Majalahnabawi.com – Hari ini, Pandemi Covid-19 belumlah usai dengan sejuta kegundahan. Pandemi ini tidak hanya berdampak pada aktivitas manusia saja, namun hal-hal lainnya, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sektor vital lainnya. Tiada satupun orang yang bisa menghindar dari dampak pandemi, remaja maupun orang tua; negara satu dan lainnya. Segala mobilitas manusia terpaksa terhambat dan dilakukan secara dalam jaringan (daring) ataupun tatap muka bersyarat.

Semua kegiatan remaja banyak terlaksana di rumah selama pandemi tentu berdampak besar bagi kebiasaan mereka nantinya. Lifestyle atau gaya hidup remaja adalah salah satu hal yang berdampak oleh keberadaan pandemi ini. Remaja selalu identik dengan dunia ekspresi dan imajinasi namun ruang lingkup selama pandemi semakin terbatas dan tidak sebebas dulu. Kendati demikian, ekspresi dan imajinasi mereka bukan tidak bisa tersalurkan melainkan ada dunia maya yang menjadi wadah untuk menampung dan melepas burn out aktifitas seharian.

Hikmah Tontonan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, anime adalah animasi atau kartun khas Jepang. Anime menjadi salah satu bagian favorit dari dunia maya yang bisa menjadi wadah imajinasi dan ekspresi anak muda. Berdasarkan pengamatan penulis, banyak dari anak muda di sekitar penulis yang mulai menyukai anime di masa pandemi ini. Sebagian ada yang memulainya dari nol, ada yang memulai dengan bermodal cerita teman tentang anime bahkan sebagian orang memiliki kecintaan over terhadap anime beserta kebudayaan Jepang yang terkenal dengan wibu akut.

Penulis sendiri merupakan sekian banyak anak muda yang memiliki peningkatan ketertarikan terhadap anime sejak adanya pandemi Covid-19. Setelah berbulan-bulan mengamati anime, terutama anime bergenre romancecomedy, penulis mendapati adanya beberapa ketidakcocokan konsep budaya Jepang yang tergambarkan di anime dengan nilai-nilai ke-Islaman. Penulis sendiri lebih suka menyebutnya titik buta.

Penulis mengambil diksi titik buta ini dari dunia olahraga, terutama basket dan sepak bola. Titik buta adalah sebuah area yang luput dari pengamatan seorang pemain yang menciptakan adanya celah bagi lawan untuk melakukan serangan. Dengan kata lain, titik buta yang penulis maksud di sini ialah hal-hal yang tidak bisa anime Jepang capai dan menciptakan ketidakselarasan dengan nilai-nilai yang ada pada agama Islam.

Sebelum memasuki inti materi, penulis menuturkan bahwa tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis dalam mengamati anime, terutama dari genre romance, yang kemudian menemukan beberapa hal yang perlu perhatian khusus. Tulisan ini pun bukan bermaksud untuk menurunkan minat pembaca terhadap anime, namun sebatas menggambarkan hal-hal yang perlu kita sadari dari anime sebagai seorang muslim yang mencintai ajaran keagamaan yang dia imani.

Berikut penulis hadirkan beberapa titik buta yang ada pada anime bergenre romance dari persepktif Islam:

Kealpaan Konsep Iman

Secara sederhana, iman bisa diartikan sebagai kepercayaan seorang muslim terhadap Tuhan dan hal-hal lainnya yang wajib diimani. Kepercayaan hadir karena adanya rasa percaya kepada hal suatu hal. Kemunculan rasa ini pada dasarnya tak bisa terumuskan dan seringkali tak bisa ditafsirkan dalam bentuk kata-kata. Ya, karena rasa yang sejatinya muncul di hati manusia ini bersumber langsung dari Allah Yang Maha Bijaksana. Orang Islam menyebutnya sebagai hidayah.

Keberadaan iman alpa ditemui dalam anime bergenre romance. Hal tersebut dirasa wajar mengingat mayoritas atau bahkan semua animator Jepang tidak mengenal konsep keimanan kepada Allah selaku Tuhan semesta alam. Lantas, di manakah titik kealpaan iman yang dapat kita jumpai dalam anime bergenre romance? Ya, sederhana saja. Anime tak mengenal adanya cinta kepada Allah ta’ala.

Cinta kepada Allah adalah salah satu bagian dari keimanan kepada Allah. Bahkan, cinta kepada Allah adalah modal utama untuk memiliki keimanan kepada Allah Ta’ala. Nah, sayangnya anime bergenre romance tidak mengenal adanya cinta kepada Allah. Cinta mereka hanya berlandaskan hubungan sesama manusia saja.

Dari sudut pandang manusia sebagai manusia, maka anime yang bermodalkan simpati, empati, dan kasih sayang terkesan wajar dan maklum. Namun, sebuah titik buta entah sengaja ataupun tidak muncul di tengah interaksi ini. Cinta kepada sesama manusia dengan kealpaan Tuhan membuat manusia menjadi egois dan melanggar batas kewajaran manusia lainnya. Sebutlah kasus Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang seringkali terdapat di tengah anime bergenre romance. Dengan melandaskan pikirannya dengan manusia sebagai puncak pertimbangannya, manusia justru luput mempertimbangkan kemaslahatan umum yang sejatinya justru sudah Tuhan atur dengan jelas melalui kitab suci-Nya.

Ketidakpahaman tentang Hawa Nafsu

Dalam menggambarkan dunia asmara, anime bergenre romance sering menyebut modal terbesar seseorang dalam menjalani kehidupan asmaranya adalah cinta pada pertama atau rasa pertama. Cinta pada pandangan pertama bagi penulis pribadi menjadi hal yang krusial bagi seseorang dalam memulai penggembaraannya di dunia asmara. Namun, penulis merasakan adanya titik buta yang ada dari anime dalam menggambarkan hal ini. Dalam anime, cinta pada pandangan pertama seringkali berlawanan dengan realita kehidupan manusia. Dalam anime, manusia akan menjalani hubungan serius setelah mengalami cinta pada pandangan pertama. Namun nyatanya, manusia seringkali mengganti pasangannya karena terlalu sering mengalami cinta pada pandangan pertama. Berganti pandangan, berganti pula cintanya. Dari sinilah penulis menyimpulkan bahwa anime tidak bisa memberikan gambaran yang jelas antara cinta suci dengan hawa nafsu.

Bagi penulis pribadi, hubungan asmara manusia akan mencapai pada tingkatan serius bilamana antar individu yang saling mencintai telah menggapai hubungan yang diridhai oleh Sang Maha Kuasa. Ridha dari Yang Maha Kuasa ini didapatkan bilamana dua individu yang saling memiliki rasa cinta telah memahami konsep-konsep Islam yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Sehingga pada akhirnya hubungan yang mereka lakoni tidak berdasarkan hawa nafsu semata, apalagi yang dibungkus rapi dengan diksi cinta pada pandangan pertama, namun juga bisa mendapatkan suatu hubungan yang diridhai oleh Zat yang paling paham soal kebijaksanaan, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.