Nyantri Sebagai Latihan Hidup Sederhana
Majalahnabawi.com – Pondok pesantren adalah sebutan yang melekat bagi santri sebagai tempat tinggalnya. Pondok pesantren sebagai tempat pendidikan tentu mengajarkan karakter kepada para santri untuk selalu hidup sederhana, berpenampilan sederhana, makan sederhana, bahkan tidur di tempat yang sangat sederhana.
Seringkali santri tidur tidak menggunakan kasur, bantal yang empuk. Lezatnya makanan bagi santri adalah Ketika merasa sangat lapar. Nyenyaknya santri tidur ketika lelah karena belajar.
Ketika santri mondok di pesantren, mereka sudah sering mengalami kelaparan, makan seadanya saja. Di antara banyaknya kenikmatan dan fasilitas dari kehidupan modern, mungkin makanan adalah ujian terbaik mengenai pengendalian diri.
Salah satu filsuf Stoa bernama Musonius Rufus memiliki prinsip yang umum kita dengar sekarang sebagai “makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan”. Baginya, makanan ada hanya untuk sekedar mempertahankan hidup dan bukan sebagai sumber kenikmatan. Bahkan Nabi mengajarkan kita dalam hadisnya untuk hidup sederhana seperti hadis berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كُنَّا آلَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَمْكُثُ شَهْرًا مَا نَسْتَوْقِدُ بِنَارٍ إِنْ هُوَ إِلَّا التَّمْرُ وَالْمَاءُ
Artinya: Dari Aisyah berkata, “Kami dulu, keluarga Muhammad ﷺ tinggal selama sebulan, kami tidak menyalakan api (memasak) kecuali kurma dan air.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi)
Kesederhanaan Santri Mencontoh Kesederhanaan Nabi ﷺ
Santri tidur di tempat yang sangat sederhana, tanpa kasur, hanya memakai sajadah bahkan sampai tidur di lantai, bahkan hanya memakai lipatan sajadah. Sebagaimana kesederhanaan Nabi Ketika tidur hanya dengan menggunakan tikar dan bantal dari kulit kambing dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim: Umar menceritakan tentang kebersamaannya bersama Rasulullah ﷺ, “Aku pernah berkunjung menemui Rasulullah Saw, waktu itu beliau berada dalam sebuah kamar. Ternyata beliau habis tidur di atas tikar tanpa alas, dengan berbantalkan kulit yang terbuat dari sabut. Dekat kaki beliau terdapat sekantong biji qarazh dan di dekat kepalanya tergantung kulit yang baru disamak. Saya melihat bekas tikar membekas di rusuk Rasulullah ﷺ, tiba-tiba mataku meneteskan air mata, beliau bersabda, “Apa yang membuatmu menangis?” Saya menjawab: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Kisra (Persia) dan Kaisar (Romawi) sedang bermewah-mewah dengan apa yang mereka miliki, sedangkan Anda adalah Rasulullah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Apakah kamu tidak rela, jika mereka memiliki dunia, sedangkan kamu memiliki akhirat?“.
Dengan kesederhanaan tersebut, Rasulullah Saw tidak ingin mengajarkan umat Islam untuk hidup miskin. Namun Rasulullah Saw ingin mengajarkan bahwa bersikap kanaah dan bersyukur atas keadaan apapun dalam hidup sangatlah penting. Rasulullah Saw juga mengajarkan bahwa sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah sementara dan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya.
Ketika santri liburan dari pesantren, ia dapat bersyukur karena sebelumnya Ketika di pesantren tidurnya lesehan. Bersyukur karena ketika di rumah memakai Kasur yang empuk (Alhamdulillah). Ketika di pesantren makan seadanya saja dan bersyukur karena ketika di rumah makan makanan enak. Itulah waktu sangat bersyukurnya santri.
Latihan Hidup Sederhana ala Filsafat Stoa
Jika kamu ingin seseorang tak goyah saat krisis menghantam, maka latihlah ia sebelum krisis itu datang.” -Seneca (Letters).
Seneca menganjurkan kita berlatih sederhana secara rutin, misalnya makan makanan yang sangat sederhana dan murah, bahkan Seneca menyebut dengan roti yang sudah keras, dan memakai baju yang lusuh atau usang, sebenarnya tidak hanya makan seadanya atau memakai baju yang jelek dan lusuh. masih banyak pelatihan-pelatihan lain jika kita mau.
Saat melakukan ini semua, coba renungkan apakah latihan-latihan tadi adalah sebuah bencana besar dalam hidup kita?. Karena ternyata, kita tetap bisa hidup dengan makanan sederhana. Atau ternyata kita masih bisa tidur tanpa segala fasilitas berlebih.
Hasil Buah dari Latihan Hidup Sederhana
Menurut William Irvine di dalam bukunya A Guide to Good Life, ada beberapa manfaat dari “latihan kesusahan”.
Pertama adalah melatih diri kita menjadi lebih tangguh. Bagaikan tentara yang berlatih susah payah di masa damai, sehingga ketika pertempuran yang sebenarnya terjadi, mereka sudah siap menghadapinya.
Manfaat kedua adalah untuk membentuk rasa percaya diri, sehingga kita bisa menanggung musibah dengan tabah dan kuat.
Manfaat ketiga adalah melawan fenomena yang disebut ilmu Psikologi sebagai adaptasi kenikmatan. Para Psikolog menemukan bahwa apapun yang membuat kita senang pada akhirnya akan kehilangan kenikmatannya seiring berjalannya waktu.
Sebuah penelitian terhadap para pemenang Lotere di Amerika Serikat menemukan bahwa 18 bulan sesudah memenangkan lotere, para pemenang tidak lebih bahagia daripada mereka yang tidak menang. Penjelasannya adalah, pada akhirnya kita akan beradaptasi dengan hal-hal baru yang tadinya membuat kita bahagia.
Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh dari kehidupan kita sendiri. Saat membeli gadget baru, pada awalnya kita senang sekali dan kebahagiaan kita mengalami peningkatan. Namun, seiring berjalannya waktu, maka kenikmatan yang kita rasakan perlahan turun, dan kita Kembali ke kebahagiaan di awal. Hal ini karena kita mulai terbiasa dengan kenikmatan baru kita.
Menurut Irvine Latihan kesusahan bisa membantu kita melawan adaptasi kenikmatan tersebut. Dengan rutin mengguncang kebahagiaan di awal diri sendiri, maka kita Kembali menghargai apa yang telah kita miliki. Jika kita terbiasa makan enak, maka saat menghabiskan waktu untuk makan makanan yang tidak enak dan sangat sederhana, kita jadi Kembali mengapresiasi makanan enak yang kita konsumsi selama ini.
Santri melebihi latihan yang dilakukan oleh ajaran filsafat Stoa, karena Stoa hanya mengajarkan tiga sampai lima hari saja untuk latihan melarat, sedangkan santri berbulan-bulan dalam latihan kesederhanaan ini jadi santri adalah orang yang tangguh dan hebat.