis berkesimpulan bahwa dengan ikhtiar menuntut ilmu itu sendiri sebagaimana penulis terlibat di dalamnya, akan terbuka sifat-sifat kebaikan lagi mulia. Salah satunya adalah akhlak yang baik.

Maka penulis sampaikan hal ini kepada kawan-kawan sekalian. Bahwa tuntutlah ilmu itu dan jadikan orientasinya hanya untuk menghilangkan kebodohan, menjaga ilmu dan memperbaiki akhlak. Sehingga hal demikian insya Allah bisa dikatakan sebagai bentuk ibadah dan yang kita ikhtiarkan saat ini bukanlah hal yang sia-sia.

Ilmu adalah karunia. Tidak akan mendapatkan ilmu beserta karunia dan buah yang dihasilkannya, jika orientasinya keliru. Tidak akan mendapatkan ilmu beserta buahnya, jika gelap hatinya dan hilang cahayanya.

Semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan taufik-Nya, terutama penulis sendiri. Supaya bisa menjadi seorang yang berilmu dan berakhlak.