Majalahnabawi.com – Sejarah Pembentukan fikih dan Usul Fikih sebagai disiplin ilmu syariat yang mandiri terjadi setelah era perlambangan Hadis dan proses pembukuan. Awalnya, kegiatan tafaqquh fi al-din, yang ditekankan oleh Al-Qur’an dan dianjurkan oleh Rasulullah Saw, lebih sederhana dan hanya berkaitan dengan pemahaman Al-Qur’an dan Hadis.

Kata fukaha sendiri adalah bentuk jamak dari faqiih, yang berarti orang-orang ahli fikih. Dengan definisi ini, memberikan makna bahwa setiap perumusan hukum fikih harus bersandar pada dalil, termasuk hadis (sunah), dengan pola penalaran tertentu.

Ketika fukaha berfokus pada penggunaan hadis sebagai dalil syar’i, mereka menggunakan metode analisis deduktif untuk menggali kerangka hukum syarak dalam bidang amaliah (praktis). Mereka mencermati kualitas dan kebenaran konsep hukum yang menjadi substansi matan hadis serta kaitannya dengan individu mukalaf. Mereka lebih berfokus pada aspek perbuatan dan pertanggungjawaban orang mukalaf terhadap tindakan mereka. Hal ini berbeda dengan bidang akidah yang lebih menekankan keyakinan, atau bidang akhlak yang menilai aspek moral suatu tindakan..

Hasjim Abbas, dalam karyanya, mengamati potensi fikih dalam berpikir dan berargumen dengan merujuk pada ilmu Usul Fikih. Dalam Usul Fikih, terdapat banyak kaidah-kaidah, termasuk kaidah lughawiyah (linguistik), untuk mengekstraksi kesimpulan dari teks hadis dan implikasi deduktifnya. Di dalamnya juga membahas persyaratan keabsahan suatu hadis, peran sumber hukum yang ada, dan proses merumuskan substansi hukum yang relevan, baik taklifi (wajib) maupun takhyiri (pilihan). Para usuliyyun juga merumuskan kaidah untuk menghadapi perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan kontradiksi antara hadis dengan dalil-dalil syarak lainnya.

Adapun tolak ukur kritik matan hadis yang biasa kalangan fukaha tradisikan yaitu:

  1. Konfirmasi hadis dengan Al- Qur’an.
  2. Konfirmasi hadis dengan hadis lainnya.
  3. Konfirmasi hadis dengan ijmak.
  4. Konfirmasi hadis dengan amalan perawi.
  5. Konfirmasi hadis dengan qiyas.
  6. Konfirmasi hadis dengan usul fikih.

Kategori Kritik Matan Hadis Menurut Hasjim Abbas

 Dari fenomena ini, Hasjim Abbas memetakan kritik terhadap matan hadis dalam tradisi fukaha dan usuliyyin dalam tiga kategori utama:

1. Dikotomi antara hadis mutawatir dan hadis ahad.

Istilah mutawatir dan ahad sering digunakan oleh fukaha dan usuliyyun. Pada awalnya, Imam Syafi’i dalam kitabnya ar-risalah masih menggunakan istilah khabar ammah (berita umum) dan khabar khassah (berita perorangan). Definisi hadis ahad adalah yang berasal dari Nabi Saw dan diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, tabiin, hingga generasi tabiin tabiin, namun jumlah perawinya tidak mencapai level mutawatir. Informasi dalam hadis ahad seringkali berdasar pada dugaan dan perkiraan yang kuat, dan memiliki kadar ilmu yang lebih spekulatif. Informasi semacam ini cukup untuk dijadikan dasar amal ibadah, tetapi tidak cukup untuk merumuskan keyakinan (akidah). Penolakan terhadap hadis ahad bisa mengarah pada penolakan terhadap sunah, karena sebagian besar hadis bersifat ahad.

2. Polemik seputar penambahan informasi ke atas nas hadis.

Tradisi kritik matan hadis mengenai “ala al-nass” adalah ungkapan asli yang dibuat oleh pengarang atau penulis. Dalam tradisi kritik matan hadis versi Hanafiah, dikenal istilah “ziyadah ‘ala al-nass” yang merujuk pada tambahan informasi dalam matan hadis berkualitas riwayat ahad yang mendukung doktrin dalam Al-Qur’an. Ini mencerminkan pemahaman, bahwa Al-Qur’an dan Hadis merupakan satu kesatuan logis karena keduanya adalah wahyu. Kewahyuan Al-Qur’an bersifat mutlak dan bersifat tauqifi, sedangkan hadis berasal dari wahyu ilhami dengan redaksi yang menyatu dengan bahasa komunikasi Nabi Saw dan juga bersifat tauqifi.

3. Kritik terhadap kandungan matan.

Penerapan kritik terhadap makna dalam matan hadis, seperti yang dikembangkan oleh fukaha, adalah kelanjutan dari tradisi yang telah ada sejak zaman Nabi dan generasi sahabat. Awalnya, konfirmasi berasal langsung dari Nabi, dan setelah wafatnya, dilakukan dengan membandingkan kesaksian antar sahabat. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan bias dalam informasi dan menghasilkan pemahaman yang lebih akurat.

Dalam tradisi Fukaha (ahli fikih), terdapat kritik terhadap matan hadis yang biasa mereka lakukan melalui berbagai kriteria, seperti konfirmasi dengan Al-Qur’an, kesepakatan umat Islam (ijmak), praktik ibadah perawi, analogi (qiyas), dan prinsip-prinsip fikih (usul fikih). Kritik ini melibatkan pemisahan antara hadis mutawatir (berulang) dan ahad (tidak berulang), serta menyoroti masalah penambahan informasi pada matan hadis yang mendukung doktrin Al-Qur’an. Selain itu, kritik juga difokuskan pada kandungan dan makna dalam matan hadis.

Dan terakhir, fukaha tidak seperti muhadditsin yang membuang saja hadis yang memiliki kualitas dhoif. Dalam kritik hadis, fukaha lebih mengedepankan bagaimana sebuah hadis bisa menjadi landasan dalam penerapan hukum fikih dengan beberapa kriteria tertentu. Wallahu A’lam.