Majalahnabawi.com. Setiap manusia adalah sama. Statement ini memiliki makna bahwa semua manusia pasti memiliki sebuah masalah dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena memang kecewa dan bersedih hati merupakan hal wajar yang pasti menimpa setiap manusia. Yang berbeda ialah sikap dalam menghadapi berbagai permasalahan yang sedang terjadi. Ada yang frustasi dengan langsung mencari pelampiasan yang dapat membuatnya kembali tersenyum (meski hanya sesaat). Ada juga yang bersikap dewasa dengan menunjukkan ketenangan dalam menghadapi masalah tersebut.

Permasalahan selanjutnya muncul tatkala manusia modern sedang tertimpa suatu problematika, mereka lantas akan membeberkannya terhadap kawan-kawannya, entah kawan sejenis atau lawan jenis, yang sebatas kenal atau dianggap spesial (dalam zaman sekarang disebut bestie). Tanpa babibu, mereka biasanya langsung mencurahkan segala keresahan yang dihadapinya terhadap siapapun yang bersedia mendengarkan, dengan harapan mereka dapat memberikan sebuah solusi dan pencerahan.  

Media sosial Sebagai Tempat Pelampiasan

Ada pula yang lebih ekstrem, yaitu mereka yang menceritakan urusannya ke media sosial seperti story whats app, instagram, facebook, dll. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa sekarang, bersosialita di media sosial menjadi sebuah alternatif bagi mereka yang sedang merasa gundah guna dapat berkeluh kesah. Mereka dengan gampangnya menceritakan masalah pribadinya lalu mengemis perhatian publik dengan berharap ada yang merespon sekedar basa basi menanyakan keadaannya, sungguh mengerikan. Ini merupakan cuplikan sekilas manusia zaman now yang terlalu over dalam menanggapi sebuah problem.

Untuk menanggapi hal tersebut, ada satu perkataan imam Al-Junaid yang termaktub dalam kitab “Riyadhu Akhlaqis Shalihin”, karangan Syekh Ahmad bin Muhammad Abdillah, halaman 32,  sebagai berikut: 

مَنْ أَصْبَحَ وَهُوَ يَشْكُو ضَيْقَ الْمَعَاشِ فَكَاَنَّمَا يَشْكُو رَبَّهُ وَمَنْ أَصْبَحَ لِأُمُوْرِ الدُّنْيَا حَزِيْنًا فَقَدْ أَصْبَحَ سَاخَطًا عَلىَ اللهِ 

Artinya: “Barang siapa suka mengadukan kesulitannya kepada sesama manusia, maka seolah-olah ia mengadukan terhadap Tuhannya (pada manusia tersebut). Dan barang siapa merasa sedih dengan kondisi duniawinya, maka dia menjadi orang yang membenci Allah.”

Allah Tempat Mengadu

Ungkapan bernada sarkasme diatas menegaskan bahwa seharusnya seorang muslim tidak menjadikan manusia sebagai tempat curhat yang ideal. Karena dengan begitu, ia seolah-olah menjadikannya sebagai tempat memohon dan berlindung yang esensinya hanya dimiliki oleh Tuhan. Tidak hanya itu, dengan mengutarakan keresahan yang sedang dihadapi, sama saja dengan membuka aib yang ada pada diri sendiri. Hal itu  tidak menutup kemungkinan aibnya akan di sebar luaskan dan malah membuat masalah semakin runyam. Sebagaimana hadis nabi:

“Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang tertimpa kesusahan kemudian mengadu kepada manusia maka kesusahannya tidak akan teratasi. Dan barang siapa tertimpa kesusahan kemudian mengadu kepada Allah, maka Allah akan memberi jalan keluar dari kesusahan, cepat atau lambat.” (HR Tirmidzi).

Ibnul Jauzi Rahimahullah turut menjelaskan bahwa mengeluh kepada makhluk adalah suatu hal yang dibenci, sebagaimana dawuhnya:

وقد كان السَّلَفُ يكرهون الشَّكوَى إِلَى الخَلقِ. وَالشَّكوَى وَإِن كان فيها رَاحَةٌ إِلا أَنَّـهَا تَدُلُّ عَلَىٰ ضَـعـفٍ وَذُلٍّ. وَالصَّبرُ عنها دَلِيلٌ عَلَى قُـوَّةٍ وَعِزٍّ.

Para salaf membenci mengeluh kepada makhluk, meski ketika mengeluh tersebut mendatangkan ketenangan. Hal tersebut menunjukkan lemahnya iman dan kerendahan. Bersabar atas musibah menunjukkan kuatnya iman dan kemuliaan seseorang” (Ats-Tsabaat ‘Inda Al-Mamat, hal. 55).

Menunjukkan Kelemahan Bisa Menghilangkan Wibawa

Seyogyanya manusia tidak boleh menunjukkan kelemahan yang ada pada dirinya karena hanya akan menghilangkan wibawa sehingga membuatnya tidak dihormati dimata manusia. Salah satu bentuk rendah diri ialah dengan menceritakan musibah yang sedang dihadapi terhadap orang lain.

Kita dapat mengambil sebuah ibrah dari Nabi Ya’kub tatkala dilanda kesedihan karena putranya Yusuf dikabarkan hilang oleh saudara-saudaranya. Nabi Ya’qub ‘alaihis salaam berkata dan tertulis dalam Al-Qur’an,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku” (QS. Yusuf: 86).

Oleh karena itu, seseorang harus sekuat mungkin untuk tidak mengaduh dan berkeluh kesah kepada selain Allah sebagai Dzat yang mengetahui apa yang manusia tidak ketahui. Karena secara logika, ketika memang tujuan dari bercerita yaitu agar cobaan yang sedang menimpa tercairkan, sementara lawan bicaranya tak lain merupakan makhluk yang juga penuh kekurangan.

Lantas apakah memang secara mutlak curhat terhadap sesama makhluk dilarang oleh agama? Jawabannya tentu tidak, karena memang psikis manusia rata-rata membutuhkan yang namanya sandaran yang memberikan sebuah solusi. Namun, ia harus selektif dalam memilih orang yang memang bisa diandalkan dan juga mampu menjaga rahasia tersebut. Ia dapat bermusyawarah dengan orang-orang yang dianggap memiliki kredibilitas dan kemampuan dalam mencarikan sebuah solusi. Dan yang paling urgen ialah tidak sampai menabrak batas-batas yang telah ditetapkan oleh syari’at.