Hadis merupakan literatur keislaman yang memiliki posisi penting sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran. Sebagaimana konsensus ulama yang menempatkannya menjadi sumber otoritatif dalam perannya sebagai penjelas, penguat, maupun pembuat hukum-hukum baru yang belum termaktub di dalam al-Qur’an.

Berbeda dengan Alquran yang bersifat qath’ī al-wurūd, hadis merupakan wahyu yang sebagian besar bersifat dzonniyyu al-wurūd, yaitu diduga kuat disampaikan oleh nabi. Atas dasar peran hadis yang cukup vital sebagai sumber hukum islam sekaligus mengingat transmisi hadis tidak semuanya mutawātir maka perlu adanya kajian terkait sanad maupun matan hadis yang merupakan bangunan utama dalam rangka mengetahui validitas suatu hadis sekaligus pemahaman yang tepat dan sejalan dengan syara’.

Salah satu ahli hadis Indonesia di abad 20 adalah Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail (w. 1997 M). Akademisi kelahiran Jawa Timur ini menawarkan teori telaah makna hadis secara tekstual dan kontekstual. Kajian semacam ini memang bukanlah hal yang baru dalam diskursus ilmu hadis. Dalam hal ini Syuhudi Ismail berperan dalam merumuskan tolok ukur dan kerangka yang lebih terstuktur terkait cara memahami hadis, yang mana secara substansi -pemahaman tekstual dan kontekstual terhadap hadis- telah dikaji sebelumnya.

Pemikiran beliau tentang penelitian matan hadis tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul ‘Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal’. Buku tersebut semula merupakan pidato Pengukuhan Guru Besar yang disampaikan oleh Syuhudi Ismail di IAIN Alauddin Ujung Pandang pada tahun 1994.

Di awal pembahasan, Syuhudi mengatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan alamiah di antaranya adalah perbedaan dan kekhususan antar manusia yang merupakan akibat dari perbedaan waktu dan tempat.

Hadis sebagai sumber hukum Islam yang muncul dari sosok Rasul akhir zaman yang mana secara otomatis ajarannya berlaku sepanjang masa, sedangkan momen periwayatannya terbatas pada masa dan tempat tertentu. Di samping itu, dinamika kehidupan di berbagai penjuru tempat tidak dapat terelakkan. Melihat keadaan tersebut, maka hadis perlu dipahami baik secara tekstual maupun kontekstual demi menjaga ketepatan dan proporsionalitas makna agar dapat disesuaikan pula dengan konteks kekinian.

Dalam pandangan Syuhudi Ismail, hal lain yang menjadi konsekuensi dari keadaan tersebut adalah mengharuskan adanya klasifikasi pemahaman matan hadis, yaitu universal (tidak terikat) dan temporal/ lokal (terikat).

Terdapat beberapa hal mendasar yang menjadi pertimbangan Syuhudi Ismail dalam metode memahami matan hadis yang dengannya akan dapat diketahui mana hadis yang bersifat tekstual dan mana hadis yang bersifat kontekstual.

Kajian terhadap jenis matan hadis menempati posisi vital dalam kajian hadis karena matan itu merupakan objek utama pembahasan. Matan hadis menurut Syuhudi Ismail terdapat beberapa jenis, yaitu; jawāmi’ al-kalim (ungkapan singkat tapi padat makna), tamsīl (perumpamaan), qiyās (analogi), ramzi (bahasa simbolik), dan dialog. Pemahaman terhadap berbagai bentuk matan tadi berperan penting dalam kajian ini.

Di samping itu untuk memahami hadis secara kontekstual, perhatian terhadap asbab al-wurud hadis adalah aspek penting yang digunakan untuk menangkap pesan dari sebuah teks hadis. Asbab al-wurud adalah aspek sosial budaya atau peristiwa yang melatar belakangi suatu hadis yang disabdakan oleh Rasulullah Saw dan kepada siapa hadis itu ditujukan.

Kemudian, untuk mendapat pemahaman yang proporsional, perlu diketahui pula fungsi dan kapasitas Nabi Saw saat menyampaikan hadis karena posisi atau fungsi yang sedang dijalankan dapat menjadi acuan untuk memahami kandungan petunjuk hadis secara tepat. Seperti diketahui bahwa pada saat yang sama beliau adalah seorang Rasul, kepala pemerintahan, panglima perang, suami, sekaligus manusia biasa.

Selanjutnya, pada beberapa riwayat terkadang ada matan hadis yang tampak saling bertentangan. Dalam hal ini, Syuhudi Ismail menawarkan langkah memahami hadis tersebut dengan cara kontekstualisasi melalui metode kompromi hadis atau al-jam’u. Dengan demikian, hadis-hadis yang tampak bertentangan akan menemukan titik temu.

Demikian konsep metodologis kajian matan yang ditawarkan oleh Syuhudi Ismail terkait pemahaman tekstual dan kontekstual terhadap hadis. Meskipun kajian semacam ini sudah dibahas oleh ulama terdahulu, namun pada titik ini, Syuhudi Ismail telah berkontribusi dalam merangkai konsep yang lebih terstruktur. Menurut Syuhudi Ismail, dari kajian matan tersebut kita juga dapat memahami apakah suatu hadis bersifat universal (terikat) atau temporal/ lokal (tidak terikat). Wallahu a’lam bishowab.